------
Semenjak adegan pingsan pura-pura gue kemarin, kerjaan gue seharian hanya bermain ponsel, menonton televisi, dan juga membaca novel. Semacam siasat juga sih, untuk melupakan adegan tambahan kemarin, saat Aro mengaku menjadi suami gue dan gue keguguran. Astaga, kalau ingat kejadian itu, rasa-rasanya gue ingin mengakhiri hidup gue saja, karena malu. Gila.Mana pipi gue suka panas tiba-tiba lagi, kalau mengingat kejadian itu.
Gue menggelengkan kepala, demi bisa mengusir pikiran gila gue barusan. Astaga, kenapa gue malah bayangin wajah Aro coba?
"Kenapa lo, pusing? Obatnya udah diminum belum? Kalau belum minum, minum dulu sana! Kalau lo sampai sakit lagi gue yang repot, mana kena omel Mas Hari pula. Untung gue bukan tipekal anak tukang ngadu, coba kalo gue tukang ngadu dan ngaduin ke nyokap di Solo pas lo sakit kemaren. Udah kena damprat gue sama bokap karena--"
"Bang," sela gue sambil meliriknya sebal.
Gue heran deh, kenapa mulut Bang Riki itu kalau bicara kayak kerata api. Panjang dan juga berisik.
Juguju nguk nguk 💨💨💨
Sebel gue kalau mendengarnya.
"Kenapa?" tanya Bang Riki.
"Mulut lo, kalo nerocos ngalah-ngalahin emak-emak tukang gosip tau." Gue berdecak sembari membalikkan halaman novel yang sedang gue baca.
Bang Riki langsung mencibir, "Cerita halu lo baca, nggak bikin lo dapat pahala. Mending baca Al Qur'an sana, jelas. Dapat pahala pula," gerutunya kemudian.
Gue memilih mengabaikan ceramah dadakannya. Karena cerita yang sedang gue baca, jauh lebih menarik ketimbang mendengerkan ceramah suara berisik Bang Riki, yang kebetulan belum dilaksanakan olehnya sendiri.
"Wat, ke butik yuk," ajak Bang Riki tiba-tiba.
Gue langsung menoleh ke arah Bang Riki heran. "Mau beliin siapa?" tanya gue curiga.
"Vinzi. Sama lo sekalian juga boleh."
Aku langsung melotot begitu mendengar nama Vinzi disebut. Bentar, bentar, ini Abang gue bukan mau ngasih hadiah Vinzi karena abis muasin dia di ranjang kan.
"Abis nidurin dia lo?" tuduh gue dengan kedua mata menyipit tak suka.
Bang Riki ini hobinya emang beliin barang-barang seperti baju, sepatu maupun tas branded untuk perempuan yang habis dia ditidurin. Jadi wajar dong, kalau gue langsung curiga dan mikir ke arah sana.
"Rencananya," kekehnya sok malu-malu karena ketahuan.
"Enggak. Gue nggak terima kalo sahabat gue lo tidurin, enak aja lo." Gue menggeleng tegas. Tidak peduli dengan niatnya yang serius atau cuma untuk bercanda.
"Bercanda elah. Serius banget respon lo." Gue hanya mampu mendengkus tak percaya saat mendengar pembelaannya. "Udah buruan ganti baju lo, ntar gue beliin apa aja yang lo minta," sambungnya membujuk.
Gue kembali mendengkus tak suka. "Nyogok, lo?"
Bang Riki langsung mengangguk membenarkan.
"Buruan ganti baju sana! Lagian lo nggak mau cari baju buat kondangan di nikahannya Gani. Kampret! Itu Bapak pengusaha udah mau kawin aja. Asem bener dah, padahal kata Aro kemarin baru aja patah hati ditinggal nikah mantan gebetannya, lah, sekarang udah mau nyusul aja."
"Lah, bukannya lo udah kawin mulu ya, Bang? Hampir tiap hari perasaan," balas gue sengaja menyindirnya.
"Sialan. Punya mulut asal mangap kok ya, bener," umpat Bang Riki diiringi ketawa nistanya, "udah, buruan sana ganti baju. Ntar gue kasih bonus cilok," sambungnya kemudian.
Gue berdecak kesal karena bonus yang gue dapet cuma cilok. Namun, tetap saja gue menuruti perintahnya. Dengan sedikit malas, gue pun bangkit, beranjak dari sofa menuju kamar gue yang ada di lantai atas, untuk berganti pakaian.
"Eh, anjiirr! Enggak pake celana lo?" teriak Bang Riki tiba-tiba, saat gue hendak menaiki anak tangga.
Gue menoleh dengan ekspresi datar, kemudian mengangkat jaket yang terkesan agak kebesaran, jadi menutupi celana pendek jeans gue yang super pendek. Bang Riki menggeleng sembari mengibaskan tangan kanannya, mengintruksi gue agar segera bersiap.
Setelah selesai berganti pakaian, gue pun langsung turun. "Yuk, gue udah siap," ajak gue begitu selesai mengganti pakaian gue.
Bang Riki berdecak tiba-tiba saat gue sudah ada di hadapannya. Gue mengerutkan dahi bingung. Ada yang salahkah dengan pakaian gue? Atau penampilan gue terlalu cantik, sehingga membuat Bang Riki mungkin sudah harus mempersiapkan diri untuk gue tinggal menyusul Mas Gani (read;menikah). Oke, sepertinya tebakan asal gue terlalu ngasal dan halu.
"Lo nggak punya celana panjang apa gimana sih, Wat?" tanya Bang Riki dengan ekspresi jengkelnya, "mentang-mentang punya paha mulus," gerutunya kemudian.
Astaga. Gue kira apa, dan ternyata cuma gara-gara itu?
"Terima kasih, Abang, atas pujiannya."
"Wong edan! Dienyek kok ora rumangsa." (read:orang gila, diejek kok enggak berasa)
"Lha kapan lehmu ngenyek to Mas? Rumangsaku pupuku kan nyat puteh tenan. Yo berarti kuwi pujian toh?" (read:lha kapan sih kamu ngejeknya Mas? Perasaan pahaku kan emang putih. Ya berarti itu pujian dong.)
"Sak karepmu dewe lah," ketus Bang Riki kesal. (read:terserah diri mu lah)
****
"Gue mau yang ini Bang," tunjuk gue pada gaun merah muda menjuntai dengan indah di patung manekin, begitu kami masuk ke dalam butik.
"Cantik," guman gue, sambil memandangi gaun yang membuat gue langsung jatuh cinta pada gaun panjang tanpa lengan ini.
Bang Riki menghela napas sambil memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku jeans. "Enggak. Yang ini pasti kemahalan, nggak cocok buat lo. Lagian terlalu rame itu mah, ntar dikiranya lo belum bisa move on," komentarnya pedas.
Gue langsung melotot tak terima ke arahnya. Itu apaan maksudnya. Hubungan gue sama Mas Gani berakhir memang karena gue yang menginginkannya.
Ya kali gue yang mutusin, tapi gue juga yang nggak bisa move on. Ada-ada aja Bang Riki ini.
"Sembarangan! Lo lupa, Bang, siapa si pihak yang mutusin?"
Bang Riki langsung menjawab dengan gelengan kepala tegas sebelum menjawab, "Elo kan?"
"Nah, itu lo inget. Gue yang mutusin ya, nggak mungkin lah gue juga yang gagal move on. Lo kalau mau nyusun kata-kata, otak lo yang katanya jenius itu dipake juga dong, Bang. Biar bermanfaat," dengkus gue kesal.
Bang Riki memandangku malas. "Emang model gaun beginian mau dipake ke mana selain kondangan ke nikahan Gani? Mall? Nonton ke bioskop? Alfamart? Atau mau lo pakai sekali aja abis itu lo simpen dan nggak lo pake lagi? Berasa anak Sultan aja lo," sindirnya kemudian.
Sialan. Gue tersinggung.
"Nggak akan kepake kan, udah pilih yang lain. Minimal putih kan bisa buat acara resepsi lo entar," ejek Bang Riki diiringi tawa nistanya seperti biasa.
Gue cemberut memasang wajah sedih karena tak bisa memiliki gaun tadi. Kemudian mengedarkan pandangan gue mengelilingi gaun-gaun cantik lainnya. Seketika gue merasa norak, bingung mau pilih yang mana.
"Bingung, Bang," keluh gue memandang Bang Riki yang baru saja memilih jas texudonya, mungkin.
"Ck. Ribet banget deh lo. Pilih satu yang kira-kira paling cantik versi lo."
Kedua mata gue langsung berbinar mengingat gaun yang gue lihat pertama kali saat masuk butik ini. "Gaun yang tadi, Bang. Itu yang paling cantik kalau versi gue."
Bang Riki langsung melotot tajam ke arah gue. "Lo mau morotin gue? Lo belum liat harganya?"
Gue menggeleng karena memang belum melihat harga gaunnya. Itu kebiasaan gue kalau lagi belanja bareng Bang Riki emang sangat-sangat jarang melihat harganya.
"Bisa lo buat nonton konser bias lo!"
"Serius?"
"Kalau nggak percaya lo tengok aja sendiri," ketus Bang Riki terlihat kesal sebelum meninggalkan gue begitu saja.
Gue menggeleng dengan tegas menolak sarannya. Kemudian beralih ke pada Mbak-Mbak yang sedari tadi membuntuti gue.
"Kira-kira saya cocok yang mana Mbak?"
Mbak-Mbak penjaga itu kelihatan agak ragu-ragu sebelum menjawab. "E...ummm semuanya saya kira coc--"
Gue langsung berdecak. "Modus lo, biar gue beli semua terus lo dapet bonus. Ora sudi aku Mbak," (read:nggak rela aku Mbak)
"En...enggak Mbak, maksud saya Mbak-nya cantik mau pake baju kaya apa tetep cantik, jadi--"
"Stop! Gue nggak butuh pujian, lagian gue nggak punya duit buat ngasih tips. Saya ini sebenernya orang miskin, yang punya duit banyak mah Abang sama Bapak-Ibu saya. Saya mah rakyat jelata, karena nggak lulus kuliah," cerocosku malah cuhat colongan.
Si Mbak-Mbak nya tampak menaikkan sebelah alisnya bingung-mungkin-denger curhatan dadakan dariku.
"Gimana udah dapet?" tanya Bang Riki yang sepertinya sudah selesai mencarikan gaun untuk Vinzi.
Sial!
Kok gue nyari dari tadi nggak dapet-dapet, ya?
Gue menggeleng lemah sebagai jawaban, karena sedari tadi belum bisa menemukan gaun untuk dibeli. "Abang aja lah yang nyariin," kata gue pasrah pada akhirnya.
Bang Riki memandang gue tak percaya. "Yakin lo suka sama pilihan gue ntar?"
Gue mengangguk pasrah. "Gue mah udah terlahir cantik dari bayi, jadi nggak masalah mau dipilihin gaun kaya apapun," ucapku dengan pedenya.
"Narsis gila!"
****
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Tri 💖 Asih
bagus,,,lucu jg..
semangat terus thorr
2019-09-01
5
Defiarti
lnjut thor ni bgus cerita na
2019-09-02
3
Noprie Rygie
lain dari pada yang lain,walau ada yang gak suka bahasanya,,cuma menurutku bagus kok,sebelom ada apk ini dulu novel jenaka kayak gini juga banyak kok jadi novel tuh bukan semata2 yang kata2nya formal doang,,jadi semangat ya thor,,💪💪
2020-12-07
2