####
"Yakin mau pulang sekarang, nggak nunggu besok aja gitu?"
Entah sudah berapa kali Mas Hari mengulang pertanyaannya barusan. Gue bahkan sampai malas untuk sekedar menghitungnya.
"Ora ono pitakon liyo, Mas?"
(Nggak ada pertanyaan lain Mas?)
Gue bertanya dengan nada sebal.
Mas Hari mengangguk. "Terus siapa yang jemput?" tanyanya kemudian.
Gue melotot tajam ke arah Mas Hari. Apa tadi katanya? Siapa yang jemput? Bukankah kedatangannya kemari karena ingin mengantarkan gue pulang, ya?
"Loh, bukannya Mas Hari ke sini buat jemput dan anterin aku pulang?" tanya gue heran.
Mas Hari tak langsung menjawab. Kakak sepupu gue yang kebetulan berwajah ganteng ini malah tertawa, membuat kedua matanya agak menyipit. Sedikit mirip dengan Bang Riki kalau tertawa suka sipit mendadak.
"Mas nggak bisa, hari senin biasanya UGD agak hectic. Kasian anak co-as nanti kelimpungan."
Gue memutar kedua bola mataku malas. Kenapa pula dia kemari kalau tidak ada niatan untuk mengantar gue pulang. Bantu-bantu tidak, mengantar pulang juga tidak. Ck, benar-benar menyebalkan.
"Sejak kapan sih, dokter kepala UGD peduli sama dokter co-as?" Gue memang sengaja menyindirnya.
"Sejak Mas naksir Mbak iparmu," kelakarnya dengan tawa sumbang.
Gue mendesah setengah berdecak. "Terus ngapain Mas Hari di sini? Bantu-bantu enggak, anter pulang enggak juga. Yang ada cuma ngerusuh," dumel gue jengkel sembari memasukkan bajunya Bang Riki.
Gue bahkan mencampur pakaian kotor milik Bang Riki dengan pakain Bang Riki yang kebetulan masih bersih. Masa bodoh deh, diamuk-diamuk entar.
"Ya udah, Mas balik ke bawah, ya," pamitnya langsung pergi begitu saja.
Sementara gue hanya mampu mengomel setelah kepergian Mas Hari.
"Sudah selesai?"
Gue buru-buru membalikkan badan, begitu mendengar suara--yang kini mulai terdengar familiar--di telinga gue, dan mendapati Aro berdiri di bibir pintu sambil memasukkan kedua tangannya di saku celananya.
Gue menerjap bingung sekaligus kaget.
Kok dia ada di sini, gimana ceritanya?
"Sudah selesai beres-beresnya, Anggita?"
"Kok lo bisa di sini?" Gue memilih mengabaikan pertanyaannya.
Begitupun dengan Aro yang ikut memilih mengabaikan pertanyaan gue. Ia menghela napas sesaat, lalu berjalan ke arah gue. Lalu secara tiba-tiba dia mengambil alih tugas gue memasukkan barang-barang Bang Riki ke dalam tas.
"Ini saja kan?" tanya Aro.
Meski masih dengan raut wajah bingung, gue mengangguk.
"Ya sudah, ayo turun!" ajaknya kemudian.
Dengan ajaibnya, gue menuruti dengan amat sangat patuh. Begitu kami sampai di dalam lift, baru gue bertanya.l, "Kok lo bisa tau kal--"
"Riki tadi nelfon," jawab Aro, tanpa menunggu gue menyelesaikan pertanyaan gue.
Nggak sopan banget sih ini orang. Lagian Bang Riki pernah nyelamatin ini orang apa gimana sih. Sampai Aro begitu menurut banget sama dia. Dan, yang membuat gue bertambah heran adalah, apa Aro ini tidak punya pekerjaan atau bagaimana sih. Kok mau-maunya disuruh Bang Riki begini.
"Saya sedang liburan," celetuk Aro tiba-tiba.
Gue melongo secara spontan. "Hah?" lalu menoleh ke arah Aro dengan raut wajah kebingungan.
Aro mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Saya pikir itu mampu menjawab pertanyaan yang ada kepala kamu," ujarnya santai, "Ayo, keluar!" ajaknya kemudian.
Gue kembali menerjap bingung.
"Pintu liftnya sudah terbuka, Anggita."
Gue hanya ber'oh'ria sembari mengangguk dan mengekor di belakangnya.
"Sudah urus administrasinya kan?" tanya Aro, kali ini ia menoleh ke arah gue.
Ini orang tumben aktif banget tanya-tanyanya, biasanya mau jawab pertanyaan aja kayaknya harus keluar duit banyak. Mahal.
Gue hanya mengangguk sebagai tanda jawaban. Itung-itung untuk balas dendam. Gue yang irit ngomong, biar dia yang banyak ngomong. Meski rasa-rasanya susah juga sih.
"Obat yang harus ditebus?"
Gue kembali mengangguk. "Mas Hari udah bawain ke atas kok tadi. Jadi kita bisa langsung pulang sekarang."
Mendengar jawaban gue, respon Aro hanya mengangguk. Membuat gue mendesah jengkel. Emang dasar kulkas dua pintu, ya, tetep kulkas dua pintu ya. Nggak mungkin berubah jadi lemari Napolly. Ya, nggak mungkin.
Kami pun berjalan beriringan dalam hening. Gue lalu menghentikan langkah kaki gue, saat kedua mata gue menangkap sesosok pria yang sangat tak ingin ketemui. Astaga, ngapain dia di sini?
"Kenapa?" tanya Aro kebingungan.
Gue menggeleng dan memilih bersembunyi di belakang lengannya. Secara spontan, gue mencengkeram ujung jaket Aro.
"Ada apa, Anggita?" tanya Aro sekali lagi dan sepertinya mulai risih.
Gue menggeleng sekali lagi, lalu berbisik, "Ssst!" Melarang Aro untuk tidak banyak bertanya, dan sibuk membenamkan wajah gue di belakang lengannya. Berusaha menghindari pria yang kini seperti berjalan ke arah kami.
Astaga!
Mau ngapain sih itu orang?
Mampusss! Kenapa doi kayak mau nyamperin gue sama Aro.
"Pacar kamu?" bisik Aro yang sepertinya mulai sadar dengan gelagat aneh gue.
Gue langsung menggeleng dengan tegas. "Udah mantan keleus."
"Gigi?!" seru Rakka, ia melambaian tangannya lalu mempercepat langkah kakinya menuju arah kami.
Gue meringis canggung. Sepertinya usaha gue untuk bersembunyi jelas gagal.
"Ngapain di sini?" tanya Rakka.
Rakka ini mantan pacar gue saat gue masih duduk di bangku SMA, dia satu tingkat di atas gue. Kami dulu putus tepat di hari kelulusannya, kalian tahu karena apa? Karena dia sudah lulus dan harus meneruskan pendidikan perguruan tingginya di UGM. Bukan, bukan gue yang mutusin, tapi gue yang diputusin. Kalian puas? Tapi setelah gue lulus SMA, dia ngajakin balikan, dan jelas saja gue tolak. Enak saja, dia pikir perasaan gue ini mainan. Meski gue akui tampilannya mengenakan jas putihnya ini, terlihat sangat cocok pada kulit putih bersihnya, yang membuatnya terlihat tampan. Tapi meski demikian, tetap saja, hati gue sudah tidak sudi jika ia bersikekeuh mengajak gue balikan.
"Sakit?" tanya Rakka berbasa-basi.
Gue berdehem. "Masuk angin biasa kok," kataku akhirnya.
"Masa masuk angin sampai masuk rumah sakit?"
Gue mendengkus samar. Saat ingin menjawab, Aro lebih dahulu menyahut, "Keguguran," kata Aro santai.
Gue menoleh tajam ke arah Aro.
"Jadi Mas-nya bisa enggak, nggak usah tanya-tanya istri saya. Istri saya saat ini sedang merasa kehilangan," imbuh Aro sambil merangkul bahu gue dengan sedikit posesif. Seakan memberitahu untuk tidak mendekati gue.
Gue masih speechless. Tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Rakka terlihat terkejut, namun hal itu tidak berlangsung lama, setelahnya ia mengusahakan untuk tersenyum, meski terlihat sekali kalau dipaksakan.
"Oh, kamu udah nikah. Aku pikir kamu masih mau nunggu aku," guman Rakka pelan, namun terdengar cukup jelas di indera pendengaran gue maupun Aro.
"In your dream's boy!" cibir Aro, "Ayo, sayang, kita pulang sekarang!" ajaknya kemudian.
Gue mengangguk pasrah.
#####
Gue mendengkus sambil menyilangkan kedua tangan gue di depan dada, melirik Aro dengan tatapan tajam gue. "Maksud lo tadi apaan ngaku-ngaku jadi suami gue? Terus tadi itu apa maksudnya, bilang kalau gue abis keguguran, lo doain gue keguguran? Lo mau tanggung jawab kalo si Rakka nyebarin berita ke temen-temen gue?" cerca gue panjang lebar.
Aro melirik gue sekilas, lalu mulai menyalakan mesin mobil dan menjalankannya. Ekspresinya terlihat tenang dan juga kalem, membuat emosi gue kian meradang. Boleh tidak sih kalau gue jambak rambut hitam legamnya ini? Minimal sampai rambutnya botak setengah karena gue rontokkan?
"Ar, gue ngomong sama lo," teriak gue emosi.
"Saya hanya ingin membantu. Kalau kamu sangat ingin saya bertanggung jawab, saya sih siap saja, semua tergantung di kamu sendiri. Mau ke KUA sekarang?"
"Hei!"
Aro terkekeh samar. "Saya rasa kamu berlebihan, Anggita, kamu kan tidak sedang hamil, ngapain saya doain kamu keguguran?"
Gila! Itu kenapa bisa mulutnya minta banget ditabok pakai dollarnya Papi Siwon. Santai sekali nada bicaranya, seolah tidak pernah berbuat dosa saja. Ya Tuhan, spesies seperti ini gue rasa perlu banget dimusnahkan dari muka bumi ini, supaya penderita darah tinggi tidak semakin bertambah.
"Maaf. Saya pikir kamu tadi kebingungan, makanya saya bantuin," ucap Aro tiba-tiba.
Gue langsung menoleh ke arahnya. Untuk memastikan seperti apa ekspresi wajahnya saat ini. Meski nada bicaranya biasa saja, kali saja ekpresinya agak berbeda. Tapi ternyata gue salah, ekspresinya sama saja, datar seperti biasa.
Kampret!!!
***
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Sheene Kunez
ampe keluar air mata saking ngakak nya
2019-11-03
2
Keisha Amalia Putri
dikirain kesambet ketawa sendiri...
2019-11-24
1
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
akting aro meyakinkan pake banget, bikin rakka melongo 🤣🤣🤣
2021-12-01
1