*****
Gue merasa hidup gue kali ini benar-benar sial. Demi Tuhan, gue merasa sudah tidak punya muka lagi saat ini. Rasanya gue benar-benar ingin mengakhiri hidup gue saking malunya. Ya ampun, insiden gue berteriak kesakitan tadi itu bukan dikarenakan sakit gue yang bertambah parah, bukan pula karena gue terserang penyakit serius lainnya. Bukan, bukan karena itu semua.Melainkan karena.... karena....
Astaga, gue bahkan tidak sanggup menjelaskan insiden memalukan barusan. Ya Allah, kejadian memalukan itu tidak hanya disaksikan Aro seorang. Melainkan dokter jaga malam dan juga suster yang menangani gue saat kesakitan tadi. Mereka semua menyaksikan tragedi yang mungkin akan meninggalkan bekas luka batin yang mendalam. Lebih parah dari insiden salah masuk toilet kemarin. Tenggalamkan saja gue ke rawa-rawa!
Karena malu, gue memilih untuk tidak keluar dari kamar mandi dahulu. Duduk di atas closet sambil meraup wajah gue frustasi.
ARGGHHHHH!!!!
Gue tidak sanggup lagi ya, Tuhan!
"Mbak Anggi, keluar dulu, yuk! Dokter Raka sudah keluar kok. Pacarnya Mbaknya juga lagi keluar. Mbak Anggi keluar dulu ya, di dalam kan dingin. Nanti Mbak Anggi tambah sakit loh."
Itu suara suster kenapa berisik banget sih. Nggak tau apa ini gue udah keki setengah mati, gara-gara insiden barusan, eh malah ditambah denger Mbak perawat. Serasa benar-benar ingin makan orang rasanya.
"Bisa diem nggak sih, Sus? Mending suster keluar juga sana!" usir gue galak.
"Nggak bisa lah, Mbak. Mas-nya nitipin Mbaknya ke sa--"
"Iya, iya terserah lo!" potong gue tak ingin mendengarkan suara nya lagi, "asal lo diem," lanjut gue kembali menutup muka secara frustasi dengan kedua tangan. Masa bodoh dengan sopan santun, gue tidak peduli.
"Loh Mbak-nya belum keluar juga, Sus?"
Oh, itu suara Aro.
Mampuss gue!
Gue harus gimana ini?
"Belum, Mas. Kayaknya, Mbak-nya masih malu deh sama adegan berdarah-darah tadi."
Gue langsung mengumpat kesal, saat mendengar si suster yang kebetulan lumayan cantik tadi membicarakan gue. Sialan.
"Ya udah, Sus. Suster bisa lanjut kerja. Biar Mbaknya saya yang urus."
"Anggita," panggil Aro setelah hening beberapa saat.
Gue meneguk air ludah dengan susah payah. Rasanya gue ingin mati aja. Huaaa.... sumpah malu banget rasanya, ya Allah.
"Anggita, cepat buka pintunya!" seru Aro sekali lagi. Suaranya terdengar datar, namun penuh penekanan.
Gue memilih untuk tetap diam. Belum ada niatan untuk membuka pintu. Demi Tuhan, gue masih belum siap bertemu Aro saat ini juga, masih malu luar biasa.
"Buka pintunya atau saya dobrak, Anggita!" Suara Aro kembali terdengar, dan kali ini terdengar lebih tegas dan tidak ingin dibantah. Namun, gue masih tetap bergeming.
"Anggita! Jangan membuat saya kehilangan kesabaran!" seru Aro sekali.
Oh tidak. Celaka. Mampus gue!
Kali ini nada suara Aro benar-benar terdengar seperti orang marah, dan itu cukup membuat gue ketakutan. Dengan takut-takut, gue akhirnya memilih untuk membuka pintu. Daripada dia benar-benar mendobrak pintu kan? Jadi lebih baik gue mengalah.
Setelah pintu terbuka Aro langsung mendesah lega. "Terima kasih," ucapnya sambil mengangguk lega.
Gue sedikit mengerutkan dahi bingung. Kenapa cepat sekali perubahan sikapnya?
"Saya belikan pembalut dan juga celana dalam. Lebih baik kamu ganti sekarang. Rasanya pasti tak nyaman bukan," ujar Aro dengan ekspresi kalemnya, sambil menyodorkan plastik berisi pembalut dan juga celana dalam, "saya tidak tahu ukuran yang biasa kamu pakai, tapi semoga saja bisa dipakai," imbuhnya kemudian.
Gue melongo.
Ya, kalian benar. Insiden yang yang membuat gue malu setengah mati tadi memang dikarenakan tamu tak diundang, yang menyebabkan mood perempuan jadi tak menentu. Kalian boleh tertawa sekarang. Silahkan!
Dengan sedikit enggan, gue akhirnya mengambil kantong kresek yang Aro sodorkan, kemudian kembali masuk ke dalam kamar mandi. Untuk memakai benda yang sejujurnya sangat gue benci itu. Ya, kalau bukan karena kebutuhan mana sudi gue memakainya. Sudah bikin perih, nggak nyaman, dan terasa sangat menganggu pula.
"Anggita, kamu baik-baik saja?"
Aro kembali bersuara. Gue mengeram tertahan. Emosi gue kembali meradang. "Ar, bisa lo diem bentar? Gue kesulitan ini masang 'nya' gara-gara infus sialan ini. Jadi bisa lo diem?" teriak gue jengkel.
Jujur, gue sedikit kesal karena Aro benar-benar diam di detik berikutnya. Tidak, maksud gue, paling tidak dia jawab sesuatu dulu dong, sebelum pada akhirnya benar-benar diem. Bukannya langsung diem gitu aja. Kan ngeselin.
Butuh waktu sedikit lebih lama sampai akhirnya gue selesai berganti dan keluar dari kamar mandi.
"Udah?" tanya Aro.
Gue hanya mengangguk, sebagai tanda jawaban.
"Saya bantu," ucap Aro sembari meletakkan tangan kanannya di pundak gue.
Namun, dengan cepat gue singkirkan tangan kekarnya yang lumayan berat itu. "Apa-apaan sih lo? Nggak usah nyari kesempatan dalam kesempitan, ya! Modus aja lo kerjaannya," ketus gue lalu berjalan mendahuluinya menuju ranjang.
"Saya hanya berniat membantu. Karena kalau saya perhatikan kamu terlihat kesakitan."
"Nggak usah sok perhatian!" ketus gue sekali lagi. Memilih langsung membaringkan tubuh gue di ranjang dengan posisi meringkuk.
Namun tiba-tiba Aro dengan seenak udelnya meluruskan kaki gue. Membuat nyeri perut gue semakin terasa.
"SAKIT BEGO!!" teriak gue emosi. Kedua mata gue bahkan sudah melotot tajam dan bersiap mengamuk Aro.
Sementara Aro dengan wajah terkejutnya hanya berkedip dengan mulut sedikit terbuka. "M.maaf, saya nggak sengaja. Demi Tuhan!" katanya setelah sedikit tersadar. Ekspresi wajahnya terlihat sangat bersalah. Membuat gue jadi gantian yang merasa bersalah.
"Plis, Ar, gue lagi sensi. Lo jangan bikin gue makin sensi dong," ucap gue kemudian.
"Maaf," sesal Aro.
Gue mengangguk maklum, lalu kembali meringkuk, dan kali ini gue memilih untuk mbelakanginya.
"Kenapa nggak dilurusin aja kakinya?" tanya Aro hati-hati.
"Lo belum pernah liat pacar lo kalau lagi datang bulan?"
"Saya sedang tidak memiliki pacar, kekasih atau hubungan semacamnya."
Secara otomatis gue menoleh ke arahnya, setelah mendengar kalimat Aro. Gue berkedip beberapa detik sebelum akhirnya berdecak jengkel. "Gue nggak tanya status lo," ketus gue sambil menggeleng. "Oke. Lupain! Adek perempuan lo, emang nggak gitu?"
"Saya tidak punya adik."
"Ka--"
"Saya anak tunggal, Anggita," potong Aro cepat.
"Oh."
"Jadi, kenapa nggak dilurusin aja?" tanya Aro, kembalo mengulangi pertanyaannya.
"Buat ngeredain nyerinya."
"Emang nggak ada cara lain?"
Tanpa sadar gue tersenyum. "Ada. Biasanya kalau dielus-elus Bang Riki, jadi nggak sakit sih. Tapi Bang Riki kan lagi nggak di sini. Jadi biar nyerinya agak berkurang ya, meringkuk."
"Keberatan kalau saya coba?"
"Hah?" Gue melongo.
"Saya coba elus perut kamu," kata Aro.
Dengan gerakan tegas gue menggeleng. "Nggak usah. Thanks. Gue tidur aja," kata gue langsung menutup wajah gue yang memerah dengan selimut.
Sialan. Kenapa tubuh gue merespon berlebihan begini sih. Lebay.
*****
Gue membuka kedua mata gue. Saat mendengar suara ponsel yang sangat gue yakini itu bukan milik gue maupun Bang Riki.
"Maaf. Kebangun gara-gara alarm saya, ya?"
Gue menoleh saat mendengar suara Aro yang ternyata sedang melipat sajadah kemudian berjalan ke arah gue. "Sudah lebih baik?" tanyanya kemudian.
Gue mengangguk pelan dan berdehem, guna mengusir rasa gugup gue yang tiba-tiba melanda tak tahu malu. "Kamu mau ganti lagi?" tanyanya, yang kali ini membuat gue bingung.
Hah?
Ganti lagi?
Ganti apa?
"Celana dalam sama pembalut, Anggita."
Gue lansung melotot dan tersedak ludah gue sendiri. Itu mulut kenapa frontal banget sih?
Aro memutar ke dua bola mata malas. "Saya tidak suka pake istilah-istilah yang belum tentu akan langsung kamu pahami nantinya."
Wah, mulutnya sudah balik lagi, gaes. Sudah tidak ada manis-manisnya sama sekali.
"Gimana, mau ganti enggak?"
Baru saja gue ingin membuka mulut untuk menjawab. Tiba-tiba Bang Riki muncul dari balik pintu dengan tampang kusutnya. "Gila capek," keluhnya yang langsung rebahan di atas sofa.
"Baru balik, Bang?" tanya gue dengan kedua mata menyipit curiga.
Bang Riki hanya menjawab dengan gumanan.
"Nggarap proposal buat meeting apa nggarap anak orang lo, Bang?"
Bang Riki terkekeh meski dengan kedua mata terpejam. "Sambil menyelam minum air, Wat. Gue mah bukan tipekal pria yang suka merugi."
Aro berdecak sebelum bersuara, "Sambil menyelam minum air, yang ada lo kelelep kali, Rik." Aro mencibir. "Gue cabut deh kalo gitu," pamitnya sembari menepuk punggung Bang Riki.
Bang Riki hanya menjawabnya dengan acungan jempol dan gumanan tak jelas.
"Saya pamit, ya. Cepet sembuh!" pamit Aro lengkap dengan senyum manis disudut bibirnya.
Gila!
Itu apa barusan?
*****
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
aduh, maluuu bet😭
2023-01-09
0
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
uhuyy... 🤗
2021-12-01
0
🍀Ode Tri🍀
hiburan banget nih novel tiap part bikin ngakak
2020-09-07
0