Sekarang gue sudah tiba di supermarket untuk belanja keperluan bulanan. Tanpa Vinzi yang tadinya sepakat mau menemeni gue. Namun sayang, perempuan cantik nan seksi asal Bandung itu tiba-tiba mangkir dari janjinya, karena sang Ibunda sedang melakukan kunjungan dadakan ke kostannya. Gue sebenarnya kurang suka belanja sendirian, tapi apa mau dikata, nasib gue mengatakan demikian.
Akhirnya setelah gue selesai memilih beberapa bahan makanan cepat saji semacam, nugget, sosis, telur, mie instan, dan juga sarden. Gue memilih melipir ke bagian peralatan mandi, yang sebenernya punya gue masih ada stoknya. Kalau bukan karena duit yang disodorkan Bang Riki tadi pagi, gue tidak bakalan sudi membelikan keperluan pribadinya begini.
Gue mulai mencomot barang-barang sesuai dengan catatan yang diberikan Bang Riki. Namun langkah kaki gue tiba-tiba berhenti saat menjumpai kalimat ganjil yang membuat gue harus memutar otak dengan sangat keras.
Wadah masa depan.
Barang apakah itu?
Eh, masa iya balon yang itu. Dengan setengah jengkel, sekaligus penasaran akhirnya gue memilih menghubungi Bang Riki melalui via telepon. Karena sudah dapat dipastikan kalau hanya mengirim pesan pasti tidak akan digubris olehnya.
"Halo, Abang ini--"
"Apaan sih, Wat? Ganggu banget sih, orang lagi enak ini. Udah mau klimaks nih gue."
Gue melongo, saat mendengar kalimat yang Bang Riki ucapkan. Gue bahkan belum selesai bicara, dan harus mendengar suara anehnya yang terdengar serak. Masih dengan sedikit shock, gue kemudian melirik jam tangan pemberian dari Bang Riki waktu ulang tahun gue tahun lalu.
Gila! Jam segini udah main 'itu' aja, emang sakit jiwa Abang gue ini. Nggak bisa apa agak maleman? Astagfirullah!
"Anjiirr, lo lagi 'itu' Bang? Gila! Jam berapa ini woyy?"
Gue sudah tidak peduli dengan tatapan aneh orang-orang saat mendengar gue berseru heboh. Masa bodo. Ini masalah gawat, Abang gue satu-satunya lagi enak entah dengan perempuan mana kali ini. Wajar kalau gue heboh.
Astaga, jangan-jangan dia lagi main sama sekertarisnya lagi. Macem di novel-novel bergenre dewasa yang pernah gue baca secara tidak sengaja.
"Nggak ada yang salah sama waktu, ya babe. Yang penting bisa saling memuaskan."
Ingin rasanya gue membanting semua yang ada di hadapan gue. Gondok tahu enggak rasanya. Apa perlu gue potong itu burung kali ya, kalau setiap hari dicelupin sana-sini. Mana desahan mereka kedenger jelas banget. Anjiirr parah, bikin gue keringet dingin deh.
"Astaghfirullah, Abang!" pekik gue geram.
Dapat gue dengar dia tertawa disela-sela desahannya.
Gue mendengar lagi suara grusak-grusuk. "Udah deh, sekarang kasih tau gue kenapa lo tiba-tiba nelfon? Nggak minta jemput kan lo?"
Kali ini gue dengar suara Bang Riki sudah terdengar normal, tanpa ada suara aneh-aneh lainnya. Mungkin udahan kali penyatuan mereka.
Gue mendengkus sebal. "Bukan. Gue mau nanya catetan ambigu lo. Ini apa wadah masa depan? Tupperware apa balon?"
Gue dapat mendengar dengan jelas suaranya tengah tertawa terbahak-bahak. Astaga, sepertinya hobi Abang gue itu menertawakan gue.
"Bukan bego, itu ******, CD elah. Ya, kali Tupperware. Lagian nggak mungkin lah gue nitip 'balon'. Mana mungkin juga coba lo mau dititipin sama barang laknat itu."
Gue kembali mendengkus sebal sambil mendorong trolli gue menuju bagian celana dalam. "Iya, itu lo tau. Ya udah deh, gue tutup. Lo lanjut lagi gih, asal jangan sampai kebobolan!"
Gue mendengar bang Riki kembali tertawa sumbang. "Siap, cayangkuh! Gue lanjut ya, lo ati-ati pulangnya. Bye!"
Gue hanya mampu mengelengkan kepala, sambil menatap ponsel keluaran negeri Gingseng dengan tatapan miris. Baru kemudian gue masukin ponsel gue ke dalam tas selempang. Lalu berniat mengambil satu kotak CD pesenan bang Riki. Namun sepertinya memang nasib gue hari ini sedang sial. CD pesenan Bang Riki main dicomot oleh pria berperawakan tinggi. Gue yang lumayan tinggi aja cuma nyampe sebahunya.
Sebenernya sih, tampilannya oke juga. Tatapan mata datar persis yang digambarin di novel-novel yang biasa gue baca. Dada bidang, hidung mancung, rahang tegas. Kemeja slimfit, yang sialnya digulung sampai siku, justru menambah pesonanya yang sudah memancar secara luar biasa. Bahunya yang terasa sandar-able, belum lagi tidak ada brewok-brewok tipis di sekitar rahangnya, menambah nilai plus di mata gue.
Astagfirullah al'adzim!
Gue baru aja ngapain? Kok malah melamun tidak jelas, dan membiarkan pria yang belum gue tahu namanya itu pergi begitu saja tanpa gue ketahui namanya. Enak saja, gue belum puas memandangi wajahnya juga, main pergi saja. Enggak sopan banget di itu manusia.
"Woyy! Mas, tunggu!!" teriak gue tak punya malu.
Pria itu langsung membalikkan badannya sembari menunjuk dirinya tak yakin. "Maaf? Saya?" tanyanya terlihat ragu.
Astagfirullah, apaan itu tadi kok malah minta maaf? Mana tatapan matanya innocent banget lagi. Kampret! Kan gue jadi salah tingkah.
Gue berdehem sejenak. Berharap bisa menghilangkan kegugupan gue yang melanda secara tiba-tiba.
"Sorry, Mas, itu tadi Cd-nya gue duluan yang liat. Bisa tolong dikembalikan."
Seketika dahinya mengkerut. "Lalu?"
Gue menyilangkan kedua tangan gue di depan dada. "Ya, lo kembaliin lah, kan gue dulu tadi yang liat. Lo asal comot aja, enak banget lo, lo nggak ngerti kalimat ladies first?"
Astaga, gue sudah nyerocos panjang kali lebar kali tinggi masih ditambah juga, tapi doi malah ketawa sengak. Sialan! Untung ganteng. Kalau enggak.... ya enggak gue apa-apain juga sih. Hehe.
"Maaf ya, Mbak. Anda juga jelas tahu kan kalimat siapa cepat dia dapat?"
Skakmat, dia ngebalikin kalimat gue.
Mampus gue!
"Nah! nggak bisa jawab kan? Berarti udah clear kan?" Dengan tampang songong itu pria langsung pergi begitu aja.
"Ya, nggak bisa gitu dong, Mas. Gue kan yang pertama liat dan gue udah mau ambil cuma--"
Gue belom selesai mengeluarkan segala unek-unek gue, tapi tiba-tiba pria itu berbalik dan memotong kalimat gue sekali lagi. Gue langsung mingkem seketika. "Maaf, kalo niatan anda ingin berkenalan dengan saya bukan begini caranya. Lagi pula saya tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan anak di bawah umur. Permisi."
Gue hanya melongo setelah mendengar semua penuturannya yang super pede barusan. Apa coba yang dibilang tadi, pengen kenalan? Enggak tertarik dengan anak di bawah umur? Ini bener-bener gila. Gini-gini, gue udah bisa kali kalau diajak bikin bocah kali. Sembarangan aja.
Gue mendengkus sebal sembari menatap punggung lebarnya yang kian menjauh. Sial. Kalau dilihat dari belakang kenapa jadi makin menggoda, ya. Enak kelihatannya, kalau gue coba peluk dari belakang. Uuhhhh, rasanya pengen nyusulin deh, terus peluk-peluk manja.
Astagfirullah! Ini kenapa dengan otak gue yang mendadak malah melantur tidak jelas begini.
Gue kemudian menggelengkan kepala, mengusir pikiran gila gue barusan. Sambil mendorong trolli gue, berjalan menuju kasir untuk membayar dan langsung bergegas pulang setelahnya.
Sesampainya di rumah, langsung meletakkan barang belanjaan gue di atas meja. Lalu gue menghempaskan tubuh gue di sofa. Kalau boleh jujur, gue sebenernya masih agak kesal dengan pria songong tapi ganteng tadi.
"Awas aja kalau sampe ketemu lagi, gue cakar-cakar mukanya. Arghhhh, sebel!" teriak gue melampiaskan emosi gue.
"Siapa yang pengen lo cakar-cakar?"
Gue langsung menoleh dan mendapati Bang Riki baru masuk ke dalam rumah, sambil melongarkan dasinya.
"Orang. Tadi nggak sengaja ketemu."
"Terus kenapa pengen lo cakar?" tanya Bang Riki sambil duduk di samping gue.
"Ya, abis nyebelin parah, Bang. Emang ganteng sih, tapi nyebelin. Emang kalau orang ganteng itu harus banget ya, Bang, songong?"
Bang Riki tertawa sambil membongkar barang belanjaan gue, lalu mengambil yakult punya gue. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, Bang Riki langsung membukanya dan meneguknya sampai habis. Meski hanya sebotol, tapi tetep saja kan, dia tidak meminta izin dahulu. Di mana-mana kalau tidak meminta izin itu namanya tidak sopan.
"Ya enggak harus sih, cuma menurut gue wajar. Kalau orang ganteng songong, ya wajar. Yang nggak wajar itu udah jelek, belagu, songong, dan terus nggak ada bagus-bagusnya. Nah, itu baru kurang ajar namanya."
Gue mendengkus, masih tak rela dengan yakult gue yang dicomot dia. "Itu yakult gue, Bang."
"Satu elah, pelit amat lo jadi adek. Lagian ini juga pake duit gue kan?" Bang Riki berdecak sebal. "Eh, betewe ini ****** pesenan gue mana? Kok enggak ada?"
Gue hanya memutar bola mata malas waktu melihat Bang Riki sedang mengubek-ubek kantong kresek barang belanjaan.
"Heh, ditanya malah diem, kuping lo ke mana sih?"
"Kalah cepet gue."
"Hah?"
"Iya sama cowok yang gue bilang ganteng tadi. Dia yang menang."
"Hah? Maksud lo? Lo rebutan ******?" Bang Riki menatap gue tak yakin, seperti gemes ingin mengatai gue namun ia tahan, dan gue hanya mampu mengangguk lemah sebagai tanda jawaban.
Seketika tawa bang Riki pecah. "Astaga, lo bego apa gimana, sih? Tadi lo misuh-misuh nggak jelas cuma gara-gara rebutan ******? Parah lo, sumpah!"
Gila ini Abang gue. Gue bela-belain agar gue mendapatkan itu ****** pesanannya. Lah ini gue malah dikatain bego, dasar Abang nggak tahu diuntung. Ingin sekali rasanya gue menyakar wajahnya agar terlihat jelek sedikit.
"Gila ya lo, Bang. Gue tadi ribut sama cowok juga buat lo. Lah ini lo malah ngatain gue seenak posisi 69."
Gue menyilangkan kedua tangan gue, lalu membuang napas kasar. "Anje gile, udah tau aja nih ceritanya enaknya posisi 69." Bang Riki tertawa, sementara gue hanya mendengkus sebal, "tapi kalau menurut gue lebih enak posisi woman on top," kelakarnya dengan senyum mesum yang super nyebelin.
"Serah lo deh bang!"
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
manusia hilang
Ngakak deh sampe perutku sakit: v 🤣🤣
2019-10-26
3
πa²
baru baca kaya nya seru....😄😄😄
2019-12-31
2
🏕𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄𝖍𝖘❄
kenapa perumpamaan nya pake itu sih, kan gw jadi travelling 🙈
2022-09-12
0