****
Kalimat yang diucapkan Bang Riki tadi pagi masih teringang-ngiang di pikiran gue, membuat gue jadi sering melamun. Bahkan gue sampai harus beberapa kali ditegur karena ketahuan melamun. Dan yang lebih anehnya lagi, hal yang gue lamunin seharian ini itu manusia kaku bin nyebelin yang menyandang predikat sohibnya Abang gue dan sohibnya mantan pacar gue. Astaga, kok kedengerannya nggak bagus banget.
"Lo kenapa sih, Nggi? Ngelamun mulu? Sakit lagi?"
Gue menoleh ke arah Mbak Lisa, seorang resepsionis yang kebetulan mendapatkan shift sama dengan gue. Kemudian menggeleng pasrah. "Gue kepikiran sama omongan Abang gue, Mbak."
"Kenapa?"
"Menurut lo, masuk akal nggak sih, Mbak, kalau gue sebel sama seseorang karena gue naksir itu orang?"
Mbak Lisa mengerutkan dahinya, seperti tidak cukup paham dengan omongan gue. "Jadi ini gara-gara cowok? Cie cie, akhirnya si Gigi jatuh cinta lagi."
Gue berdecak sebal, bukannya memberi saran, Mbak Lisa malah menggoda gue.
"Apaan sih lo, Mbak?" sungut gue galak. "Orang ditanya serius malah ngajakin bercanda. Udah ribut aja, yok!"
"Lo sensi amat deh udah kayak merek pempers anak gue."
Gue kembali menggerutu mendengar kalimatnya. "Apaan sih, malah ngomongin pempers anaknya."
"Menurut gue masuk akal. Kan semua orang tahu kalau benci sama cinta itu beda tipis."
Gue langsung merengut mendengar jawabannya. "Tapi masalahnya itu orang ngeselin banget, Mbak. Datar, kaku, Mbak. Nggak manusiawi lah pokoknya."
"Cool gitu ya, gayanya?" tanya Mbak Lisa, membuat gue mengangguk pasrah.
"Lah, bukannya itu masuk kriteria idaman lo?" tanya Mbak Lisa sambil menatap gue heran.
"Apaan, kriteria cowok idaman mah, nggak ada di kehidupan nyata, Mbak. Cuma ada di wacana doang."
Mbak Lisa mengangkat bahu. "Kali aja itu berlaku buat lo, nggak ada di wacana doang."
Gue langsung bungkam, tidak tahu harus bicara apa. Masa iya, gue jatuh cinta sama itu orang? Gila. Seorang Aro gitu loh. Yang kaku bin datar.
"Tapi ngomong-ngomong, kayak gimana mukanya? Oke punya?"
Dengan gerakan pasrah gue mengangguk dan mengangkat jempol gue dengan sedikit tidak rela.
"Wah, sip kalau gitu. Bibit unggul, jangan sia-siakan, Nggi!"
"Apaan sih? Gaje lo, Mbak," sungut gue kesal.
"Udah, nggak udah galau. Mikirin cowok model gitu nggak ada untungnya, mending lo atur strategi buat ngelunakin itu sifat kakunya, biar agak lentur dikit."
"Enggak!" tolak gue mentah-mentah.
"Kenapa? Lo mau itu orang disamber orang lain?"
"Tapi masalahnya dia itu sohibnya Abang gue, Mbak, dan-"
"Justru itu kabar bagus, lo bisa minta bantuan ke Abang lo," potong Mbak Lisa dengan cepat dan semangat.
Membuat gue mendengkus sambil melotot ke arahnya dengan wajah galak gue. "Gue belum selesai ngomong, Mbak," sembur gue galak.
"Eh, masih ada terusannya? Ya udah, buruan lanjutin!"
"Doi juga sohibnya mantan pacar gue."
"Astaga!"
"Sekarang lo tahu kan kenapa gue galau?"
Sambil meringis, Mbak Lisa mengangguk maklum. Kemudian menepuk-nepuk pundak gue dengan prihatin. "Lo yang sabar, ya. Mungkin ini ujian," ucapnya penuh rasa prihatin.
Sementara gue semakin frustrasi jadinya.
****
"Assalamualaikum!"
"Wa'allaikumussalam," balas gue dengan lesu, saat Bang Riki masuk ke dalam rumah. Posisi gue masih sama, menopang kepala gue dengan tangan kiri.
"Woy, kalau ada orang ucap salam itu dijawab. Bukan bengong kayak orang bego gitu. Kesambet nyaho lo," cerocos Bang Riki saat mendudukkan pantatnya di sofa yang ada di hadapan gue. Tangan kirinya sibuk melonggarkan dasinya.
Gue hanya meliriknya sekilas, lalu gue abaikan begitu saja. Orang jelas-jelas gue tadi sudah menjawab salamnya.
"Lo kenapa sih?" tanya Bang Riki keheranan.
Gue hanya menggeleng sebagai respon.
"Laptop lo rusak?"
Gue kembali menggeleng.
"Stok novel abis?"
"Masih."
"Terus kenapa? Sakit?"
"Enggak papa. Gue jelasin sampai subuh pun, lo nggak bakalan ngerti," jawab gue asal.
"Apaan sih, nggak jelas."
"Bang, temen lo kapan mau main ke sini lagi?"
"Siapa? Aro maksud lo?"
Gue mengangguk membenarkan.
"Enggak tahu. Udah balik ke Bandung sih kemarin sore. Gani udah ngamuk-ngamuk gegara dia kelamaan di sini."
Meski kecewa gue berusaha untuk biasa saja. Gue mangguk-mangguk sambil ber'oh'ria.
"Kenapa? Udah kangen lo?" goda Bang Riki.
Gue menaikkan alis gue heran. Dengan gerakan sigap langsung gue timpuk mukanya menggunakan bantal sofa yang ada di sebelah gue. Namun, bukannya marah, Bang Riki malah tertawa terbahak-bahak.
"Enggak usah halu lo!" amuk gue jengkel.
Bang Riki berusaha meredakan tawanya sebelum berkata. "Lo seriusan ada rasa sama sohib gue? Kampret lo! Kemarin Gani sekarang Aro? Astaga, Gi, harus banget lo pacarin sohib-sohib gue?"
Gue gelagapan. "A.apaan sih lo? Nggak usah halu, gue bilang gue nggak suka. Siapa juga yang mau macarin kulkas dua pintu kayak temen lo," balas gue tak mau kalah.
"Bisa banget itu mulut ngejawabnya. Awas aja lo ya, kalau sampai pacarin temen gue yang lo bilang kulkas dua pintu. Gue tarik ya, hape sama laptop lo," acam Bang Riki sebelum meninggalkan gue.
"Nggak bakal!" balas gue sengaja meneriakinya.
Sialan.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments