Gue sedari tadi tak bisa berhenti mengumpat dalam hati, karena harus menunggu Vinzi yang belum juga kembali dari makan siangnya. Sementara gue merasa sudah tidak tahan untuk segera pergi ke kamar mandi, karena kebelet pipis.
Astaga, habis lo Zi pas balik nanti. Umpatku geram dalam hati.
Ya ampun, gue rasanya udah nggak tahan lagi. Gimana ini nanti kalau gue ngompol di sini, kan nggak lucu kalau gue bakalan jadi viral gara-gara ngompol di celana. Mau ditaruh di mana muka cantik gue nanti?
OLX?
Yang benar saya.
"Sorry, Gi. Tadi warungnya rame banget jadi musti ngantri. Sekarang giliran lo deh yang ma--"
"Cerewet lo," potong gue, begitu Vinzi sampai di meja resepsionis.
Dengan gerakan cepat kilat, gue langsung berlari menuju kamar mandi. Masa bodo dengan beberapa orang yang sedang menatap gue heran, mungkin termasuk Vinzi juga. Gue langsung berlari menuju salah satu bilik tanpa memperdulikan apapun. Yang ada di pikiran gue saat ini adalah segera mengeluarkan cairan yang terasa sudah di ujung tanduk ini.
Gue akhirnya bisa langsung bernafas lega setelah berhasil mengeluarkannya dengan sangat nyaman. Dengan gaya santai aku keluar dari salah satu bilik kamar mandi. Namun tubuh gue mendadak kaku saat mendapati mendapati Aro yang terlihat sedang bercermin. Ini orang ngapain di toilet cewek. Astaga, jangan-jangan....
Ia menoleh ke arah gue dengan tatapan mata tajamnya.
Ya ampun, stelan jasnya pas banget di tubuh kekarnya. Ya Allah, nikmat mana lagi yang harus kudustakan. Rejeki anak sholehah banget ini namanya.
"Kamu?! Ngapain di sini?" pekiknya terkejut.
Ini orang hobi banget bercanda kayaknya. Ya kali, ke toilet cari makan, kalau enggak pipis ya udah pasti boker lah, pake acara tanya lagi. Oke mungkin ada tambahannya, seperti membenarkan make up atau sekedar cuci tangan. Tapi tetap saja, masa iya perlu bertanya begitu.
"Pipis," jawab gue ketus. Gue lirik dia mendelik entah karena apa.
Ya ampun, ini cowok ganteng-ganteng rada alay juga, ya.
"Kamu biasanya gini?" Aro kembali bertanya.
Ekspresi Aro terlihat terkejut. Seperti habis melihat penampakan hantu. Sial. Memangnya muka gue seserem itu apa?
"Hah? Maksudnya gini?" tanya gue bingung.
Serius perut gue saat ini sedang dalam mode kelaparan. Jadi tidak bisa berpikir dengan baik dan benar. Gue emang suka rada kaya orang bego kalau lagi kelaparan. Itulah alasan kenapa Bang Riki tak akan pernah membiarkan kulkas dalam keadaan kosong. Yah, kecuali hari laknat itu.
"Yah gini, ke toilet.... cowok."
"Iya, iya lah, ke toilet cow-- APA?!" pekikku setelah tersadar.
Mampus gue! Aro bilang apa barusan? Toilet cowok? Ini maksudnya gue salah masuk toilet cowok begitu? Astagfirullah!
Dengan susah payah gue menelan ludah gue. Kemudian melirik ke arah sekitarku untuk memastikan apa yang Aro ucapkan barusan itu salah. Namun ternyata tidak. Ini memang benar toliet cowok. Astaga, gue harus bagaimana ini sekarang? Gue yakin wajah gue saat ini pasti pucat pasi karena panik.
Ya ampun, demi kulit putih mulusnya Lee Jong Suk, ini sama sekali nggak lucu. Gue salah masuk toilet dan begonya tampang gue biasa-biasa aja dari tadi. Mending gue pura-pura pingsan deh biar nggak tengsin-tengsin amat.
Eh tunggu!
Pura-pura pingsan??
Daebak!
Gue rasa pura-pura pingsan bukanlah ide yang buruk. Oke-oke. Tarik nafas pelan-pelan lalu hembuskan. Mari kita coba. Semangat!Dengan gerakan pelan dan gue buat senatural mungkin. Gue mulai memegang pelipis gue sembari mengaduh kecil. "Akkhh, kepalaku," rintihku kesakitan.
Wajah Aro yang tadinya terlihat bingung, kini berubah panik, walau sedikit. Membuat gue makin yakin untuk meneruskan rencana konyol ini. Gue tidak tahu di sini siapa yang bego. Namun saat gue baru saja hendak menutup mata untuk melancarkan adegan pingsan. Aro tiba-tiba berlari kecil ke arah gue, dan langsung menangkap tubuh gue agar tidak merasakan dinginnya lantai toilet. Nggak lucu juga sih kalau sendainya gue tergeletak di lantai toilet yang sangat tidak terjamin kebersihannya ini. Sekalipun ini toilet hotel berbintang tetap saja kan namanya toilet, ya tetap saja toilet, tempat buang hajat.
Gue bisa merasakan lengan Aro yang agak keras saat menangkap tubuh gue yang hampir jatuh. Gue juga bisa merasakan aroma parfum mahal menguar dari tubuhnya. Ya ampun, sekarang gue bisa banget merasakan digendong dan diajak lari-lari keluar dari toilet, dan jelas akan menimbulkan kehebohan. Ya, ampun kok gue bego, ya. Ini sih namanya keluar dari kandang Singa terus terjung ke jurang. Sama-sama cari mati.
Karena sudah tidak bisa berpikir jernih, gue akhirnya memilih membenamkan muka gue di dada bidangnya yang sandar-able ini dengan pasrah. Tapi, alhamdulillah juga sih bisa ngerasain meski harus diajak lari-lari begini.
Begitu sampai di lobby. Gue bisa mendengar suara Vinzi memekik heboh dan Aro tak mengubrisnya sama sekali. Tahu-tahu Aro menyandarkan tubuh gue di kursi penumpang, membuat gue panik setengah mati. Mampus kalau sampai gue dia bawa ke rumah sakit, bisa kebongkar dong kalau gue sedang berbohong.
Tidak.
Ini tidak boleh terjadi.
Dengan pelan gue mencoba membuka kedua kelopak mataku dengan pelan, pura-puranya. Agar tidak menimbulkan kecurigaan Aro yang saat ini seperti sedang kalang kabut. Kok gue baper ya. Abis dia kelihatan kaya khawatir gitu.
"I'm fine, Ar," lirih gue sok lemah, agar tidak ketahuan.
Eh, by the way, kenapa mulut gue sok asuk banget at manggil dia Ar.
Aro menggeleng lalu menggengam tangan gue. "No, you are sick. Kita ke rumah sakit."
Ini juga sih Aro, kenapa mendadak sweet begini. Sengaja banget kayaknya, mau membuat gue baper. Mampus! Perlakuannya sweet, anjiir. Tapi gue takut ketahuan juga.
"Tap--"
Dengan seenak dengkulnya Aro malah menempelkan jari telunjuknya di bibir gue. Sumpah ya, kalau gue tidak sedang akting pura-pura pingsan. Udah gue dorong itu jidatnya, saking keselnya gue. Astagfirullah! Kerasukan apaan sih, ini si Aro.
"Kamu nggak usah pikiran tentang kerjaan. Yang penting kamu sehat dulu," kata Aro.
Membuat gue semakin khawatir. Astaghfirullah, dosa apa gue di kehidupan sebelumnya. Punya nasib gini-gini amat. Ini juga si Aro, pake acara tempel-tempelin jari di bibir gue. Mana tadi ada adegan gendong-gendongan sambil lari-lari kaya di tv-tv. Tapi kayaknya kalau adegan di tv, kecepetan deh. Ini kan baru pertemuan ke--- keberapa yah? Gue lupa. Ahhh bodo amat.
"Anggita," panggilnya sambil melepas seatbelt gue dan bersiap mengangkat tubuh gue untuk keluar dari mobil mewahnya yang belum gue ketahui apa merknya.
Matilah gue!
"Kita udah sampai," bisiknya yang kini sudah berhasil mengangkat tubuh gue keluar dari mobil.
Dengan bodohnya, gue hanya bisa pasrah menerima semua perlakuannya. Pasrah gue, pasrah.
Aro segera membaringkan tubuh gue yang kini sudah lemas karena ketakutan, di salah satu brankar yang kosong. Tak berapa lama seorang dokter yang didampingi suster imut menghampiri kami.
"Ini Mbaknya kenapa, Mas?" tanya dokter itu sopan.
Kampret! Kenapa pula Mas Hari yang akan periksa gue.
Gue lirik Mas Hari yang sedang tersenyum mengejek, sambil memasukkan ke dua tangannya di dalam saku snelli-nya.
"Ini Dok, tadi dia mengeluh pusing terus tadi sempet pingsan," jawab Aro dengan gaya sok perhatiannya.
Gue hanya mampu memutar kedua bola mata karena tak tahan.
"Oke, diperiksa dulu ya," kata Mas Hari yang gue tebak, ia tahu tentang kebohongan gue saat ini. "Ditensi dulu, Sus," intuksinya pada suster imut tadi.
Dengan gerakan sigap suster itu mengambil tangan kanan gue dan mulai menensi tekanan darah gue.
"90/70, Dok," kata suster itu sambil melepas alat tensi nya.
Mas Hari menaikkan sebelah alisnya. "Pusingnya sejak kapan Mbak?" tanyanya kemudian.
Cih! Dia pura-pura nggak kenal lagi.
Mbak-mbak gundulmu!
"Sejak kapan pusingnya, Mbak?" tanyanya, sambil menempelkan stestoskop-nya di dadaku.
Gue diam saja.
"Udah lama?"
Aku meringis sambil mengangguk namun beberapa detik kemudian mengeleng. "Belum terlalu lama kok, Dok," kilahku kemudian. Beberapa hari ini memang gue sering pusing, tapi tidak sampai mengganggu aktivitas. Biasanya terjadi kalau gue sering begadang.
Gue lihat Mas Hari menghela napas sambil mengalungkan stestoskop-nya di lehernya. "Lain kali jangan menyepelekan hal kecil, ya," pesannya seakan sudah malas untuk menasehatiku.
Ughh, Mas Hari kalau sudah ada di mode ini tuh, serem. Walau tetep ganteng, ya.
"Perutnya sakit enggak?"
Aku menggeleng meyakinkan.
Ya kali, orang sakit nya bo'ongan ini.
Mas Hari mengangguk paham namun tiba-tiba ia menekan perut kanan gue dan seketika membuat gue memekik.
"AKKHH, sakit, Mas" ringis gue setengah berteriak, "Dok, maksudnya," ralat gue kemudian.
Mas Hari langsung mencibir. "Katanya nggak sakit," sindirnya kemudian.
"Ya kali, ditekan gitu nggak sakit," elak gue membela diri.
Mas Hari menghela napas sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku-nya. "USG aja ya gimana? Saya agak curiga," katanya kepada Aro.
Gue menggeleng keras. Ini apaan sih? Gue cuma akting, pura-pura pingsan biar bisa keluar dari situasi memalukan. Tapi kenapa malah jadi terperangkap di rumah sakit begini, pake acara USG lagi.
"Saya nggak hamil, Dok," ketusku sebal.
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Aro. Yang jelas ekspresinya beneran kaya orang bego, menoleh ke arah gue dan ke arah Mas Hari secara bergantian.
"Memang siapa juga yang bilang kamu hamil?" tanyanya mulai snewen. "Mas cuma mau mastiin kalo diagnosa Mas benar atau salah," lanjutnya kemudian. Kedua matanya menatap gue tajam.
"Mas?"
"Saya Kakak sepupunya," ucap Mas Hari, menjawab kebingungan Aro.
Aro mengangguk. "Ya udah Dok, lakukan yang terbaik untuk dia," kata Aro seenaknya sendiri, menghentikan perdebatan kecil kami.
Eh, ini kan yang ditanya gue kok dia yang jawab?
Mas Hari akhirnya mengangguk setuju. "Pindah brankar, yuk!" ajaknya kemudian.
Gue kemudian bangun dan bersiap turun dari brankar, lalu Aro tiba-tiba bertanya, "Kuat jalan?"
"Banget," jawab gue ketus lalu mengekor di belakang Mas Hari.
"Baringan!" intruksi Mas Hari.
Gue hanya mampu pasrah, menuruti perintah Mas Hari.
"Angkat bajunya!"
"Ini seriusan harus pake di-usg banget, Mas?" tanya gue memastikan.
Mas Hari menyilangkan kedua tangannya di depan dada, kedua matanya menatap gue datar, helaan napas pendek terdengar setelahnya. "Mas udah nyuruh kamu di-usg lama ya, kamu aja yang ngeyel, nggak mau dengerin Mas."
"Lah, emangnya aku kenapa? Aku tuh, sehat-sehat aja, Mas."
Mas Aro berdecih. "Sehat-sehat aja kok pingsan. Ah, lupa Mas, kan kamu pura--"
"Nggak usah diperjelas, Mas," potong gue kesal.
Mas Hari terkekeh. "Udah buruan angkat bajunya!"
Gue pasrah. Mas Hari mulai menggerakkan alat usg-nya di atas perut gue, pandangannya fokus pada layar monitor usg. Setelah selesai, ia menyuruh si suster untuk membersihkan perut gue.
"Habis ini langsung pasang infus ya, Sus!"
"Hah? Pasang infus? Maksudnya gimana itu, Mas?"
"Rawat inap."
Hah? Rawat inap? Cuma gara-gara adegan pura-pura pingsan, gue harus dirawat inap? Astagfirullah, kayaknya dosa gue banyak banget, ya. Apes banget gue perasaan hari ini.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Esti Afitri88
seneng banget nemu novel kaya gini . bikin ngakak . ngehibur banget
2023-05-13
0
🏕𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄𝖍𝖘❄
astaga aku ngakak terus bacanya dr awal 🤣
2022-09-12
0
Maminya Queen
kocak banget sih...
2022-04-24
0