*****
Hari ini jadwalku untuk menikmati waktu libur di Jakarta. Sejak kemarin sore, aku memang sudah berada di Jakarta. Dari pada tetap di Bandung, dan membuatku harus merelakan telingaku untuk mendengarkan curhatan dan juga keluahan Gani yang sedang patah hati itu. Lebih baik di sini kan, sekalian main ke rumah Riki juga. Sudah lama rasanya aku tidak bertemu dengan pria yang memiliki julukan si penebar benih itu.
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, aku langsung turun ke bawah, menyapa Mama yang ternyata sedang sibuk menyiram tanamannya.
"Pagi-pagi udah rajin amat, Ma?"
Mama melirikku sekilas, kemudian mendengkus. "Ini, itu udah siang. Kamu aja yang pemalas, jam segini baru bangun," gerutu Mama dengan ekspresi cemberut. "kamu mau ke mana? Kok udah rapi. Tumben," lanjutnya kemudian.
"Main ke rumah Riki."
"Kamu itu udah tua, Ar, nggak usah main-main terus. Mending cariin Mama mantu, deh."
"Iya, nanti pulang dari sana, Aro cariin. Mama minta berapa?" candaku yang membuat Mama melotot tajam ke arahku.
Dengan susah payah aku menulan ludahku kemudian menggeleng sembari mengacungkan jariku membentuk huruf V.
"Bercanda doang, Ma. Ya udah, Aro langsung berangkat, ya. Takutnya ditungguin Riki. Assalamualaikum!"
Tanpa menunggu jawaban dari Mama, aku langsung berlari menuju mobilku meninggalkan Mama. Yang kuyakini sedang berusaha menahan emosinya.
Aku melajukan Fortuner putih-ku menuju sebuah warung makan. Tadi Riki sempet mengirimiku pesan melalui WhatsApp dan menyuruhku untuk membelikan makanan sebelum aku ke rumahnya.
Setelah selesai membeli makanan untuk Riki, baru aku melajukan mobilku menuju ke rumahnya. Kupikir aku akan disambut olehnya begitu aku sampai di rumah Riki. Namun boro-boro disambut, aku yang sudah sampai di depan rumahnya saja harus menunggu lebih dari 15 menit baru kemudian dibukakan pintu, dan yang membuatku kesal saat menemukan wajah Riki masih kelihatan seperti orang baru bangun tidur. Dengan kaos tanpa lengannya yang berwarna abu-abu dan celana boxernya.
"Baru bangun?" tanyaku setengah jengkel.
Riki tersenyum sambil memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi, lalu mengacak rambutnya asal. Baru kemudian mempersilahkanku masuk.
"Ketiduran lagi tadi," jawabnya sambil menutup pintu.
Aku memutar kedua bola mataku kesal, lalu menyerahkan kantong kresek hitam ke arahnya.
Raut wajah Riki seketika berubah senang. Dengan kedua mata berbinar, ia langsung merebut kantong kresesk yang baru kusodorkan kepadanya.
"Thanks ya, Bro. Lo emang terbaek," kata Riku dengan kedua alis dinaik-turunkan.
Aku membuang muka, malas menanggapi sikap berlebihannya. Lalu memilih berjalan menuju sofa dan mendudukkan pantatku di sana. Kedua mataku mengelilingi seisi ruangan. Heran dengan pemilihan warna yang dipilih Riki. Ada beragam warna yang terdapat di ruangan ini, dan terkesan bukan seperti Riki sekali.
"Kenapa muka lo heran gitu?"
tanya Riki, berjalan menghampiriku sambil membawa piring dan juga segelas air putih. "Kalau haus ambil minum sendiri, ya. Anggep aja rumah sendiri," katanya sembari meletakkan gelas dan juga piringnya.
Aku mengangguk. "Ini siapa yang pilih properti nya?" tanyaku to the point.
Riki menghentikan kunyahannya, menoleh menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa emang?"
"Heran. Berasa kaya pelangi isi rumah lo."
Riki tertawa mendengar kalimatku, dengan gerakan sigap ia meraih segelas mineral di meja lalu menegaknya hingga setengah.
"Yoi, rainbow home," kekeh Riki sebelum kembali melanjutkan makannya.
"Pacar lo yang pilih, ya?" tebakku kemudian.
Riki menggeleng tegas. "Nggak boleh pacaran. Dosa," ucapnya embari memasang wajah sok innocent-nya. Membuatku ingin sekali muntah. Sekali lagi aku mendengkus. Tidak pacaran karena takut dosa, tapi tebar benih di mana-mana? Di sini yang bodoh siapa sih?
Sambil memutar bola mataku, aku coba mengabaikan kalimatnya yang itu, lalu memfokuskan pandanganku ke segala sisi ruangan. "Terus siapa yang milih?"
"Adek gue."
Aku membulatkan kedua mataku heran. Riki tadi bilang apa? Adik? memangnya dia punya adik, kok aku tidak tahu.
"Emang lo punya adek?" tanyaku tak yakin.
Dengan yakin Riki mengangguk.
"Cewek?"
Riki lagi-lagi mengangguk.
"Kok gue nggak tau?"
Kini giliran Riki yang menatapku heran. "Masa sih? Tapi Gani tau kok," katanya sambil berfikir.
"Gani?" tanyaku heran.
Ini hubungannya sama Gani apa.
"Mantannya Gani," kekehnya sambil berbisik.
"Kok gue nggak tau. Lo juga nggak pernah ngenalin ke gue kan?"
"Biar apa itu?" Riki menatapku heran.
"Ya, kali aja bisa jadi Mantu-nya Nyokap gue," candaku kemudian.
Bukannya membalas candaanku, Riki justru menanggapinya dengan serius. Ia bahkan langsung mengeleng tegas, karena tidak setuju. "Nggak cocok kalian kalo disatuin. Lo kan cuek parah orangnya, irit ngomong pula. Nah, kalo lo, gue kenalin ke adek gue, bisa kena hipertensi ntar dia gara-gara lo yang nggak ngajak ngobrol dia. Adek gue itu orangnya butuh banget diperhatiin, dimanja-manja gitu. Nah elo, apa kabar?"
Aku mendengkus sebal saat mendengar kalimatnya yang secara tidak langsung mengejekku. Astaga, apa tadi dia bilang, irit ngomong? Perasaan tidak. Aku kalau bicara hanya sesuai porsinya. Sesuatu yang perlu untuk dikomentari tentu saja akan langsung aku komentari, tapi kalau sesuatu itu tidak layak untuk dikomentari, jelas aku tak harus membuang-buang suaraku demi mengomentari sesuatu itu kan? Jelas tidak, karena itu bisa mengakibatkan polusi suara.
"Udah lah, nggak penting banget bahasannya. Mending main PS aja, yuk?" ajak Riki kemudian.
"PS banget, Rik?" ringisku setengah tak yakin.
"Kenapa emang?"
"Nggak cocok sama umur kita yang udah kepala tiga."
"So what? Ada masalah? Ada larangannya? Ada--"
"Ya enggak gitu juga kali, Rik," selaku kesal. "Ya udah, ayo main PS," lanjutku kemudian.
Ekspresi Riki langsung berubah senang. "Dari tadi kek," gerutunya langsung mengeluarkan stik PS-nya.
"Lo kok masih punya ginian? Sekarang udah jamannya game online, loh?" tanyaku heran, saat menerima stik PS yang Riki sodorkan.
"Gue kaga demen main game online. Bikin emosi."
Aku terkekeh geli mendengar jawabannya, sebelum fokus bermain. Namun di tengah keseruan kami bermain game. Tiba-tiba kami mendengar suara teriakan perempuan yang menyebut kata '******'. Membuat aku dan Riki langsung menoleh ke arah dapur dan mendapati seorang gadis cantik yang terasa sedikit familiar di mataku.
Kulirik Riki sudah dengan wajah geramnya dengan kelakuan gadis itu. "Ronaldowati! Mulut lo itu nggak bisa banget ya, dikondisiin dikit. Jaga image kek, ini ada temen gue," semburnya kemudian, kembali fokus kepermainan kami. Sementara aku sedikit mencuri-curi pandang ke arahnya.
"Nggak sengaja, Abang. Keceplosan," katanya mencoba membela diri.
"Lo mah kalo dikasih tau bisa banget jawabnya. Makanya kalo punya mulut itu dikontrol, kalo mau ngomong nggak asal nyablak. Biar cowok nggak pada kabur," sembur Riki sekali lagi.
Aku melirik Riki yang sedang menasehati adiknya itu. Sementara aku menggerutu dalam hati. Kayak dia tidak punya mulut begitu aja.
Aku langsung menyengol lengan Riki. "Lo sama aja kali, Rik. Mulut lo kalo ngomong juga nggak pake filter. Jadi nggak usah sok gurui deh," kataku, yang entah kenapa terdengar seperti sedang membela adik Riki.
"Lo belain Adek gue?" tanyanya heran.
Aku mengabaikan pertanyaannya, memilih memperhatikan tubuh adik Riki yang kini mulai menaiki anak tangga.
"Ngeliatinnya biasa aja, ntar naksir mampus."
Aku langsung berdehem dan mengalihkan pandanganku dari adek Riki. "Ngomong apa sih lo? Ngaco," dengkusku berusaha menyembunyikan detak jatungku berdetak sedikit tak biasa.
Ini gue kenapa jadi deg-degan begini? Apa gara-gara liat paha mulus adek Riki?
Astagfirullah! Otakku.
Riki langsung tertawa. "Gue cuma bercanda kali, Ar. Respon lo B aja, elah. Lagian gue cuma nggak bisa ngebayangin aja, kalo seumpama lo beneran naksir adek gue, terus lo jadi adek ipar gue. Gue nggak yakin kalo bakalan jadi."
"Sialan ya, anda Bapak Manager."
Riki kembali terbahak melihat wajah kesalku. Ia baru menghentikan awanya saat melihat ponselnya menyala dan berkedip-kedip, pertanda ada panggilan masuk. Sambil menempelkan jari telunjuknya, mengkodeku untuk diam. Riki menggeser tombol hijau pada layar ponselnya. Sementara aku hanya mendengkus karena yakin si penelfon ini adalah perempuan.
"Kayaknya gue harus cabut," kata Riki setelah mengakhiri sesi telefonnya.
Aku mengangguk mengerti. "Dan lo berniat ngusir gue kan?" tebakku dan langsung dijawab dengan gelengan kepala.
"Ya, enggak lah. Lo di sini dulu, gue keluar bentar doang kok. Nggak papa kan?"
Aku menggeleng tak setuju. Kalau Riki keluar, aku harus ngapain di rumah? Melamun seperti pengangguran yang tidak punya acara? Apa aku harus memanfaatkan kesempatan untuk melakukan pendekatan dengan adiknya Riki.
Astaga! Yang benar saja.
"Enggak. Gue mending pulang aja lah kalo gitu."
Kini giliran Riki yang menggeleng tak setuju, ia bahkan sampai mengibaskan kedua tangannya, saking tak setujunya dengan ideku. "Sebenernya gue sekalian mau pinjem mobil lo sih, soalnya mobil gue lagi dipinjem nih," ringisnya kemudian.
Aku langsung berdecak sembari memutar kedua bola mataku malas. Namun detik berikutnya, kuserahkan kunci mobilku padanya. Riki langsung bersorak senang setelahnya. Tanpa berbasa-basi, ia pun langsung merebut kunci mobilku dan berlari ke lantai atas. Mungkin untuk berganti pakaian.
"Kalo laper cari aja camilan di kulkas. Lo juga boleh gunain dapur sesuka hati lo," teriak Riki yang kini sudah rapi dengan kemeja garis-garisnya, sedang menuruni anak tangga. "Gue nggak bakalan lama. Jadi jangan pulang sebelum gue balik," sambungnya sebelum menghilang di balik pintu.
Gue mengangguk dan mengacungkan jempolku. Kemudian berjalan menuju dapur, mencari camilan sesuai intruksi si pemilik rumah. Setelah mendapatkannya aku kembali duduk di sofa, kemudian memilih bermain game di ponsel demi mengusir rasa bosan.
"Bang Riki!"
Aku pura-pura tak mendengar saat adik Riki berteriak memanggil Riki. Memilih fokus dengan permainanku dan sebungkus chitato yang ada di sampingku.
Saat mendengar adik Riki berdehem. Baru aku menoleh dan cukup terkejut dengan penampilannya. Astaghfirullah, itu paha kenapa mulus amat, ya? Ke mana itu celana ya Allah. Bikin salah fokus kan. Adik Riki kembali berdehem saat tersadar dengan tatapan mesumku. Membuatku tersadar dan buru-buru mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Bang Riki ke mana?" tanyanya terlihat sedikit gugup.
"Keluar," jawabku singkat.
"Kemana?"
Aku hanya mengangkat kedua bahuku. Karena memang tidak tahu. Toh, Riki tadi tidak bilang mau ke mana.
"Terus kenapa lo masih di sini?" tanya adik Riki yang terdengar tidak sopan. Membuatku langsung mendelik ke arahnya.
"Kalau bicara sama orang yang lebih tua itu yang sopan, ya. Apalagi baru kenal," ketusku merasa kesal.
Adik Riki mengangguk meski terlihat enggan. "Maaf ya, Mas," sesalnya dengan raut wajah tak rela.
"Mas?" ulangku, sambil menaikkan sebelah alisku tak terima, "memang kapan saya nikah sama Mbak kamu?" sambungku kemudian.
"Hah?" Ia merespon seperti orang bodoh, membuatku makin kesal dibuatnya.
"Aro," kataku yang entah kenapa malah memperkenalkan diri.
"Alvaro?" Aku sedikit menaikkan alisku kembali lalu menhgeleng. "Aaron Aldric."
Dia mengangguk sambil tersenyum paksa. "Anggita Rahmawati," katanya kemudian yang ikut memperkenalkan diri.
Aku bersorak dalam hati, akhirnya tau juga namanya siapa. Namun sebisa mungkin aku pura-pura tak ingin tau, bahkan saat adik Riki mengajakku untuk bersalaman pun aku memilih untuk mengabaikannya.
"Nggak tanya," ketusku berlagak tak tertarik.
****
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
🍀Ode Tri🍀
gitu yah cowok pura-pura gak peduli padahal butuh 😘
2020-09-07
1
Endahntu Ibue Resi
suka banget sama bahasanya
2020-01-20
0
Serafina moon light 😅😅
pov nya kepanjangan ..ke di ulang gitu 🙏
2020-01-07
2