####
Gue merasa menjadi orang paling sial setelah orang yang sial. Bagaimana tidak, ingatan tentang gue yang salah masuk kamar mandi masih begitu membekas di otak, bahkan hampir membuat gue merasakan trauma yang mendalam. Belum lagi adegan Aro yang mengendong gue ala bridal sambil lari-larian bikin semua orang heboh menatap kami waktu itu. Oh, jangan lupakan teriakan histeris milik Vinzi yang memenuhi lobby hotel kala itu. Lalu Mas Hari pun tak mau kalah, ikut menambah daftar kesialan gue, dengan menjebloskan gue ke dalam ruangan yang katanya VIP, tapi entah kenapa terasa begitu laknat di mata gue.
Bang Riki pun sama saja, ia memang langsung meluncur ke RSUM begitu mendengar kabar kalau gue masuk rumah sakit. Namun sayang, kedatangannya hanya untuk memastikan apakah gue sudah diceramahi Mas Hari dengan baik dan benar.
Ughh! Emang sialan, kampret ya, Abang gue itu. Dateng-dateng cuma nanya 'udah diomeli Mas Arkan belum lo? Kalau belum gue siap ngomelin lo.'
What the ****???
Abang gue ini gila, apa kurang waras, apa gimana sih?
Minimal tanya keadaan gue kek, sekalipun gue sendiri merasa sehat walafiat sih sebenarnya. Tapi tetap saja, minimal harusnya khawatir dong, masa dapat kabar adeknya masuk rumah sakit malah mau ngomelin, minimal basa-basi tanya keadaan gue lah. Apalagi ini Indonesia, yang mewajibkan setiap pertemuan itu harus ada yang namanya basa-basi. Enggak tahu deh berapa lapis kesialan gue hari ini. Gue sampai malas untuk menghitungnya. Lebih baik juga liat status bias di instagram. Hahahaha
Yoi, enggak???
Yang kpopers pasti setuju, nih.
Sambil memutar bola mata malas, gue memanggil Bang Riki yang sedang asik berbagi chat entah dengan perempuan mana.
"Bang, laper," rengekku sambil menatapnya sebal.
Ya kali, gue ditungguin tapi si doi malah sibuk main hape. Kan kampret!
"Ya, makanlah."
Gila! Bang Riki berujar dengan entengnya, masih sibuk dengan hape Vivo-nya.
Eh, sejak kapan i-Phone X Bang Riki ganti jadi Vivo??? Bang Riki lagi kena PHK apa gimana, kok turun derajat begini??
"Lo ganti hape, Bang?" tanyaku penasaran.
Bang Riki mengangguk, mengiyakan. Pandangannya masih fokus ke layar ponsel. Ugh, kalau saja tidak ada jarum infus menancap tragis di punggung tangan kanan gue, udah pasti deh, gue samperin Bang Riki yang sedang selonjoran di sofa, merebut ponsel Bang Riki dengan paksa. Yah, sayang seribu sayang. Infus sialan ini benar-benar membatasi gerakku.
"i-Phonenya lo jual, Bang? Kena PHK ya lo, Bang?" tuduh gue tak beralasan.
Bang Riki kemudian merogoh kantong jaketnya, mengeluarkan i-Phone X miliknya, mengangkatnya sambil mengoyang-goyangkannya ke atas.
"Kalo punya mulut dijaga dikit kenapa sih, Wat. Lo doain gue di PHK?" semburnya kemudian, meletakkan kedua ponselnya di atas meja.
"Harus banget gue suapin?" tanyanya sambil berjalan ke arah ranjang gue.
"Najis. Cariin gue makanan luar aja, Bang. Gue males liat barang lembek itu, jijik tau, Bang."
"Kalau dimarahin Mas Hari gimana? Ogah. Mas Hari galak parah. Gue nggak berani."
Gue langsung tersenyum mengejeknya. Yah, walau harus gue akui Mas Hari memang paling nyeremin kalau udah marah. Ngalah-ngalahin Suzana deh seremnya.
"Enggak bakalan. Mas Hari jam segini udah balik. Ngurusin anak istri, elah," bujuk gue agar Bang Riki segera pergi membelikan gue makanan.
Asli perut gue mulai kelaparan. Kan nggak lucu kalo durasi gue dirawat harus bertambah, cuma karena maag sialanku yang kambuh.
Setelah beberapa detik berpikir, Bang Riki mengangguk mengiyakan permintaanku.
"Lo mau makan apa?" tanyanya sambil memakai jaketnya. Kemudian memasukan dompet dan juga kedua hapenya ke dalam saku jaket.
"Ketoprak enak kayaknya, Bang,"
"Iya, yang pedes biar lo sekalian mules sampe diare terus tagihan rumah sakit membengkak?" sindirnya yang langsung membuat gue cemberut.
"Ya, udah. Siomay atau batagor aja," kata gue mengalah.
"Lontong sayur aja, ya," negonya kemudian.
Dia yang nawarin dia juga yang nentuin pilihan. Kok berasa ngeselin, ya?
"Pokoknya batagor atau siomay. Titik," ucap gue tak ingin dibantah.
Bang Riki hanya mengangguk pasrah sebelum menghilang di balik pintu. Belum ada dua menit berlalu, gue udah mendengar suara pintu terbuka.
"Kenapa, Bang, ada yang keti--loh Aro?"
Kedua bola mata gue membulat secara reflek, saat menemukan pria tinggi dengan kemeja abu-abu yang bagian lengannya digulung hingga siku.
Ya, Lord!!
Sumpah dia seksi abis, bukan abis seksinya??
"Feel better?" tanyanya sambil meletakkan bingkisan yang dibawanya di atas nakas.
Ya ampun, sumpah! Gue belum siap ini ketemu dia lagi. Masih tengsin parah. Huaaaaa pengen nangis tau nggak. Tapi kok ya, nggak keluar-keluar ingusnya. Kan makin sebel.
"Kok kamu di sini?" tanya gue berusaha biasa aja. Padahal dalam hati udah gemeter setengah mampus.
"Jenguk kamu." Dia berujar dengan santai, kemudian duduk di kursi sebelah ranjang.
Mampussss!!!
Gue nggak sanggup kalau doi bahas masalah salah masuk WC tadi.
"Gimana, udah enakan?" lanjutnya sambil mengetuk-ngetukkan jari lentiknya di atas meja.
Gue menelan ludah dengan susah payah, baru kemudian mengangguk samar. Ya Tuhan! Keluarkan gue dari situasi mengerikan ini, sebelum gue melakukan hal yang lebih konyol dari tadi siang. Ya ampun, jangan sampai.
"Oh ya, Riki kemana? Kok nggak kelihatan. Nggak balik ke kantor kan dia-nya?"
Aro kembali bertanya, sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
"Keluar, cari makan."
"Ohh." Aro mangguk-mangguk sambil ber'oh'ria.
Kemudian hening setelahnya. Sumpah. Aro nggak ada niat buat basa-basi setelahnya gitu? Kami berada dalam satu ruangan berdua, dan yang kami lakukan hanya diam kaya orang nggak saling kenal, meski pada kenyataannya ya, emang nggak kenal-kenal banget. Aro yang kini sudah berpindah ke sofa sudut ruangan kini sibuk dengan hapenya. Begitu pun dengan gue yang mau tak mau juga harus pura-pura sibuk dengan hape juga.
Arrghh, benar-benar menyebalkan!
Gue terus mengerutu dalam hati, saat Bang Riki tak kunjung menampakan dirinya. Padahal gue udah gue teror pesan singkat melalui WhatsApp. Tapi Abang gue yang kelewat ganteng itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Membuat gue makin kesal aja. Tepat setelah gue berhasil mengirim pesan spam untuk Bang Riki yang ke 55 kali nya. Baru deh, dia muncul sambil cengengesan dengan mata yang terlihat agak menyipit.
Ughh, jadi makin ganteng aja Abang gue.
"Ini, lontong sayurnya."
Bang Riki kemudian meletakkan bungkus makanannya di atas meja, sementara gue melototinya sebal. Hello, gue pesennya siomay atau batagor, ya. Bukan lontong sayur.
"Gue udah muter-muter buat nyariin pesenan lo, tapi nggak dapet. Masih mending kan gue nggak beliin lo bubur juga."
Masih mending gundulmu aboh!
Aduhhhh, kenapa jadi berasa beneran sakit gini???
"Udah, buruan makan!" perintahnya sambil mengambil mangkuk dan juga sendok. "Eh, kok lo di sini, Ar?" tanyanya begitu tersadar ada makhluk lain selain kami berdua.
"Heem, tadi kebetulan lewat. Terus mampir sekalian."
Aro bersuara agak gugup. Membuat gue dan Bang Riki sedikit heran dibuatnya.
Kenapa harus gugup???
"Lewat mana lo?" tanya Bang Riki yang kini sudah ikut bergabung di sebelah Aro.
Mangkuk yang berisi lontong sayur kini sudah berpindah ke atas meja. Dan siap untuk gue santap dengan sangat terpaksa. Oh, sedikit terpaksa maksud gue.
"Jalan."
"Jalan mana?"
"Gue tau pertanyaan lo pasti menjebak."
"Wah, lo beneran naksir adek gue, ya? Kata Mas Hari yang bawa lo ke sini tadi juga lo, kan?" goda Bang Riki yang sukses membuat gue tersedak.
Uhuk Uhuk Uhuk
Siapa yang naksir siapa?
"B aja kali, Wat," sindir Bang Riki sambil merongoh kantong jaketnya, mengeluarkan hapenya dari sana. Kemudian memekik heboh kaya anak perawan yang baru lepas perawan. "Mampus, gue kayaknya musti balik ke kantor deh, Wat. Gue ditingguin anak buah gue buat revisi laporan buat meeting besok."
"Ya, udah. Bang Riki balik ke kantor aja lagi," potongku cuek. Sumpah gue nggak lagi ngambek.
"Terus lo sendiri?"
Aku tertawa mendengar pertanyaan Bang Riki. "Enggak lah." Kemudian melirik ke arah Aro sekilas. Namun sayang pria itu sedang sibuk dengan hape nya.
Ughh, ada perempuan secantik gue, tapi doi malah milih mantengin hape????
"Kan ada suster sama dokter jaga," lanjut gue sedikit tak rela.
Sumpah demi muka gantengnya Om Song Seung heon, masa iya gue ngarep ditungguin Aro. Padahal kan doi juga yang bikin gue secara nggak langsung berakhir di sini.
Ajaibnya setelah gue mengatakan kalimat itu. Aro langsung melirik gue, membuat bulu kuduk gue meremang secara spontan. Gila!!Tatapannya ngerontokin imam banget sumpah!
"Biar gue yang jagain," kata Aro tanpa ekspresi.
Kedua bola matanya bahkan sibuk menatap ke layar hape nya sendiri. Tanpa melirik gue maupun Bang Riki. Model beginian naksir gue??? Amit-amit ya, Allah. Jangan sampai.
"Seriusan lo, Ar? Gue beneran musti ke kantor banget lho, dan kemungkinan hampir tengah malam gue baru balik ke sini," tanya Bang Riki memastikan. Aro sih cuma jawab dengan anggukan kepala, tanpa ada suara lain seperti deheman sama sekali.
"Ya, udah. Gue cabut ya. Titip adek gue," Bang Riki langsung bangkit dari sofa sambil menepuk pundak Aro, kemudian langsung pergi gitu aja.
Kok Bang Riki segitu tenangnya nitipin gue sama orang yang kayaknya nggak begitu rela nungguin gue gini.
"Tidur. Udahan mainan hapenya." Aro kemudian bersuara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar hape. Membuat gue sedikit tersentak karena kaget. Dan luar biasa anehnya gue langsung patuh. Meletakkan hape gue di atas meja dan langsung merebahkan tubuhku.
Semasa bodo amat deh Aro mau ngapain.
Namun baru beberapa menit gue memasuki alam mimpi. Tiba-tiba tidur nyenyak gue harus terganggu karena rasa nyeri yang luar biasa menyiksa di area perut gue.
Ya Tuhan, apa ini karma karena adegan pura-pura pingsan tadi?
Dengan sedikit susah payah gue mencoba membuka kedua mata gue. Dan menemukan Aro di samping gue dengan kedua mata tertutupnya. Dan dengan kurang ajarnya aku malah sempat-sempatnya memuji ketampanan Aro saat sedang tidur seperti ini.
Ya ampun, gue pasti udah gila ini.
Gue menggelangkan kepala, mencoba mengusir pikiran konyol itu. Dan memilih untuk segera membangunkan Aro. "Ar......" panggil gue lirih.
Serius. Nyeri yang sedang gue alami sekarang benar-benar membuat gue lemah.
Astaga. Sakit apaan ini gue ya Tuhan?
"Kenapa?" tanya Aro panik.
Gue memejamkan kedua mata gue sembari meremas perut gue. "P.pe...rut aku s...sa...kit," rintih gue seperti hendak menangis. Dan pada detik berikutnya tangis gue benar-benar pecah. Gue tahu ini agak lebay. Tapi serius, gue nggak tahan sama sakitnya.
Eh, tunggu-tunggu!
Gue kan divonis kena gejala radang usus buntu. Apa jangan-jangan...
"Sebentar, aku panggil dokter jaga dulu," kata Aro sembari merempas telapak tangan kiri gue, kemudian berlari keluar ruangan.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
🏕𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄𝖍𝖘❄
kayak pny iman aja lu wat 🤣
2022-09-12
0
RiniCincha
visualnya dong thor ....😃
2020-12-06
0
🍀Ode Tri🍀
nah loh karma boong tuh
2020-09-07
1