"Selamat, bro, akhirnya. Kawin juga kan lo!"
Mas Gani langsung mendengkus, saat mendapat ucapan selamat dari Bang Riki. "Nikah, Rik! Nikah!" Ekspresinya terlihat seperti ingin menendang bokong Bang Riki saat ini juga.
Namun bukannya tersinggung atau pun merasa tidak enak, Bang Riki malah tertawa. "Halah, sama aja. Nanti bakalan kawin juga," ujarnya tanpa beban.
Membuat gue melotot dan langsung memprotesnya, "Bang Riki, iih, mulutnya," kata gue memperingatkan.
Bukannya sungkan atau semacamnya, Bang Riki malah melotot ke arah gue. "Nggak usah sok polos deh, Wat."
"Kalian dateng berdua aja nih?" tanya Mas Gani berbasa-basi.
Kami menoleh ke arah Mas Gani, baru kemudian mengangguk sebagai jawaban.
"Gue bingung mau ngajak yang mana, Gan. Jadi mending ajak Anggi aja," kata Bang Riki dengan santainya. Bahkan tanpa perasaan sungkan dan semacamnya, ia langsung merangkul pinggang gue, "lumayan ini rakjel biar bisa hemat ongkos buat ketemu mantan pac--Aduh! Sakit, Wat," pekik Riki, mengaduh sesaat setelah mendapatkan pukulan manis dari gue.
Enak banget sih itu mulut tinggal mangap. Lama-lama gue bawa ke tukang jahit juga itu bibir. Biar dijahit sekalian.
"Mulut lo ya, Bang, nggak pernah disekolahin apa gimana sih? Asal mangap aja. Nggak tahu malu ya, lo! Lo yang minta gue temenin. Kalo cuma buat bayar Abang ojol mah gue mampu. Masih sanggup juga tuh buat beli cilok sama batagor. Sembarangan aja!" balas gue tak terima.
Enak aja. Orang jelas-jelas dia yang ngajakin gue buat dateng bareng, eh, dia malah ngarang bebas sesukanya sendiri.
Dapat gue lihat wanita cantik nan anggun yang sudah resmi menjadi istri Mas Gani meringis sungkan, saat melihat tingkah kami. Membuat gue ikut meringis sungkan setelahnya. Sementara Mas Gani yang kebetulan sudah hafal dengan tingkah kami berdua pun, hanya mampu memutar kedua bola matanya jengah.
"Mulut lo tuh, yang nggak tahu malu," balas Bang Riki tak mau kalah, "udah, buruan kasih selamat sama pengantennya. Jangan bagasi, ikhlasin! Abis itu kita makan. Ini tanggal tua, duit lo paling juga tinggal 20rebu."
Gue melotot tak terima. Asem! Mulutnya Abang gue, ya Allah. Kurang ******* apa gimana sih itu? Nyerocos aja. Mana isi kalimatnya ngena di hati lagi. Kampret!
"Hah? Apaan bagasi, Rik?" tanya Mas Gani justru penasaran dengan celetukan Bang Riki.
Sementara gue hanya mampu memutar kedua bola mata gue jengah. Perasaan gue nggak enak sumpah.
"Bagasi. Bahagia enggak, sedih iya," kelekar Riki sambil memainkan alisnya naik turun.
Tuh, kan!
"Kampret! Nggak gue masakin seminggu mampus lo, Bang."
"Halah, goreng telor ceplok juga keseringan gosong aja sok-sokan ngancem. Lo nggak masak yang ada gue syukuran."
Gue mencebikkan bibir kesal, namun memilih untuk tak menanggapi celotehan Riki. Kedatangan gue kemari mengucapkan selamat pada Mas Gani dan istrinya, bukan hanya untuk berganti suasana dan tempat untuk berdebat dengan Bang Riki.
"Mas, Mbak, selamat ya. Samawa. Langgeng sampai kakek-nenek," ucap gue sembari menyalami Gani dan istri Mas Gani secara bergantian, "cepet dapat momongan, ya," imbuh gue kemudian.
"Iya, makasih ya doa nya."
Gue tersenyum tulus sembari mengangguk. Kemudian menoleh ke arah Riki.
"Cabut sekarang, yuk, Bang?"
"Cabut apaan, gue mau reunian dulu. Enak aja lo. Sekalian cari kakak ipar buat lo. Belum juga ngicipin makanannya, masa mau balik aja. Enak aja lo."
"Udah, Gi, nanti aja pulangnya. Abang kamu masih pengen ketemu sama mantan terindahnya tuh," goda Mas Gani sembari merangkul pinggang istrinya.
"Mantan terindah gue? Siapa tuh?" tanya Riki dengan ekspresi bingungnya.
Lah, masa sama mantan sendiri lupa.
"Putri. Cantika Putri."
Kedua mata Riki langsung berubah senang. "Lo undang dia?"
"Anya yang ngundang. Sohibnya istri gue tuh si Putri."
"Serius?"
Gue berdecak. "Halah, modus aja lo kerjaannya. Buruan ayo, balik, Bang. Gue ada janji sama si Vinzi nih abis ini."
"Ah, elah, rese lo," gerutu Bang Riki dengan wajah cemberutnya, "ya udah, kita cabut duluan deh. Pokoknya selamat buat kalian deh. Salamin juga buat si bapak koki, belum ketemu dia gue dari tadi soalnya."
"Ya, gimana mau ketemu orang lo baru dateng terus mau langsung balik."
"Noh, dengerin, Wat! Kita itu baru nyampe, masa iya udah mau balik. Nanti aja deh, ya, lo nggak mau ketemu Aro dulu emang?"
Hah, kenapa bawa-bawa Aro segala?
"Apaan sih, kenapa bawa-bawa kulkas dua pintu deh," protes gue tidak suka.
"Kenapa? Bukannya lo naksir," goda Bang Riki.
"Apaan sih, enggak, ya."
Karena kesal gue kemudian lebih memilih untuk segera berpamitan dan pergi dari ballroom. Tak lama setelahnya, Bang Riki nyusul.
"Gitu aja ngambek," ucap Bang Riki setelah berhasil menyusul gue.
"Katanya mau reunian sama mantan," sindir gue dengan nada sarkas.
"Nanti, gampang. Abis nganterin lo balik juga bisa. Yuk!"
"Mau ke mana, Rik?"
Baik gue mau pun Bang Riki otomatis menghentikan langkah kaki kami, lalu dengan kompak kami menoleh secara bersamaan. Membuat sudut Aro sedikit tertarik membentuk senyuman. Gue bilang sedikit ya, bener-bener sedikit. Gue aja ragu itu orang beneran senyum apa enggak.
"Lagi akur, ya? Nolehnya barengan banget."
Bang Riki langsung mendengkus. "Akur apanya, yang ada gue pengen banget ngajak gelut ini bocah," gerutunya sembari menunjuk gue dengan terang-terangan.
Lah, kok mendadak malah ingin ngajakin gelut?
Gue langsung melototi tak terima ke arah Bang Riki. "Kok lo gitu sih, Beneran ngajak gelut."
"Terus ini pada mau ke mana?" tanya Aro kemudian.
"Pengen ke lapangan sih, ngajak dia gelut, tapi dia ngambek. Ya udah, terpaksa balik. Nggak tahu, mau ketemu sama Kakak iparnya katanya," ujar Bang Riki tanpa beban.
Kakak ipar?
Siapa yang dia maksud?
"Kakak ipar siapa?" tanya gue dan Aro secara bersamaan.
Bang Riki menatap gue dan Aro secara bergantian, raut wajahnya terlihat seperti orang yang sedang curiga. Sialan. Memangnya kita ngapain sampai dicurigain begini.
"Kenapa gue mencium bau-bau mencurigakan, ya?" guman Bang Riki sambil mengusap dagunya sok misterius.
"Emang kita abis ngapain sampai Bang Riki curigain gini?" protes gue tak terima.
Aro?
Jangan tanyakan ekspresi dia saat ini. Karena jelas, jawabannya sama saja. Datar.
Bang Riki hanya mengangkat kedua bahunya sebagai tanda jawabannya.
"Ya udah, gue ikut gabung yang lain lagi ya," kata Aro berpamitan pada Bang Riki dan langsung meninggalkan kami begitu saja.
"Dasar kulkas dua pintu," guman gue jengkel. Kedua mata gue fokus menatap punggungnya yang luar biasa oke, yang kini mulai menghilang di antara kerumunan tamu.
"Jadi ketemu Vinzi nggak nih? Kalau enggak gue ikut gabung sama Aro dan yang lainnya," ujar Bang Riki membuyarkan lamunan gue.
"Lo ikhlas nggak sih, Bang, mau nganterin gue. Kalau enggak, mending gue balik sen--"
"Setuju," potong Bang Riki cepat. "Gue langsung gabung sama yang lain. Lo ati-ati pulangnya, nih, gue kasih buat ongkos," imbuhnya sambil menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah. Baru beberapa detik kemudian ia sudah menjauh dari pandangan gue. Buset, nggak niat amat sih mau nganterin gue balik.
"Sialan," umpat gue kesal dan juga geram. "Awas aja lo, Bang. Tungguin pembalasan gue!"
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
🍀Ode Tri🍀
aro mana sih ??? sono anterin Anggita pulang
2020-09-07
1
aruNada💦
ish Abang durjana...
2020-01-08
1
chika anaya
jadi kangen momen berantem sama adek.....
2019-11-09
0