*****
"Bisa kamu mempertanggung jawabkan kalimatmu barusan?"
Tanggung jawab?
Tanggung jawab apaan coba. Emangnya gue abis ngehamilin anaknya sampai gue harus pake tanggung jawab. Ini orang ganteng kalau ngomong meski tanpa ekspresi tapi suka bikin ngakak, ya.
"Saya benar-benar butuh pertanggung jawaban atas kata-kata kamu, Anggita Rahmawati," ulang Aro, yang kali ini entah kenapa terasa penuh penekanan dan terdengar sedikit seram versi gue.
"L.lo b.butuh pertanggung jawaban a.apa dari gue emangnya?" tanya gue gugup.
Aro menatap gue sekilas kemudian menghela napas pendek. "Ya, sudah kalau tidak mau bertanggung jawab. Lupakan saja!" ucapnya kemudin mengambil posisi berdiri.
Gue melongo tak paham dan ikut berdiri secara reflek. "Mau ke mana?"
"Menurut kamu?"
Gue menaikkan alis bingung sembari mendengkus samar. Ya, mana gue tahu coba, kalau gue tahu, ngapain gue nanya. Ini orang emang ngeselin, ya. Coba kalau nggak ganteng, beuh, udah gue timpuk kepalanya.
"Ayo, saya antar pulang," ucap Aro tiba-tiba.
Ini orang bener-bener aneh, ya. Mana gue jadi salah tingkah lagi, mau dianterin Aro pulang. Ya ampun, gue nggak beneran naksir sama ini orang kan?
"Kenapa malah senyam-senyum?"
"Eh? S.siapa yang senyam-senyum. Gue biasa aja kok. Nggak usah ngarang sembarangan lo, lo bukan penulis amatir yang bisa ngarang bebas sebebas-bebasnya." Gue kembali mendengkus sembari menatapnya sinis. "Lagian gue nggak butuh lo anterin, gue bisa pulang sendiri."
"Oh, ya sudah. Kalau gitu saya duluan," ucap Aro yang langsung meninggalkan gue begitu saja.
*****. Kenapa gue ditinggalin gitu aja. Nggak sopan banget jadi tuan rumah.
"Eh, eh, tunggu!" kata gue sambil mencekal tangan Aro, guna menghentikan langkah kakinya.
"Kenapa? Sudah berubah pikiran?"
"Bukan," ketus gue dalam menjawabnya.
"Lalu?"
"Ini," kata gue sembari menyodorkan papperbag ke Aro dengan sedikit kasar karena kesal. "Punya lo, gue balikin."
"Saya tidak butuh. Kalau kamu tidak mau, bisa kamu jual atau kamu buang juga boleh. Terserah mau kamu apakan."
Gila! Ini manusia benar-benar deh. Enteng banget mulutnya. Abis ngomong begitu, gue langsung ditinggalin gitu aja. Tawarannya tadi langsung nggak berlaku. Kalau emang nggak niat nawarin kenapa pake nawarin gue segala. Dasar tukang PHP.
Awas aja lo, kalau ketemu.
Abis lo, nggak akan gue kasih ampun.
****
"Kayak kenal ini mobil," guman gue saat menemukan mobil Fortuner putih terparkir cantik di depan rumah.
Namun karena males mengingat, gue mencoba untuk mengabaikannya dan memilih langsung masuk ke dalam rumah.
"Mampir ke mana dulu, Wat?" tanya Bang Riki sambil menatap gue sekilas sebelum akhirnya kembali fokus dengan ponselnya.
"Nggak abis mampir kok," jawab gue yang langsung memilih duduk di sebelahnya, setelah meletakkan papper bag di atas meja.
"Kok lama banget nyampe nya? Bukannya lo naik ojol?"
Meski dengan kerutan di dahi, gue tetap mengangguk.
"Aro udah sampai di sini dari tadi lho."
Aro?
Udah sampai di sini dari tadi?
Jadi, tadi dia nawarin mau nganter gue itu karena doi juga mau ke sini, bukan karena emang niatnya nganterin gue. Dan kenapa Aro nggak bilang kalau mau ke sini. Sialan! Bener-bener ya, itu laki pinter banget bikin emosi tingkat wahid.
"Sialan," umpat gue kesal. "Di mana orangnya sekarang, Bang?" tanya gue dengan emosi.
Mendengar perubahan nada suara gue yang tak biasa, membuat Bang Riki langsung menoleh ke arah gue dengan tatapan herannya.
"Kenapa lo?" tanyanya heran.
"Gue tanya di mana temen lo itu?"
"Ada keperluan apa kamu mencari saya?"
Gue menahan napas gue sejenak saat melihat Aro sudah berdiri di belakang gue dengan wajah lempengnya. Bukan. Gue bukan lagi terpesona, meski gue akui penampilannya saat ini ganteng, tapi tetap saja gue lagi nggak pengen muji kegantengannya yang sepertinya memang sudah mendarah daging itu.
Gue emosi tingkat wahid. Seriusan. Gue sampai nggak bisa berkata-kata saking speechless-nya. Tangan gue rasanya gatel banget pengen nonjok mukanya biar jelekan dikit. Sumpah gue kesel.
"Kenapa diam?" tanya Aro masih dengan wajah lempengnya, namun kini sudah mengambil posisi duduk di sofa. "Bukannya tadi kamu bilang mencari saya kan? Benar saya kan yang kamu cari?"
Gue mendengkus kasar, mendengar nada bicaranya yang super santai itu.
"Bukan. Pede banget lo," ketus gue langsung memilih naik ke lantai atas tanpa memperdulikan teriakan Bang Riki yang terus bertanya gue kenapa.
"Mau 'dapet' kayaknya." Samar-samar gue mendengar suara Bang Riki. Yang tak gue gubris.
Sesampai di kamar gue langsung menghempaskan tubuh gue di kasur.
"Gila ya itu manusia, nyebelin banget sumpah. Pokoknya mulai hari ini gue nggak sudi buat suka sama cowok kaku macem dia, bikin hipertensi aja."
****
"Pembalut lo masih enggak?" tanya Bang Riki disela kunyahan nasi gorengnya dengan tenangnya.
Secara otomatis gue menghentikan gerakan tangan gue untuk memasukkan sesendok nasi dan juga sosis goreng, kemudian mendelik tajam ke arahnya.
"Kenapa? Lo mens juga?" ketus gue kesal.
"Kampret! Ditanyain baik-baik malah sewot," gerutu Bang Riki ikut kesal.
Gue hanya mengangkat kedua bahu gue dengan acuh tak acuh sebagai respon. "Lo duluan yang bikin gue sensi, ya jangan salahin gue kalau sensinya gue nular ke lo."
"Astaga!"
"Lebih tepatnya temen lo sih yang bikin gue sensi," ralat gue kemudian.
"Aro maksud lo?"
"Siapa lagi?"
"Karena..."
"Lo naksir ya sama Aro?" tanya Bang Riki dengan wajah penasarannya, memotong kalimat gue.
Gue langsung melotot ke arahnya.
"Maksud lo apaan, Bang? Jangan ngaco deh. Sekarang air putih aja bikin lo mabuk, huh?"
"Sensi lo ke Aro itu nggak mendasar adik gue tersayang."
"Maksud lo?" sembur gue galak.
"Sekarang gue tanya, kenapa lo kesel banget sama Aro?"
"Ya, karena dia nyebelin."
"Menurut gue Aro biasa aja tuh. Si Rayyan juga nyebelin kan? Tapi perlakuan lo buat keduanya beda."
"Beda gimana maksud lo, Bang?"
"Ya, beda. Pokoknya beda. Lagian lo kayaknya lo benci banget ya sama Aro. Lo nggak ngerasa?"
Dalam hati gue mengiyakan kalimat Bang Riki.
"Hati-hati, Wat, jangan terlalu benci sama orang. Takutnya ntar dari benci berubah jadi cinta, mau kayak apapun mereka berdua itu masih sodara. Jadi hati-hati aja!" pesan Bang Riki sok perhatian.
"Apaan sih lo, Bang, nggak jelas kayak jodoh lo. Gue nggak lagi pengen jatuh cinta, jadi tenang aja," kata gue menenangkan, kemudian memilih melanjutkan sarapan gue yang sempat tertunda.
"Lo kata jatuh cinta bisa lo atur seenak posisi bercinta," sewot Bang Riki. "Jatuh cinta itu tidak butuh planning apalagi backup planning. Ya kalau lo udah jatuh cinta sama orang, ya jatuh cinta aja."
"Terima kasih Abang, atas saran bijaksananya," ucap gue setengah menyindir.
"Sama-sama," balas Bang Riki tak sadar atas sindiran gue.
Dasar nggak peka!
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
🏕𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄𝖍𝖘❄
ini abang perumpamaan nya gak ada yg bener perasaan??
2022-09-12
0
🍀Ode Tri🍀
betul tu cinta ma benci sodaraan
2020-09-07
2
Miftahul Jannah
npa gk da cwok laen yg akan bikin aro cmburu neh ..
2020-01-21
2