*****
Aku baru saja selesai mandi, baru hendak menyentuh kaus poloku, berniat memakainya. Namun tiba-tiba dikejutkan dengan suara Mama yang masuk tanpa permisi.
"Astaga, Ma! Bisa nggak sih, kalau mau masuk ketuk pintu dulu?" keluhku kesal, baru kemudian mengambil kaus dan langsung memakainya.
"Why? Is there any problem?"
"Of course. Mama nggak liat aku baru selesai mandi, belum pake baju tadi?" tanyaku kesal.
"Yes, i see it. Bahkan Mama lebih dulu melihat'nya' dibanding kamu kan?"
Aku mendengkus kesal mendengar jawaban Mama. Baru kemudian meraih celana boxer-ku yang masih berada di atas ranjang, lalu memakainya.
"Iya, tapi dulu ukurannya masih kecil. Beda sama yang sekarang," dumelku asal.
"Emang se'gede' apa ukurannya yang sekarang?" goda Mama, pura-pura hendak mengintip sesuatu yang ada di balik celana boxerku.
Aku langsung melotot ke arahnya. "Mama ngapain sih ke sini?" tanyaku heran.
Kemudian meneliti ekspresi Mama yang entah kenapa terlihat mencurigakan. Senyum-senyum tidak jelas. Membuatku menaikkan alis curiga.
Kenapa dengan ekspresinya itu? Kok mencurigakan banget?
"What's wrong with mother's face?" Aku masih menatap Mami curiga.
"Why? look's so pretty?" kata Mommy narsis sambil memainkan alisnya genit.
Aku memutar kedua bola mataku malas, kemudian mengangguk dengan terpaksa. "Yes, if without the wrinkles," kataku dengan sengaja berbohong.
Mama kalau udah berurusan dengan wajah memang sensitif. Ngalah-ngalahin pantat bayi. Sampai-sampai aku dan Papa memiliki hobby mengerjai Mama, bilang kalau wajahnya mulai keriput. Padahal mah, kinclong parah. Ngalah-ngalahin pintu jendela yang disemprot Cling deh.
Seketika ekspresi Mama langsung berubah panik. "OMG! Are you sure?" pekiknya heboh. Tanpa ba-bi-bu, Mama langsung berlari menuju kamar mandi untuk mencari cermin.
Aku terkekeh geli sebelum menyusulnya. Begitu sampai di kamar mandi aku lansung memeluk wanita yang paling ku cintai di Dunia ini. "Just kidding Mom," bisikku. Mencuri ciuman di pipi kanannya sambil mengedipkan sebelah mataku.
"Ck! Nakal, kamu tau segimana paniknya Mama?" gerutunya sambil berdecak jengkel, tak lupa memberikan tatapan mautnya.
Aku mengangguk paham. "Yes, i know it."
"Dasar anak nakal."
Aku langsung menertawakannya. Beginilah malaikat tanpa sayapku yang membuatku selalu merindukan rumah dan segala sikap manjanya. Kalau biasanya sang Ayah akan cemburu dengan kedekatan anak dan ibunya karena kemanjaan si anak, maka tidak dengan Mama. Mama justru lebih manja kalau denganku, dan itu sering kali membuat Papa cemburu. Bahkan pria paruh baya yang ikut menyumbang ******-nya untukku ini, sering kali memintaku tak usah pulang ke rumah saat aku berada di Bandung. Dan saat aku di rumah pun, beliau sering kali menyuruhku untuk cepat kembali ke Bandung.
"I love you, Ma," bisikku kemudian memeluknya sekali lagi.
Mama langsung terkekeh kemudian mengeplak lenganku lebih pelan. "Genit. Udah sana temui selingkuhan kamu dulu, nanti ngambek dia-nya. Terus Mama yang kamu salahin."
Aku menaikkan alisku bingung, tak terlalu paham dengan kalimat Mama. Dulu saat aku punya kekasih, Mama memang sering kali menyebut kekasihku itu dengan selingkuhan. Tapi sekarang? Aku bahkan tak punya gebetan, apalagi kekasih. Lantas kenapa Mama ngomongin selingkuhan? Nggak mungkin kan mantanku datang kemari?
"Selingkuhan?" ulangku tak yakin.
Mama mengangguk sebagai tanda jawaban. "Your girlfriend my son."
"Girlfriend?" ulangku sekali lagi.
Aku menerjap bingung. Ini pacar siapa yang nyasar ke rumah? Perasaan aku belum ngajak Anggita pacaran deh. Eh, kenapa jadi bawa-bawa Anggita?
"Temuin sana! Malah ngelamun," kata Mama membuyarkan lamunanku.
"Tapi Aro lagi nggak punya hu--"
"Mama udah tahu, enggak papa. Mama malah seneng kamu udah punya pacar lagi, meski yang ini kayaknya kemudaan kalau buat kamu, tapi Mama kayaknya suka deh. Calon mantu Mama cantik," potong Mama sambil cekikikan, kemudian mendorong tubuhku agar segera keluar dari kamar dan turun.
Meski masih dengan bingung, aku pun mengalah dan langsung bergegas turun ke bawah.
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak terkejut, begitu sampai di ruang tamu, dan menemukan Anggita tengah duduk manis di sana. Sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya, seperti sedang mencoba mengusir kebosanan saat menungguku.
Jadi ini yang Mama bilang pacarku?
Anggita?
Adik Riki yang punya mulut blak-blakan dan juga yang ngajakin aku rebutan celana dalam kemarin?
Astaga.
"Anggita?" panggilku bermaksud untuk menyapanya.
Anggita langsung menoleh, kemudian tersenyum ke arahku.
"Hai," sapanya sambil melambaikan tangan kanannya.
Aku mengangguk kepala guna membalas sapaannya. "Ada apa?" tanyaku to the point.
Anggita kemudian meraih papper bag di sebelahnya-yang entah apa isinya-kemudian menyerahkannya padaku.
Aku menaikkan alis bingung. "Apa ini?" tanyaku sembari melirik ke dalam papper bag yang sudah berpindah ke tanganku. Yang ternyata berisi sneakers yang kubelikan untuknya kemarin.
Aku melirik Anggita sedikit tajam, berniat meminta penjelasan. Namun sayangnya dia malah menundukkan kepalanya gelisah. Eh, kenapa dia gelisah?
"Kenapa dikembalikan? Apakah ukurannya kurang pas, kekecilan, atau malah kebesaran? Atau kamu tidak suka dengan warnanya?" tanyaku kemudian meletakkan papperbag ke atas meja. Baru kemudian beralih menatap Anggita.
"Enggak, pas kok. Gue juga suka sama warnanya. Cantik."
"Lalu?"
"Gue takut baper."
Aku secara reflek melotot begitu mendengar jawabannya, yang menurutku terdengar cukup gamblang, sekaligus tak paham. Kenapa juga ia harus baper?
"Maksudnya?"
Anggita langsung berdecak jengkel, mendapati responku. Kedua bibirnya terlihat komat-kamit tak jelas. Membuatku gemas ingin menciumnya agar bibir itu berhenti komat-kamit.
"Ya elah, norak banget sih. Itu baper, kebawa perasaan. Masa gitu aja nggak ngerti," kata Anggita menjelaskan.
Aku memutar bola mataku kesal, tak berniat untuk mendebatnya sama sekali. Astaga, jadi dia berpikir aku tidak mengerti apa itu kalimat baper.
"Bukan. Maksudnya, kenapa juga kamu harus kebawa perasaan?" tanyaku penuh penekanan di akhir kalimat.
"Ya, ya, ya gitu deh,"
Aku menghela napas malas. "Anggita saya beliin kamu sneakers itu sebagai tanda terima kasih," kataku menjelaskan.
Anggita tiba-tiba menunjuk-nunjukku dengan jari telunjuknya. "Nah itu. Beliin barang mahal tapi cuma sebagai tanda terima kasih. Gimana gue nggak bakal baper coba? Lo kalo mau ngucapin terima kasih cukup dijadiin caption di IG lo, nggak usah repot-repot beli barang mahal. Ujung-ujungnya bikin sakit anak orang," dumelnya panjang lebar.
Astaga. Bolehkah aku tertawa sekarang?
Serius. Ekspresinya sekarang sangatlah lucu, membuatnya bertambah imut. Ini adek Riki kok pedes-pedes polos, tapi ngegemesin, ya? Berasa pen ngehalalin deh.
Astaga.
Aku pasti sudah nggak waras ini.
"Kenapa lo senyum-senyum nggak jelas gitu?"
"Omongan kamu yang bikin saya senyum begini."
Anggita memajukan wajahnya, menatapku kebingungan. "Hah? Omongan yang mana?"
"Kamu ngaku-ngaku jadi pacar saya."
"APA?!" pekik Anggita sedikit panik. "Jangan ngaco deh!"
"Kalimat mana yang terdengar ngaco?"
"Itu barusan. Gue ngaku-ngaku jadi pacar lo."
"Lalu kenapa Mama saya mikir kalau kamu pacar saya, kalau kamu nggak ngaku-ngaku jadi pacar saya?"
"Eumm.... anu.... itu"
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
𝓹𝓪𝓷𝓪𝓱 𝓳𝓲𝔀𝓪
thornya rajin malah q yng bahagia 😄😄😄😄
semangaat thoor!!!
2019-09-03
4
Syila Asyilha
haa. jadi senyum" trus deh sambil baca🤣🤣
2019-09-08
4
Defiarti
gpp thor up terus...akuh senang ko😜😜😜
2019-09-03
2