////***
Gue memandang kesal ke arah bangunan mewah nan unik, yang baru saja gue ketahui ternyata rumah milik keluarga Aro, sambil menenteng sekantong plastik bubur ayam dan juga obat. Gara-gara si muka sok cool-kas Aro, gue harus absen dari aktivitas wajib gue saat liburan, yaitu maraton drama Korea. Ditambah lagi gue harus merawat orang yang baru gue kenal--beberapa hari ini--yang katanya lagi sakit.
Heran. Perasaan kemarin waktu lihat di acara resepsinya Mas Gani, dia kelihatan baik-baik saja. Tidak terlihat menunjukkan tanda-tanda akan sakit. Kalian pasti heran kenapa gue bisa sampai tahu dia sedang sakit dan repot-repot datang kemari.
Baik, gue bakalan jelasin dikit. Jadi begini, tadi pagi, saat gue baru selesai mandi dan siap untuk kencan dengan Ahjussi-ahjussi gue yang gagal tua, Bang Riki tiba-tiba masuk ke dalam kamar gue.
"Ganti baju sana!" perintahnya seenaknya sendiri.
Gue yang tidak paham sekaligus bingung pun, jelas tidak langsung menuruti perintahnya. Dan lebih memilih untuk menyalakan laptop gue. Namun dengan kurang ajarnya Bang Riki menutup laptop gue--yang kebetulan dibeliin doi--dengan cepat.
Gue mengeram tertahan. "Apaan sih lo, Bang? Gue mau nonton," seru gue jengkel.
Kemarin udah enggak nganterin gue pulang, dan sekarang merintah gue sesuka hatinya sendiri. Ck. Mentang-mentang punya duit banyak, ya gitu.
"Nontonnya besok-besok aja. Sekarang lo ganti baju, terus gue anterin ke rumah Aro."
"Hah?"
Gue melongo. Mau ngapain gue ke rumahnya?
Ngapel?
Enak aja. Harusnya gue dong yang diapelin.
Astaga!
Mikir apaan gue barusan?
"Aro lagi sakit. Tadi dia WhatsApp gue, minta beliin makanan sama obat. Nyokap bokapnya lagi nggak ada di rumah soalnya, terus pembantunya juga katanya lagi pulang kampung."
Gue memandang Bang Riki malas. "Terus apa hubungannya sama gue? Dia kan minta tolongnya ke elo, kenapa jadi gue yang kena," protes gue nggak terima.
Enak aja. Dia pikir gue mau dia bodohi gitu aja kali. Enggak akan.
"Gue ada janji, ketemu klien."
Gue langsung mendengkus dengan bualannya. "Ya, kali ketemu klien pas weekend gini. Gue nggak bego-bego banget kali, Bang. Enggak ada. Lo pergi aja sendiri. Gue mau nonton. Sana!" usir gue sembari mendorong tubuhnya agar menjauh.
Namun dengan tegas Bang Riki malah menggeleng tak setuju. "Ini klien bukan biasa, Wat, karier gue yang jadi taruhannya. Emang lo mau gue dipecat dan jadi pengangguran."
Gue kembali mendengkus. "Bukan klien biasa, kayak judul pelem."
"Ayolah! Itung-itung lo balas budi lah sama Aro. Lo lupa pas lo sakit kemarin siapa yang jagain lo? Aro kan? Masa sekarang giliran Aro yang sakit lo nggak mau bantuin dia, cuma bawain dia makanan sama obat, terus mastiin dia makan itu obatnya. Nah, kalau dia udah tidur, lo bisa pulang, terus nonton sinetron kesukaan lo," bujuk Bang Riki.
Gue mendesah dalam hati kala itu. Bagaimana pun kalau gue tolak, kedengarannya gue ini orang yang nggak tahu terima kasih dan nggak kenal yang namanya balas budi. Jadi oleh sebab itulah gue bisa berada di sini, di depan rumah gedongnya Aro.
"Cari siapa Neng?" tanya seorang satpam dengan tubuh lumayan berisi dan kulit sawo matang yang langsung menyambut gue dengan tatapan sedikit heran.
"Aro," jawab gue singkat.
"Nengnya siapa? Maaf loh, Neng, Bapak sama Ibu lagi keluar soalnya, jadi saya--"
"Saya pacarnya," potong gue cepat.
Bakal lama kalau ini Bapak satpam malah ngintrogasi gue panjang lebar. Mending langsung ngaku jadi pacarnya si Aro kan? Daripada harus repot-repot jelasin panjang lebar.
"Oh, pacarnya Mas Aro toh."
Si Bapak Satpam mangguk-mangguk paham, tanpa banyak berpikir, ia pun langsung membukakan pintu gerbang, mempersilahkan gue untuk masuk. "Mau ngerawat Mas Aro ya, Mbak?" tanyanya kemudian saat dia menunjukkan jalan masuk ke dalam rumah.
Gue pun memilih langsung mengangguk mengiyakan. Sebodo amat deh kalau nanti bakalan ribet urusannya.
"Saya tinggal ya, Mbak, Mas Aro nya ada di kamar. Lantai atas yang paling deket tangga."
Gue mengangguk paham, dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Baru kemudian langsung meluncur menuju kamar Aro sambil bersenandung riang. Ini rumah gedenya udah macem istana negara tapi kenapa sepi macem kuburan, ya?
Gue berjalan dengan hati-hati begitu sampai di kamar Aro. Dapat gue lihat wajah pucat Aro tengah terbaring lemah dengan kedua mata terpejamnya. Dalam hati gue meringis. Kayaknya ini kulkas beneran lagi sakit ya, sampai pucet gitu mukanya.
Dengan perlahan gue mendekat ke arahnya. Menyentuh dahinya untuk memastikan apakah dia demam atau tidak. Dan ternyata ia memang sedang demam. Kalau gue ukur dari telapak tangan gue kayaknya demamnya lumayan tinggi deh. Duh! Bikin panik aja deh. Sekarang kan lagi musim penyakit DB.
Fix. Perlu gue kompres nih.
Dengan gerakan pelan, gue kemudian meletakkan tas selempang milik gue dan juga bubur ayam yang gue beli tadi di warung bubur ayam--yang belum gue ketahui apa sudah naik haji apa belum--. Baru kemudian memilih kembali turun ke bawah untuk mencari air hangat dan juga handuk untuk mengompres Aro. Setelah menemukan barang yang gue perlukan, gue kembali ke kamar Aro.
Saat gue masuk, Aro masih terlihat setia memejamkan kedua matanya. Yang sialnya menambah tingkat kegantengannya yang sudah berada di atas rata-rata.
Sial!
Kok malah kepikiran gantengnya?
Eh, gue nggak salah kan ngompres orang demam pake air hangat?
Masa bodo deh, mau bener mau salah yang penting nggak bakal bikin mati anak orang ini kan.
Iya in aja lah biar cepet.
Setelah mengusir pikiran absurd gue tentang--benar tidaknya mengompres orang demam pake air hangat-- gue langsung saja mencelupkan handuk kecil itu ke dalam baskom berisi air hangat dan memerasnya, baru kemudian gue tempelkan handuk kecil itu di dahi Aro. Aku mengulanginya beberapa kali. Sampai-sampai aku ngerasa capek sendiri. Mana ini si Aro nggak kebangun sama sekali. Udah kaya mati aja tau nggak sih.
Eh, mati?
Jangan-jangan Aro mati lagi?
Dengan gerakan spontan, gue langsung mengeplak kepala gue sendiri. Mengusir pikiran gila gue dan memilih mendekatkan jari telunjuk gue ke hidungnya. Dapat kurasakan hembusan nafas teratur di sana, dan seketika diriku merasa lega.
"Kamu sedang berpikir kalau saya sudah mati?"
Oh, astaga!
Sumpah gue kaget.
"Nggak usah ngagetin bisa?" sewot gue jengkel. Tangan kanan gue memegang dada kiri gue secara spontan.
"Maaf. Kamu ngapain di sini?"
Aro kemudian melepas handuk kecil dari dahinya dan meletakkannya di samping baskom.
"Menurut ngana?" sahut gue jengkel.
Nggak peka apa bego sih, ini orang?
Gemes gue, jadi pengen nyium.
Eh?
Aro menggeleng pelan, sepertinya nggak cukup punya tenaga kalau dilihat gelengan kepalanya yang sangat pelan begitu.
"Seingat saya, saya meminta Riki untuk datang ke sini. Tapi kenapa malah kamu yang di sini?"
*****. Gue tersinggung.
"Nggak tahu. Ke laut kali," ketus gue snewen.
Hening. Tak ada jawaban atau respon dari Aro. Membuat gue panasaran untuk meliriknya.
"Pusing banget, ya?" tanya gue sedikit panik saat Aro hanya diam saja dan malah memejamkan matanya.
"Mau minum?" tawar gue kemudian.
Aro langsung membuka kedua matanya dan menoleh ke arah gue.
"Ini, minum dulu."
Tanpa menunggu jawabannya, gue langsung meraih teh hangat yang tadi sempat gue buat, yang sepertinya sudah mulai dingin. Baru kemudian menyodorkan-nya untuk Aro.
Meski seperti sedikit enggan, Aro tetap menerima teh yang gue sodorkan. Menyesapnya sedikit baru kemudian dikembalikan ke gue lagi.
"Makan dulu ya," tawar gue sekali lagi, "terus minum obat. Biar enakan."
"Saya mau tidur saja," tolaknya berniat kembali membaringkan tubuhnya. Namun tidak gue perbolehkan.
"Enggak. Lo baru boleh tidur setelah makan dan juga minum obat," tegas gue tak ingin dibantah.
"Ta--"
"Makan. Se-ka-rang!" tegas gue galak dan juga penuh penekanan.
"Saya ngantuk, Anggita, mata saya susah kebuka. Ya, kecuali kalau kamu mau nyuapin saya, saya akan makan sekarang juga."
Gue menerjap karena kaget. Itu apa maksudnya? Dia minta gue suapin gitu? Dia lagi godain gue ya ini?
"Saya yakin kamu nggak mau kan? Ya sudah, saya mau tidur dulu, bar--"
"Oke. Gue suapin lo, tapi lo makan sekarang," potong gue cepat.
"Kamu yakin?"
Gue memilih tak menjawab, hanya mengangkat kedua bahu gue dan lebih memilih meraih bubur ayam yang tadi gue bawa.
"Buka mulutnya," perintah gue dan untungnya langsung di turuti Aro.
Kalau enggak, udah pasti deh bakalan ada adegan adu mulut yang tak berujung, macem sinetron Indonesia. Panjang tak berujung dan tak berfaedah.
Ck. Kenapa gue malah bikin dosa dengan jelekin sinetron Indonesia, ya? Berasa kebanyakan pahala aja.
Namun tepat pada suapan ketiga--menuju suapan ke empat-- Aro mengangkat tangan kanannya, mengintruksi gue untuk berhenti memasukkan bubur ke mulutnya.
"Udah. Saya agak mual."
Gue mendesah pasrah, menurunkan mangkuk dan meletakkannya di meja nakas.
"Baru 3 sendok loh, masa udahan?"
Aro mengeleng. "Saya beneran mual ini. Nanti kalau saya paksain malah muntah, kamu juga yang repot nanti."
Gue kembali mendesah. "Satu suap deh," bujuk gue merayu, lengkap dengan nada manja--yang mungkin bisa membuat Aro beneran muntah kalau meliat ekspresi gue saat ini. Tapi untung saat ini dia sedang memejamkan kedua matanya, sehingga nggak perlu melihat eskpresi gue sekarang.
Namun secara tiba-tiba Aro membuka kedua bola matanya dan langsung menoleh ke arah gue, masih dengan ekspresi datarnya.
"Boleh," katanya tiba-tiba.
Ekspresi gue mendadak girang. Dengan cepat gue sambar lagi mangkuk berisi bubur yang tadi gue taruh di atas meja.
"Lewat bibir tapi, ya?"
*****. Kenapa pipi gue tiba-tiba panas, ya? Mana jantung gue norak pula, deg-degannya lebay banget.
Aro langsung tersenyum setelahnya. "Kamu ngarep banget ya, ngerasain bibir saya?"
Anjiir pede gila!
Eh, tapi kan gue emang agak ngarep dikit ya.
Astagfirullah! Mikir apaan coba gue barusan?
"Pede banget lo!" ketus gue langsung memilih pergi keluar kamar. Bahaya kalau gue lama-lama berduaan sama dia. Bisa-bisa khilaf gue entar.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
💕Desember💞
Ky ya udah dech Gi,, tukang buburnya naik Haji.... 😄😄🤗
2020-11-10
0
🍀Ode Tri🍀
ini nangis ma ketawa beda tipis sama-sama ngeluarin air mata 🤣🤣😜😜😜
2020-09-07
1
Rinna Gunjam'z
kyak orng gila aq thor,,, senyum2 sndiri
2020-02-27
1