Dean Whittman sadar dari pingsan dengan rasa nyeri di kepalanya. Disekanya aliran hangat yang mengalir di dekat telinga. Tangannya dengan segera berlumuran darah!
"Apa yang melukai kepalaku? Ini sakit sekali. Apakah gempa?" gumamnya lirih.
Tapi Dean segera ingat bahwa sebelumnya dia berada dalam pesawat menuju Singapura. Dia baru selesai makan malam dan mencoba beristirahat saat pesawat berguncang hebat.
Dean menyadari dirinya masih berada di kursi pesawat. Lalu melepaskan seatbelt dan melihat sekelilingnya. Penumpang di kelasnya masih berada di kursinya masing-masing. Entah masih hidup atau tidak, Dean belum tau. Tidak ada seorangpun yang bergerak disitu selain dirinya dan tirai pintu.
Dinding pemisah kelas eksekutif dan pantry masih ada meski hampir ambruk. Dean berjalan hati-hati ke arah pintu sambil berpegangan pada sandaran kursi penumpang lain. Kepalanya sangat nyeri dan tubuhnya terasa remuk. Entah pesawat bisa mendarat darurat atau terhempas, Dean belum tau.
Dean melangkah sangat hati-hati. Dia tak tau situasi di luar. Jangan sampai pesawat berada di tepi jurang, yang bila dia sedikit salah langkah dan perhitungan, bisa membuat seluruh pesawat meluncur jatuh. Jantung Dean berdegup lebih kencang seakan dia bisa mendengarnya dalam suasana hening ini.
Dean hampir mencapai tirai pintu. Pesawat bergoyang sedikit saat dia melangkah. Dean melihat sedikit penyok di lantai pesawat. Itu membuatnya lebih berhati-hati lagi. Dengan susah payah dan sambil berpegang erat pada tepi dinding, dia menyibak tirai dan menjulurkan kepalanya ke arah luar. Sekejap dia terkejut dan mematung, lalu ekspresinya kembali berubah datar.
Pemandangan di depannya sungguh luar biasa. Di sisi kanannya hanya tersisa rak pantry setengah rubuh yang menempel pada ruang eksekutif. Bagian lainnya sudah lenyap, termasuk toilet eksekutif yang menjadi pembatas kelas biasa. Segala benda berserakan di sekitarnya, sangat kacau balau.
Di depannya lebih kekiri tampak pemandangan yang sangat mengerikan. Sekitar 6 meter dari situ tampak patahan badan pesawat menganga dengan posisi terbalik. Kursi penumpang kini berada di sebelah atas. Para penumpang yang masih tersangkut seatbelt di kursi, menggantung terbalik. Benda-benda berserakan di bagian bawah. Pohon-pohon yang tumbang dan patah serta noda darah di berserakan mana-mana terhampar di atas permukaan salju yang putih bersih.
Dean berjalan kembali ke kursinya. Dikenakannya Coat panjang yang tersangkut di tangan kursi dan memungut tas kerjanya yang sudah jatuh di lantai, memasang tali panjang dan menyilangkan pada tubuhnya. Dean lalu menghampiri penumpang pria yang duduk di sebelahnya di barisan tengah. Dean meletakkan jari di bawah hidung pria itu, masih ada uap udara keluar dari hidungnya. Dean mencoba membangunkan pria muda itu.
"Hei, apa kau mendengarku? Cepat bangun! Pesawat ini jatuh!" Dean menepuk-nepuk pipinya. Pria itu mengeluh pelan meringis kesakitan lalu membuka matanya. Seketika dia menjerit.
"Aaaahhh!"
"Diam!" Bentak Dean dingin.
'Apakah aku tampak menakutkan?' Pikir Dean heran.
"Tak perlu membuat keributan. Bantu aku mengecek dan menyadarkan penumpang lain."
Instruksi Dean jelas tak mau dibantah. Pria muda itu mengangguk dan melihat sekeliling. Dia bangkit dengan terhuyung menghampiri penumpang wanita di sebelahnya. Menepuk pipi dan memanggilnya dengan lembut.
"Lena, Lena, bangun.... Pesawat kita jatuh.... Bangun...." Berkali-kali dia menepuk dan memanggil. Gadis itu belum sadar juga.
Pria itu terlihat sedih. Lalu dia mencoba membangunkan penumpang lainnya dengan cara serupa.
"Aku keluar sebentar mencari sinyal hp," kata Dean pada pria itu dan dibalas dengan anggukan.
Dean berjalan keluar, mengeluarkan hp dan menyalakannya. Tapi tidak ada sinyal, tidak ada layanan operator. Berkali-kali dicoba tetap tidak berhasil.
Dilihatnya jam tangannya. Sekarang jam 9 lewat 10 menit. Dia menengadah ke atas, langit cerah membiru. Ini masih pagi dan matahari bersinar lumayan hangat.
Tapi Dean tau, dia harus bergerak cepat memeriksa semua hal. Dan semua penumpang selamat harus bersiap sebelum langit gelap.
Dean kembali ke ruang eksekutif untuk memberitahu pria muda itu. Dia melihat seorang wanita juga sudah sadar dari pingsannya.
"Hei, kita harus bergerak cepat mempersiapkan tempat berlindung sebelum hari gelap. Di hutan bersalju banyak binatang buasnya," ujar Dean.
"Hutan bersalju apa?" balas pria muda dan wanita itu serempak dipenuhi rasa heran.
"Lihatlah keluar. Pesawat ini jatuh di kawasan hutan bersalju," balas Dean sambil membuka penutup jendela pesawat yang tak jauh dari situ.
Pria dan wanita itu terkejut melihatnya dan seketika panik. Mereka mulai membangunkan yang lain dengan lebih serius dan tepukan pipi lebih keras.
"Aku akan mengecek yang lainnya." ujar Dean.
Lalu berjalan keluar ke arah patahan badan pesawat tak jauh dari sana. Dia harus mencari kain atau apapun yang bisa digunakan untuk membalut kepalanya.
Di bagian patahan badan pesawat, Dean mencoba mengecek nafas para penumpang yang bergantungan. Tak ada udara yang keluar. Dicobanya menepuk pipi beberapa kali namun tak ada respon. Dean lanjut mengecek penumpang lainnya. Setelah yang ke 5 kali, akhirnya ada yang sadar. Baguslah, ucap Dean dalam hati.
"Saya bantu anda turun," ucap Dean sambil memegangi bahu pria itu.
"Aduh...!"
Pria paruh baya itu meringis saat jatuh dari ikatan kursinya.
Meski Dean sudah menahan kepalanya agar tak membentur bagian bawah pesawat, tetap saja badannya sakit saat terhempas ke bawah.
"Terimakasih sudah membantu saya," ucapnya dengan susah payah.
Dia tidak terluka, hanya merasa sakit di seluruh tubuh. Mungkin efek hempasan dan gulingan pesawat saat jatuh.
"Saya seorang dokter, biar saya bantu membalut luka di kepalamu itu," Dokter itu menawarkan bantuannya dengan tulus.
Lalu dia melihat sekeliling dan menemukan tas ransel tergeletak di arah depan. Pria paruh baya itu membuka ransel dan memeriksa isinya.
'Tepat!' pikirnya.
Ini tas ransel wanita, dan biasa wanita membawa selendang ekstra untuk menahan udara dingin. Jadi dia menunjukkan temuannya pada Dean.
"Selendang ini masih harum pewangi pakaian, jadi saya rasa ini lumayan bersih atau mungkin belum digunakan pemiliknya. Mari saya balut luka di kepalamu," ucapnya memaksa. Dean membiarkannya. Lukanya memang harus dibalut.
"Saya dokter Chandra. Siapa namamu?" Tanya dokter itu sambil membalut luka.
"Seharusnya ini dijahit, tapi saya tidak membawa peralatan. Semoga tim penyelamat segera tiba dan kamu bisa dirawat dengan benar," Ucapnya menyemangati.
"Apakah lukanya akan membahayakan nyawa?" tanya Dean memastikan.
"Sejauh yang tampak di luar, itu hanya luka robek tipis, jadi seharusnya tidak akan berbahaya. Kecuali terjadi infeksi atau pendarahan di bagian kepala. Namun kita tak punya peralatan pendukung untuk memeriksa hingga bagian dalam bukan? Berdoalah itu tidak membahayakan nyawa. Sudah terlalu banyak nyawa melayang disini." Ujar Dokter Chandra prihatin.
"Baiklah, terimakasih sudah memeriksa dan membalut luka saya. Saya Dean Whittman. Senang rasanya menemukan seorang dokter di situasi seperti ini. Jadi, bisakah bantu saya memeriksa para penumpang? Saya akan memeriksa bagian lainnya."
Kata-kata Dean terdengar biasa. Namun dalam pandangan dokter Chandra, itu adalah sikap orang yang mampu berpikir jernih dalam berbagai situasi dan terbiasa memimpin. Bahkan luka di kepala karena pesawat jatuh bukanlah hal yang dapat mengganggu ketenangannya. Dia dengan mudah mengatur hal-hal penting lebih dulu. Dokter Chandra kagum dan dengan cepat menganggukkan kepalanya.
"Baik, saya akan memeriksa penumpang di sini dan hal lain yang perlu."
Dokter Chandra menjawab cepat. Dan dengan segera memeriksa serta membangunkan penumpang lainnya. Waktu sangat berharga di saat kritis. Itu bisa berarti menyelamatkan satu nyawa.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 426 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
kebetulan sekali ada dokter
2024-02-16
2
🍁mahes❣️💋🄻🄴🄱🄰🅁🄰🄽👻ᴸᴷ
sejauh ini seru...
2024-02-02
1
🍁mahes❣️💋🄻🄴🄱🄰🅁🄰🄽👻ᴸᴷ
untung masih banyak yang selamat ya
2024-02-02
1