Robert sudah terlihat lebih baik. Rona wajahnya yang sebelumnya pucat sudah berangsur kemerahan. Dean memandang api, hanya ada panci dengan air panas disitu. Dia harus mencari makanan. Kelihatannya tim 3 tidak akan bisa pindah dalam waktu dekat. Jadi mereka butuh suply makanan.
"Aku akan keluar mencari bahan makanan. Kau berjagalah di sini. Sementara kita tak bisa kemana-mana," kata Dean sembari berdiri. Dia mengambil tombak yang dibawanya.
"Bawa ini bersamamu." Robert menyerahkan pisaunya ke tangan Dean. "Hati-hati." Dean mengangguk dan melangkah pergi.
Sepeninggal Dean, Robert menghela nafas dan meregangkan tubuhnya. 'Aku harus memperbaiki shelter' batinnya. Dia melihat rekan timnya yang dibaringkan mengelilingi api agar lebih cepat merasa hangat. Robert mengambil nampan metal dan mulai mengeruk dan memadatkan bagian dalam shelter agar lebih luas. Robert merubah pondasi dinding segitiga itu menjadi lebih melengkung untuk memudahkan memasang atap balok salju. Bentuk atap salju harus dibuat agak melengkung dan menurun agar salju yang mencair akibat panasnya perapian tidak jatuh membasahi penghuninya seperti kejadian tadi malam.
Menguatkan dinding bagian dalam telah selesai, Robert melangkah keluar dan melihat timbunan salju yang begitu tinggi, lebih tinggi dari atap shelter sebelumnya. Tak heran Dean kesulitan menemukan mereka. Robert menggelengkan kepalanya pelan. Robert mulai memadatkan salju dan memotongnya dengan nampan menjadi balok-balok. Dia menyusun balok-balok salju itu melengkung menyerupai kubah dan menjadi atap shelter.
Robert sudah selesai dengan atap dan jalan masuk shelter. Kayu-kayu bekas atap dikumpulkan Robert untuk persediaan kayu bakar. Robert masuk ruangan, melihat anggota timnya yang masih tidur lalu menghangatkan diri. Perutnya mulai lapar. 'Lama sekali anak itu. Semoga tak terjadi hal yang membahayakan' harapnya tulus. Robert mengikuti langkah yang dibuat Dean tadi pagi. Dia menggosokkan telapak tangannya pada dokter Chandra. Tubuh teman-temannya sudah mulai hangat, tapi mereka masih belum bangun. Semoga cara ini bisa merangsang saraf dan respon yang baik.
"Dokter.. dokter Chandra.. Apa anda mendengarku?" begitu terus dilakukan Robert pada semua orang secara bergantian.
"Robert, aku kembali." Dean masuk sambil menenteng 2 ekor kelinci. "Aku menggali lagi lokasi jebakan yang kubuat. Saljunya terlalu tebal, tapi bagusnya ada kelinci beku yang ikut tertimbun salju di jeratan itu." Dean tersenyum lebar sambil mengangkat tangan kirinya yang memegang 2 ekor kelinci yang sudah bersih itu. Mata Robert bersinar karena senang. Dia sudah sangat lapar. Rasa dingin yang ekstrim membuat perut lebih mudah lapar.
Dean memanggang kelinci di atas api. Berjalan keluar lagi sambil membawa panci mengambil salju untuk masak air. Dean mengembalikan pisau pada Robert. "Terimakasih. Ini sangat membantu." Robert tersenyum mendengarnya.
Dean membalik-balikkan kelinci agar tidak gosong di satu bagian saja. Kelinci itu sebentar lagi matang. Harumnya sudah tercium kemana-mana. Robert masuk dengan membawa tumpukan kayu bakar yang dipotongnya dengan pisau. 'Benar-benar pisau yang kuat dan tajam' pikir Dean.
"Eerrghhh..." terdengar erangan samar. Dean mendekati dokter Chandra yang wajahnya terlihat kesulitan. Matanya masih terpejam. Dean menggosokkan lagi tapak tangannya pada tangan dokter Chandra sembari memanggil. "Dok.. dokter Chandra.. Apa anda mendengarku?" tanyanya sambil terus mengusap.
Terlihat kerutan di kening dokter Chandra. Entah itu respon atas Dean atau masih di alam mimpinya, Dean tak tau. Jadi dia mulai menepuk pelan-pelan telapak tangan dokter Chandra sambil sesekali merangsang saraf di ujung-ujung jari. "Dok.. dokter.. Apa anda bisa mendengarku?" tanya Dean lagi dan lagi.
Tak lama, kelopak mata dokter Chandra terbuka pelan lalu mengerjap. "Dean?" Dokter Chandra masih belum memahami keadaannya.
"Ya dok. Baguslah anda sudah bangun." jawab Dean gembira. Diambilkannya secangkir air hangat untuk menghangatkan tubuh dokter itu.
Robert yang menggantikan memanggang kelinci menampakkan senyum lebarnya tanda dia senang dokter Chandra sudah bangun. "Syukurlah."
Dokter Chandra dibantu duduk oleh Dean agar bisa minum. Dia melihat rekan timnya tergeletak tertidur dekat api. Dokter Chandra heran melihat ini. Cahaya dari pintu sangat terang, itu berarti masih siang. Bagaimana bisa mereka semua terus tidur? "Ada apa ini?" Dokter Chandra masih tidak dapat mengerti apa yang terjadi akhinya bertanya.
"Suhu ekstrim tadi malam membuat semua orang mengantuk dan tertidur. Tidur yang lama, seperti hibernasi di musim dingin." Jawab Robert.
"Hahh?!" dokter Chandra terkejut. Apa aku juga tertidur tadi?" tanyanya heran.
"Ya dok. Anda baru saja bangun." jawab Dean. "Makanan sudah siap, kita bisa makan bersama," ajaknya.
"Lalu mereka bagaimana?" dokter Chandra menunjuk rekan timnya yang masih tidur tan pa merasa terganggu.
"Kita tunggu hingga mereka bangun. Jaga api agar tubuh mereka lebih cepat hangat dan rangsang sarafnya pelan-pelan. Hanya itu yang bisa kita lakukan. Mudah-mudahan mereka cepat merespon." jawab Dean lagi. Mereka lalu mulai makan sambil membicarakan perkembangan tim sebelumnya. Robert setuju dengan rencana Dean membuat 2 tim ekspedisi untuk memeriksa situasi hutan itu dan mencari jalan keluar. Robert juga mengatakan tentang tirai cahaya yang dilihatnya pada Dean. Dean terpaku dan berpikir keras tentang itu. Tapi dia belum punya bayangan tentang apapun itu.
"Aku harus kembali ke tepi danau itu, agar mereka tak khawatir." ujar Dean setelah selesai makan dan berbincang cukup lama. Besok jika hari kembali hujan dan tanda-tanda yang ku buat hilang, maka aku akan kembali kesini dan menjemput kalian." Dean bangkit berdiri dan mengambil tombaknya
"Baiklah. Terimakasih bantuanmu," Robert menjabat tangan Dean hangat. Dean melambaikan tangannya, "kita satu tim, harus bersama-sama susah dan senang, sehat dan selamat." Dean tersenyum dan melangkah pergi. Sebelum menghilang dalam hutan, Dean menoleh lagi ke belakang. Shelter itu terlihat lebih bagus sekarang. Dia tenang karena teman-temannya itu akan aman malam ini.
***
Indra dan semua pria disitu sudah selesai mencari kayu bakar tambahan. Harum ikan sudah menggelitik perut dan menggugah rasa lapar. Widuri keluar ruangan. "Ayo makan dulu. Makanan sudah matang," ajaknya. Mereka berkumpul di sekeliling api di area terbuka. Makan dengan lahap sambil berbincang-bincang.
"Apakah rencana tim ekspedisi batal dijalankan?" tanya Liam sambil matanya memicing memandang ke kejauhan cakrawala.
"Kita tunggu Dean kembali mengecek tim 3. Rencana apapun bisa berubah sesuai situasi terbaru. Yang paling utama adalah memastikan keselamatan semua orang." jelas Indra. Para wanita mengangguk meskipun mereka tak terlalu mengerti. Mereka hanya mengikuti instruksi dan keputusan yang sudah dibuat bersama. Yang penting semua orang aman.
Selesai makan, semua melakukan aktifitasnya sendiri. Hari ini kemungkinan tidak akan pergi kemanapun. Jadi Gilang dan Leon bersiap berangkat untuk memeriksa jebakan ikan yang dikatakan Dean ada di arah air terjun. Baru beberapa langkah, Liam memanggil. "Aku ikut kalian. Bosan juga jika tidak melakukan apapun," katanya sambil membawa tombaknya.
Salju sangat tebal dan lembut. Mereka bertiga berjalan cukup jauh. Tiba di tempat yang terbuka luas itu, barulah mereka berhenti. Takjub.
"Dean benar, ini terlihat seperti danau juga di mataku." ujar Liam takjub. View disitu sangat indah. Hamparan salju putih bersih yang luas dipagari pepohonan di ujung sana, berwarna hijau tua dan jejak kehitaman yang samar. Itu pertanda hutan itu cukup lebat hingga tak memungkinkan cahaya masuk ke dalam hutan.
Gilang mencari-cari tanda yang di tinggalkan Dean. Dia menemukannya. Pucuk daun hijau kecil pendek tampak di pernukaan salju yang putih. Kontras warnanya membuatnya mudah dikenali. Gilang melangkah hati-hati menghampirinya untuk mengecek.
"Mau kemana kau?" Leon menahannya.
"Mau memeriksa, apakah jebakan." Gilang melangkah hati-hati mendekati pucuk daun pinus itu. Mereka bertiga berjalan mendekat lalu membantu Gilang membersihkan tumpukan salju.
"Benar kan.. Inilah jebakan ikannya. Gilang senang sekali, tugasnya mencari bahan makanan harus selesai dengan baik. Liam memperhatikan Leon dan Gilang yang sedang membersihkan ikan. Leon bahkan sudah mahir menggunakan tombak untuk membersihkan ikan. Pekerjaan itu dengan cepat bisa diselesaikan. Mereka sudah harus kembali, agar tidak perlu berjalan dalam gelap.
"Mari pulang," ajak Gilang berjalan mendahului diikuti Leon dan Liam.
"Gggrrrhhhh.. Roarrr..." Suara keras hewan di belakang mereka sangat mengejutkan. Ketiganya terpaku dan berdiri di tempat dengan tubuh bergetar tanpa bisa dikendalikan.
Leon yang berdiri di rengah, mencoba menoleh ke belakang untuk melihat binatang apa yang langkahnya bisa berdebam-debam menggetarkan tanah dan suaranya sangat menakutkan itu. Seketika dia mematung dengan mimik mengerikan.
Liam melihat ekspresi itu, dengan tampang kecut dia menyenggol tangan Leon.. "Binatang apa di belakang kita?" tanya Liam pelan." Leon tak bisa bersuara. Lidahnya kelu. Hanya matanya melotot dengan panik.
Gilang di depan akhirnya ikut melihat ke belakang. Seketika dia berteriak dan menghambur lari.. "Baruang.. itu beruang.. Sangat besar. Lari... lari...!" teriaknya panik.
Liam kaget setengah mati. Tanpa menoleh ke belakang lagi, dia lari menyusul Gilang sambil menarik tangan Leon untuk menyadarkannya. "Lari..! Lariii.."
Leon kehilangan keseimbangan dan jatuh karena tarikan Liam pada tangannya. Tapi itu membuatnya sadar keadaan dan segera melompat berlari cepat menyusul kedua temannya. "Tungguuuu... Tunggu aku!" teriaknya ketakutan. Wajahnya pias, seakan nyawanya sudah terbang melayang sementara kakinya terasa selembut jelly yang membuatnya kesulitan untuk berlari dengan benar.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 426 Episodes
Comments
🍁mahes❣️💋🄻🄴🄱🄰🅁🄰🄽👻ᴸᴷ
tulisannya rapi banget gak ada typo sejauh ini
2024-02-03
1
PHSNR👾
suka banget ceritanya, bahasanya juga gak ribet jadi gak ngebosenin 😍😍😍
2024-01-22
1
huu_farr
kenapa yg like dikit sekali sih ya bagus lo ceritanya
2022-09-27
3