******
Gue tidak tahu apa yang sedang terjadi sama diri gue. Sejak dapat kabar kalau Aro sudah kembali ke Bandung, entah kenapa gue merasa semakin males untuk melakukan kegiatan. Bahkan episode terbaru drama korea Euchalala Waikiki season 2 yang sudah gue downlot masih menganggur dan belum gue intip sama sekali.
"Wat, gorengin gue telor ceplok! Gue mau mandi dulu. Abis gue mandi harus udah siap. Gue nggak mau nunggu," teriak Bang Riki yang gue yakini masih menaiki anak tangga saat ini.
"Ogah! Lo masak mi instan aja, gue lagi nggak mood. Mager," balas gue ikut berteriak dari kamar.
"Apa lo bilang?" tanya Bang Riki tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar gue.
"Lo delivery order aja deh, atau jajan keluar, kalau lagi males makan mi rebus," kata gue.
Bang Riki memicingkan kedua matanya curiga, lalu berjalan pelan masuk ke dalam kamar. Helaan napas lelah terdengar keluar dari mulutnya, sebelum duduk di tepi ranjang.
"Lo kenapa sih, Wat? Sikap lo akhir-akhir ini aneh banget tahu. Lo ada masalah?"
Gue hanya menggeleng pasrah, sambil mengeratkan guling yang sedang gue peluk.
"Serius, ini lo galau berhari-hari bukan gara-gara sohib gue si kulkas dua pintu kan?" Wajah Bang Riki berubah gemas.
Gue memilih diam. Tidak menyangkal atau pun mengiyakan.
"Kalau lo nggak mau ngaku, gue telfonin orangnya sekarang juga," ancam Bang Riki terlihat kehilangan kesabarannya.
Gawat. Mampus gue!
Gue nggak punya pilihan lain selain ngaku. Akhirnya dengan pasrah gue mengangguk pasrah.
"Iya, apa? Iya gue telfonin A-"
"JANGAN!!" pekik gue panik.
Bang Riki langsung mendengkus. "Biasa aja respon lo."
"Iya, sohib lo si kulkas dua pintu yang bikin gue galau berhari-hari puas lo?"
"Asatag. Gila ya, lo, Wat. Semua temen gue mau lo masukin ke daftar deretan mantan lo? Kemarin Gani, terus sekarang Aro, besok siapa lagi?" tanya Bang Riki sambil memasang wajah pura-pura ngerinya.
"Belum tentu juga dia mau sama gue, Bang," lirih gue pelan. "Jadi lo tenang aja."
"Ebuset. Lo ngarep bener, ya?" Bang Riki menatap gue horor.
"Enggak juga," ucap gue asal sambil mengangkat bahu.
"Seriusan lo naksir?"
Kali ini ekspresi Bang Riki jauh lebih kalem, meski sorot matanya memancarkan sebuah tanda ketidakpercayaan. Ck. Jangankan Bang Riki, gue saja juga nggak percaya. Karena enggak tahu mau menjawab apa gue hanya menggeleng sebagai respon.
"Maksudnya geleng kepala itu apa?"
"Gue nggak tahu, Bang." Gue mengaku dengan jujur.
"Kok bisa? Gue tiba-tiba jadi kepikiran mulu setelah denger omongan lo waktu itu."
Bang Riki memundurkan wajahnya, kedua bulu matanya menerjap, tanda sedang berpikir.
"Omongan gue yang mana?" tanyanya kemudian.
"Waktu itu loh, Bang, yang lo bilang kalau jatuh cinta nggak bisa kita rencanain kapan dan dengan siapa kita akan jatuh cinta," kata gue menjelaskan.
Bang Riki melongo.
"Sumpah ya, Bang, gegara omongan lo itu gue mendadak gelisah, galau, merana. Kayak orang gila."
Bang Riki meringis. "Ajaib juga ya omongan gue."
"Iya, saking ajaibnya mampu menjungkirbalikkan dunia gue," gerutu gue sebal.
Membuat Bang Riki langsung tertawa. Bahkan dengan gemasnya, ia memukul gue dengan guling yang tadi sempat gue peluk.
"Lebay lo! Udah buruan masakin gue dulu, gue laper, sumpah," suruh Bang Riki yang langsung gue tolak mentah-mentah.
Gue lebih memilih menarik selimut, bersiap untuk membaringkan tubuh gue, namun dicegah Bang Riki.
"Gorengin gue telor ceplok dulu!"
"Males. Gue lagi nggak mood," tolak gue.
"Gorengin atau gue aduin ke Aro kalau lo lagi-"
"Berani lo aduin, gue potong benda pusaka lo," ancam gue galak.
"Makanya, gorengin dulu. Gue cuma nyuruh lo goreng telor, bukan bikinin gue semur rendang."
Gue mendengkus, karena kalah. Dengan gerakan tak rela, akhirnya gue beringsut turun dari ranjang diikuti Bang Riki di belakang gue.
"Gini kan cakep."
"Bodo," ketus gue jengkel sambil berjalan keluar kamar dan turun ke bawah.
****
"Alhamdulillah, meski cuma makan nasi putih sama telor ceplok tanpa rasa, perut gue bisa kenyang juga," ujar Bang Riki setelah menandaskan air putihnya sebagai pelepas dahaga sehabis makan.
Tangan kanannya tampak mengelus perutnya yang sedikit membuncit karena kekenyangan. Sementara gue hanya mendengkus melihat kelakuannya.
"Cuciin piringnya sekalian, ya,"cengir Bang Riki sambil memasang wajah sok polosnya.
Membuat gue langsung melotot ke arahnya dengan pandangan tak terima. Apa-apaan barusan itu, kok makin ngelunjak.
"Ora sudi," tolak gue mentah-mentah.
Bang Riki mangguk-mangguk santai, kemudian menatap gue. "Ya udah kalau nggak mau, nggak papa. Cuma nanti kalau gue khilaf ngaduin pengakuan lo tadi, jangan salahin gue ya?"
Astaga. Itu ancaman?
"Lo ngancem gue, Bang?" Gue menatap Bang Riki tak percaya.
Dengan polosnya Bang Riki menggeleng. "Enggak. Gue nggak ngancem kok, cuma ngasih penawaran aja. Ya, kalau lo nggak mau, ya udah. Gampang kan?" Kemudian mengangkat bahunya acuh tak acuh.
Sialan. Nyesel gue curhat sama Bang Riki. Dapet solusi enggak, merasa lega juga enggak, yang ada malah apes.
"Sialan lo, Bang," gerutu gue sambil meraih piring Bang Riki yang kotor dengan sedikit kasar.
Bang Riki tersenyum penuh kemenangan, membuat gue gemas ingin mencekik lehernya. Sial. Gue kesel banget sama ini manusia.
"Abis ini lo bikinin gue kopi ya, gue mau lembur," ucap Bang Riki sambil bangkit berdiri.
Gue langsung menoleh ke arahnya. "Kok makin ngelunjak?"
"Kenapa? Enggak mau? Ya, nggak papa. Gue juga nggak maksa."
"Sialan."
Gue nggak bisa apa-apa selain menuruti permintaannya. Kan ngeselin.
Begitu selesai mencuci piring dan gelas kotor Bang Riki, gue pun dengan sangat terpaksa membuatkan kopi untuk Bang Riki. Setelah kopi instan bikinan gue siap, langsung gue bawa ke ruang tengah, di mana Bang Riki sedang selonjoran di atas karpet sambil menghadap laptop dan beberapa berkas yang tak gue pahami.
"Ini kopi lo," ketus gue sambil meletakkan cangkir kopi di samping laptopnya.
Bang Riki menoleh ke arah gue dengan kedua mata melotot. "Jangan deket-deket laptop juga naruhnya, Ronaldowati. Kalau kopinya tumpah terus basahin laptop gue, lo mau ganti?" semburnya galak.
Dagunya kemudian terangkat, mengkode gue agar menggeser cangkirnya. Membuat gue makin kehilangan kesabaran gue.
"Sialan. Nggak gini-gini amat juga kali, Bang," protes gue tak terima. Namun tetap menggeser cangkirnya.
"Nyesel gue curhat sama lo," gerutu gue kemudian.
"Salah lo sendiri itu, bego. Biasanya juga curhatnya sama Vinzi, ngapa tiba-tiba lo curhat sama gue coba," balas Bang Riki tak mau kalah.
"Bodo amat lah," kata gue memilih untuk naik ke lantai atas.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Nayaka
seruuu,,,kehidupan kakak adek yg 👍👍👍
2023-08-14
0
Miss Tiya😊
sumpah kaku kaku weteng kuu... jossh
2022-12-12
0
💕Desember💞
seruuu ,,
2020-11-11
1