*****
Tubuh gue langsung mematung seketika, saat mendapati siapa yang berdiri di depan pintu gerbang rumah. Gue menggelengkan kepala, mencoba menyadarkan otak gue kemungkinan besar sedang berhalusinasi ini.
"Kamu sakit, Anggita?"
Ini kenyataan, bukan karena gue sedang bangun tidur dan sedang berhalusinasi. Gue kembali menerjapkan kedua mata gue dengan mulut mangap.
"Lo nyata? Lo seriusan Aro? Bukan halusinasi?"
"Iya, ini saya Aro, temannya Abang kamu. Dan sekarang di mana Abang kamu? Bisa kamu panggilkan, saya--"
Tanpa tahu malu gue langsung berhampur ke pelukannya, gue bisa merasakan tubuh Aro menegang saat gue peluk. Tapi gue nggak peduli, yang penting rasa rindu gue sedikit terobati saat ini.
"Apa-apaan kalian berdua?"
Gue langsung berdecak sebal saat mendengar suara Bang Riki, mengganggu kenyamanan gue saat memeluk tubuh Aro. Dengan sedikit tak rela, gue akhirnya melepaskan pelukan kami.
Aro berdehem untuk menutupi rasa gugupnya. Keliatan lucu sih gue liatnya. "Apaan sih lo, Bang. Ganggu aja," gerutu gue sebal.
Dengan kedua mata melotot, Bang Riki menonyor kepala gue seenak udelnya. "Nggak usah ganjen jadi cewek. Malu-maluin gue aja lo."
"Terus kelakuan brengsek lo itu banggain gue, Bang? Kaga," balas gue tak mau kalah.
Kemudian memilih langsung masuk ke dalam rumah dan berlari menuju kamar. Dalam hati gue cukup menyesali apa yang telah gue perbuat barusan.
"Ngapain sih gue tadi pake peluk-peluk dia segala. Ah, bego banget deh," keluh gue frustasi.
"Lo emang bego," celetuk Bang Riki tiba-tiba sudah berada di kamar gue.
Lah, si Aro ditinggalin gitu aja?
"Aro balik. Dia ke sini cuma mau ambil seritifikat kepemilikan tanah."
"Sertifikat kepemilikan tanah siapa?" tanya gue penasaran.
"Punya Aro. Gue yang nyariin tanah buat resto Aro, katanya sih udah dapet arsitek yang cocok, makanya ini dia ke sini mau urus itu. Aro pengen punya Resto sendiri, udah bosen kayaknya ngikut Gani."
Kedua mata gue langsung berbinar. Itu artinya ...
"Belum. Masih lama juga dia buat stay di sini, soalnya Aro belinya yang masih tanah, belum berupa banguan jadi emang kudu mulai dari nol. Lagian Resto Gani belum dapat Chef buat ganti dia, jadi, ya, dia masih harus stay di Bandung dalam waktu lama."
Ekspresi gue langsung berubah muram. Patah hati gitu rasanya.
"Lo beneran naksir Aro?"
Gue membuyarkan lamunan gue, yang sudah mulai melantur kemana-mana, lalu menoleh ke arah Bang Riki sambil mengangguk melas.
"*****! Lo lagi bercandakan ini?"
"Enggak. Gue serius. Gue--"
"Enggak boleh," sela Bang Riki memotong kalimat gue. Kedua matanya menatap gue tajam.
"Kenapa? Gue kurang cantik?"
"Bukan. Pokoknya hubungan kalian nggak bakalan berhasil, gue yakin itu. Jadi daripada nanti ujung-unjungan bakalan masuk daftar deretan mantan lo, mending nggak usah mulai dulu. Oke?"
Gue memandang Bang Riki dengan ekspresi tak terima.
"Serius, Ta, gue bilang jangan, ya jangan. Udah cukup Gani yang jadi mantan lo, Aro nggak usah. Malu gue kalau kedua sohib gue berpredikat jadi mantan lo."
"Sialan!" umpat gue tak terima.
Bang Riki menghela napas. "Aro sedikit nggak normal."
"Maksud lo apa, Bang?"
Bang Riki menatap gue dalam. "Aro jarang pacaran. Gue nggak tahu dia punya masalah sama orientasinya apa enggak, tapi dia nggak tertarik sama cewek, Ta."
Respon pertama gue hanya bisa melongo karena kagetnya.
"M.mak.sud lo Aro g.gay? Sukanya sama batangan gitu?" tanya gue kemudian, setelah berhasil menyembuyikan rasa keterkejutan gue sedikit.
"Gue juga nggak yakin sih sama yang itu. Tapi kayaknya sih enggak."
Gue melotot tajam ke arah Bang Riki, maksudnya apaan tuh? Ngomongnya nggak jelas banget, heran gue.
"Lo bikin gue pusing tahu, Bang," keluh gue kesal.
"Ya, pokoknya Aro itu nggak normal karena nggak tertarik sama lawan jenis, pun dengan sesama jenis."
Gue mendengkus kesal. Jadi cuma karena itu, bah, ingin sekali ku getok palanya itu. Bikin kesal saja.
"Yaelah, cuma gituan. Gampang, nanti kubikin dia suka dan tergila-gila padaku. Bereskan?"
"Pale lu!" Tanpa sungkan sama sekali Bang Riki langsung menjitak kepala gue, membuat gue memekik kesakitan dan balas menjambak rambutnya.
"Sakit elah, Bang!" amuk gue kesal.
"Habis lo ngomongnya ngaco, kaya pecandu yang abis ngisep ganja. Enggak ada ya cinta-cintaan buat lo pada. Gue nggak bakalan restuin."
Gue tersenyum sinis sambil menyilangkan kedua tangan gue di depan dada. "Gue juga nggak minta restu dari lo tuh."
Bang Riki mengeram jengkel. "Nanti bakalan gue cariin cowok yang lebih ganteng dari Aro. Gimana?"
"Enggak mau, gue maunya Aro. Titik. Udah sana, pergi lo dari kamar gue! Sana! Sana!" usir gue sambil mendorong-dorong tubuh Bang Riki.
"Kali ini aja lo nurut sama gue kenapa sih?"
"Enggak ada."
"Nanti gue beliin tiket konsernya Behind the scene deh," bujuk Bang Riki tak mau kalah.
Gerakan tangan gue berhenti mendorong tubuh Bang Riki, bukan karena langsung tergiur dengan tawarannya. Tapi gue bingung, behind the scene itu siapa?
"Behind the scene itu grup mana, Bang?" tanya gue heran.
"Elah, masa nggak tahu sih. Yang dari Korea itu loh. BTS. Behind the scene. Masa gitu aja nggak tahu," gerutu Bang Riki.
Gue mendengkus tak percaya melihat kelakuannya. Udah sok tahu salah pula. Enaknya diapain deh ini manusia.
"Bangtan the boys kali, Bang. Bukan Behind the scene," koreksi gue sedikit snewen.
"Lah, udah ganti gitu?" tanya Bang Riki dengan wajah herannya.
"Bukan ganti, emang dari sononya ya itu. Udah sana, keluar dari kamar gue. Gue mau tidur lagi," usir gue galak.
"Pemalas lo jadi perawan," ledek Bang Riki sebelum keluar kamar.
"Biarin!" balas gue sengit.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Ira Irawati
ha.. ha.. ha..
2020-02-14
0
Shabrina Sinta
ok abiz...
2020-01-11
0
aruNada💦
ngakak....behind the scene....kirain apaan,, ternyata versi sotoy nya BTS😂😂😂😂
2020-01-08
4