Tiga tahun berlalu dengan cepat, Nick sudah mengajarkan semua yang perlu diajarkan kepada kedua anak tuannya. Dalam tiga tahun itu pula ia memberikan semua informasi tentang vampire yang ingin di ketahui oleh kedua anak itu, kini Ima tepat berusia lima belas tahun. Sudah saatnya ia meminum darah manusia, sesuai tradisi di acara pesta ulang tahun yang sederhana itu Nick sudah menyiapkan sebotol darah manusia yang siap di minum.
Dengan memakai gaun cantik berwarna biru yang sengaja di buat oleh Mina Ima duduk manis menghadapi kue ulang tahunnya, senyumnya mengembang manis nampak antusias.
"Boleh aku menerima hadiah ulang tahun ku?" tanya Ima.
"Sabar, sebelum itu ada yang perlu kau lakukan" jawab Colt.
"Apa itu ayah?"
"Sesuai tradisi, ini adalah saatnya kau meminum darah yang telah di siapkan" ujar Colt meletakkan sebotol darah di hadapan Ima.
"Selama tiga tahun ini kau sudah belajar banyak, sudah saatnya bagimu untuk hidup layaknya seorang vampire meski kenyataannya kau setengah vampire dan hidup di kalangan manusia" tambah Nick.
"Aku mengerti" ujar Ima.
Ia menatap botol itu lekat-lekat, perlahan di ambilnya dan tanpa di duga Ima bisa meminum darah itu tanpa masalah apa pun.
Aahhh.....
"Ternyata rasanya memang lain dari darah hewan" komentarnya setelah menghabiskan satu botol darah itu.
Agler terkesiap melihat keberanian Ima dalam meminum darah itu, ia sangat ingat betapa takutnya ia dulu saat di suruh meminum darah itu bahkan sampai Nick turun tangan agar ia mau melakukannya.
"Baiklah kalau begitu ini hadiah dari ibu untukmu" ujar Mina menyerahkan sebuah kotak kado.
"Asyik.... boleh aku membukanya bu?"
"Tentu saja."
Dengan antusias Ima langsung membuka kotak kado itu, ia cukup terkejut saat melihat satu paket peralatan make up yang komplit.
"Usia mu sudah memasuki masa remaja, seorang gadis sudah sepatutnya tampil cantik dan menawan. Belajarlah merias diri, tapi jangan berlebihan!" ujar Mina.
"Terimakasih bu... aku sayang ibu" ucap Ima sambil merangkul.
"Ini dari kakak, bukan sesuatu yang bagus tapi kakak harap kau menyukainya" ujar Agler memberikan bungkusan kecil.
Ima segera membuka hadiah itu, rupanya Agler memberikan sebuah kalung yang terbuat dari ukiran kayu. Sedang Nick memberikan belati sebagai hadiah dan Colt memberikan sepeda baru agar Ima tak perlu berjalan kaki saat pergi ke sekolah.
Setelah hadiah-hadiah di berikan pesta berlanjut dengan makan bersama, mereka bercanda dan terus mengobrol hingga larut.
Esoknya mereka memulai rutinitas seperti biasa, hanya saja kini Mina dan Colt kembali bicara empat mata mengenai masa depan Agler. Tak lupa mereka juga mengajak Nick untuk berunding di saat semua anaknya tidak ada di rumah.
"Agler memberitahuku bahwa dia ingin melanjutkan studinya di kota, ia akan ikut bekerja di pasar ikan bersama paman Giant untuk membiayai kuliahnya" ujar Mina.
"Memang sangat sayang jika kepintaran Agler tidak di kembangkan, di desa ini tak banyak yang bisa ia lakukan dan sudah seharusnya sebagai lelaki ia pergi mengembara" timbal Nick.
"Tapi akun sedikit khawatir, Agler terlalu lembut hingga tak berani menyakiti seekor serangga pun. Di kota yang begitu keras aku khawatir dia akan kewalahan" ucap Colt.
"Yah jika di bandingkan dengan Ima memang Agler itu lebih lembut tapi bukan berarti dia lemah, dia seorang vampire dan aku yakin dia bisa menjaga diri dengan baik. Atau apa perlu aku ikut dengannya?" tawar Nick.
"Jangan! itu lebih beresiko, tidak ada yang tahu keberadaan mu selama ini di rumah kami. Jika tiba-tiba kau ikut dengan Agler maka hal itu akan mengakibatkan kecurigaan, belum lagi kau tidak bisa keluar di siang hari" sergah Mina.
"Dia benar, yah... mungkin memang sudah waktunya kita membiarkan Agler memilih jalan hidupnya sendiri" ujar Colt memutuskan.
Masih ada waktu beberapa minggu untuk menikmati liburan sebelum Ima masuk ke SMU dan Agler masih belum memilih fakultas yang akan ia tuju, waktu senggang itu lebih banyak di gunakan untuk bersantai dan berkumpul dengan teman-teman sekolah yang akan berpisah.
Seperti malam itu, Agler ijin pergi keluar menemui teman-temannya. Di kaki bukit yang tak begitu jauh sekumpulan anak muda membuat api unggun di pinggiran sungai sambil menikmati minuman, Agler yang baru datang di sambut baik oleh teman-temannya.
"Ku dengar kau akan ke kota" ujar salah satu teman Agler.
"Ya, paman Giant menawariku bekerja di pasar. Ku pikir tidak ada salahnya melanjutkan kuliah juga, uang hasil kerja ku bisa kugunakan untuk biaya sekolah"
"Wah... kau memang hebat, persis seperti yang digosipkan ibu-ibu kau ini panutan bagi anak yang lain" ujar temannya yang lain.
"Bagaimana kau tahu gosip di kalangan ibu-ibu?"
"Hei rumah ku kan toko kelontong, wajar jika kita aku sering mendengar ibu-ibu mengobrol saat berbelanja"
"Hahahaha benar juga!"
"Tapi Agler, apa kau bisa pergi dari desa begitu saja?"
"Apa maksud mu?" tanya Agler tak mengerti.
"Itu... adikmu kan sangat bergantung padamu, dia tidak bisa jauh-jauh darimu"
"Oh... masalah itu... aku juga belum bicara dengannya, tapi aku yakin dia akan mengerti" jawab Agler pelan.
Sejujurnya Agler lah yang tak bisa jauh dari Ima, dia teramat menyayangi adiknya itu hingga tak bisa melihat Ima menangis. Akibat dari perhatiannya yang terlalu berlebihan Ima seringkali manja kepadanya, tapi di satu waktu terkadang Ima bisa lebih di andalkan dari dirinya.
Meski Ima adalah sosok gadis yang anggun dan manja tapi di balik itu dia adalah vampire yang tidak segan mencari mangsa untuk kelangsungan hidupnya sendiri, bahkan Nick memuji sifat pantang menyerah Ima yang mau bekerja keras demi mendapatkan keinginannya.
"Ah minuman ku habis!" erang teman Agler membalikkan cangkirnya.
"Biar aku bawakan, minuman ku juga habis" tawar Agler.
"Sungguh? terimakasih ya.. " ujar temannya.
Agler segera mengambil cangkir kosong itu dan beranjak menuju meja untuk mengambil minuman baru.
"Hai" sapa seorang gadis yang berjalan mendekatinya.
"Oh Hai" balas Agler.
"Kau ingat aku?" tanyanya.
"Oh... ya, jika tidak salah nama mu Alisya" tebak Agler.
"Kau benar, kita satu angkatan meski beda kelas"
"Ya... "
"Kau menikmati pestanya?" tanya gadis itu.
"Yah, ini adalah kesempatan terakhir ku bertemu dengan teman-teman jadi tentu aku menikmatinya"
"Kesempatan terakhir? apa kau mau pergi?" tanya Alisya.
"Aku berencana untuk pergi ke kota"
"Kapan?"
"Belum di putuskan, mungkin beberapa hari lagi. Bagaimana denganmu?"
"Tidak kemana-mana, aku akan tetap di desa membantu pekerjaan orangtuaku di ladang"
"Begitu ya"
"Sebenarnya aku juga ingin pergi ke kota, tapi kau tahu biaya hidup di sana sangat mahal dan tentu aku juga tidak punya pilihan lain"
"Tidak ada salahnya hidup di desa, ku dengar justru orang kota ingin hidup di desa karena mereka tidak bisa menemukan kedamaian di kota" ujar Agler.
"Yah, memang tidak terlalu buruk" sahut Alisya.
Obrolan terus berlanjut mengikuti malam yang semakin larut, saat bayang-bayang sinar mentari mulai timbul di ufuk barulah api unggun di matikan dan mereka bubar.
Agler pulang dengan kondisi yang masih bugar tak seperti teman-temannya yang mengantuk, seperti biasa ia membatu pekerjaan Mina untuk mengantarkan pesanan dan mengerjakan hal yang lainnya juga.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Agler melihat Ima yang sibuk dengan mesin jahitnya.
"Tunggulah beberapa saat lagi, pakaian ini hampir selesai dan akan ku jawab pertanyaan mu."
Agler hanya mengangkat alis menanggapi ucapan Ima, ia duduk di sofa dan mulai memejamkan mata sebab rasa ngantuk mulai menyerangnya.
"Sudah selesai!" teriak Ima tiba-tiba.
"Kak cepatlah bangun!" perintahnya sambil menarik tangan Agler.
Meski rasanya malas tapi Agler tetap bangkit dan cukup heran melihat Ima memakaikan sebuah hoodie warna abu-abu kepadanya.
"Aku menggunakan kain yang bagus, ini akan terasa nyaman di pakai baik saat panas terik maupun dingin. Dengan hoodie ini kau terlihat lebih keren, orang-orang di sana pasti tidak akan percaya kau berasal dari desa" ujar Ima melihat betapa bagusnya ia membuat benda itu.
"Kau... membuatkan ini untuk ku?" tanya Agler.
"Tentu saja! bukankah kakak akan pergi ke kota?"
"Kau tau dari mana? aku belum bicara denganmu" tanya Agler.
Ima nampak kehilangan senyum mendengar pertanyaan itu, ia menundukkan wajah dan menjawab dengan suara pelan.
"Aku mendengar obrolan ayah, ibu dan guru Nick"
"Begitu ya... "
"Kak... " panggil Ima.
"Aku tidak ingin kau pergi, aku tidak mau jauh darimu tapi aku juga tidak ingin mengekang mu. Sangat egois jika aku menahanmu tetap di sini demi diriku, karena itu... pergilah tapi jangan lupa kau harus sering-sering menelpon ku" lanjutnya.
Agler tersenyum, di usapnya kepala Ima dengan lembut.
"Jika kau libur panjang nanti aku akan mengajakmu liburan di kota, karena itu belajarlah yang tekun" ujar Agler.
"Sungguh?" tanya Ima memastikan.
Agler mengangguk sebagai jawaban, membuat senyum Ima kembali mengembang di wajah manisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments