Saat ini kakinya berpijak pada bangunan mewah nan luas. Tapi tak seluas rumah utama yang dimiliki Ayah mertuanya. Entah haruskah bahagia atau sedih karna harus berpisah dengan keluarga sang suami. Tapi setidaknya di sini, pergerakan Sania tidak terbatas. Dia tidak lagi merasa canggung saat bertemu Ayah mertua, Ibu mertua atau pun kakak ipar.
Baru sampai di pintu, mereka sudah disambut oleh beberapa pelayan. Wajah yang baru-baru, sebelumnya Sania tidak pernah melihat mereka. Gadis itu tersenyum seraya menyapa mereka dengan singkat.
"Nona, Anda sebaiknya bawa Tuan Son ke kamar agar bisa beristirahat." Sania mengangguk seraya mendorong kursi roda suaminya menuju kamar mereka.
"Berhenti!" Son menyuruhnya berhenti, saat sebentar lagi sampai di pintu kamar.
"Ada apa?" tanya Sania sedikit menunduk.
"Karna kita sudah tidak tinggal bersama lagi dengan ayah, aku ingin kita tidur di kamar terpisah. Cari lah kamar yang kosong untuk kau tempati," ucap Son.
"Hah?" batinnya kaget. Sania memutar bola matanya jengah. Kali ini Son mengusirnya secara terang-terangan.
"Memangnya siapa juga yang mau tidur dengan pria sepertimu!" Sania kesal dalam hati.
"Baiklah," jawab Sania lantang. "Kau bisa masuk ke kamarmu sendiri, kan? Aku mau istirahat di kamar lain!" Sania lantas melangkahkan kakinya menjauh dari Son. Meninggalkan pria itu sendirian di atas kursi roda. Jarak ke kamarnya hanya tinggal berapa langkah saja.
Langkah kakinya sudah tak lagi terdengar. Son bingung harus mengarahkan kursi rodanya kemana.
"Tuan, Anda ingin ke kamar? Biar saya antarkan." Tiba-tiba pelayan datang dan membantu Son menuju kamar.
"Wanita itu? Meninggalkan ku?"
"Keluar lah!" Setelah pelayan itu mengantarkannya sampai di pinggir tempat tidur, pelayan itu pun keluar setelah perintah tegas dari Son.
"Tuan, di mana nona Sania?" Baru saja dia menyenderkan tubuhnya di dipan kasur, Paman Leo pun datang.
"Tidak tahu!" seru Son.
"Baik lah, saya akan cari nona Sania terlebih dahulu." Paman Leo pun keluar dan berniat mencari Sania.
Son terduduk sambil melamun. Memang rasanya membosankan. Hanya bisa diam tanpa bisa apa-apa. Dulu, saat dia merasa jenuh di rumah, dia akan membaca buku, menonton film atau pun sekedar berjalan kaki di sekitar rumah. Sekarang, dia hanya bisa diam. Baginya, melihat keindahan dunia tidak ada lagi artinya baginya. Karna yang lebih indah adalah melihat sosok Vennie, wanita pujaan hatinya.
"Tidak! Tidak mau! Biar dia sendiri!" Terdengar suara wanita yang berteriak-teriak membuat Son memasang telinga betul-betul. Suara siapa yang berbicara lantang seperti itu.
"Dia tidak mau sekamar denganku! Dia mengusirku, Paman!" Suaranya semakin jelas karna suara itu seperti kian mendekat.
"Wanita itu?"
"Tuan, beri tempat untuk nona Sania tidur di sini." Paman Leo datang kembali dan mengatakan agar istrinya bisa tidur di kamarnya.
"Apa di sini kamar hanya ada satu saja? Beri kamar untuk wanita itu!" Son tetap teguh dengan pendiriannya. Dia tidak mau sekamar dengan istrinya.
"Tuan, Anda dan Nona Sania adalah pasangan suami istri. Sudah seharusnya kalian tidur satu kamar. Saya sebentar lagi akan kembali ke rumah utama," kata Paman Leo.
"Untuk apa? Kenapa Paman tidak tinggal di sini?" tanya Son.
"Iya kenapa, Paman?" Sania yang dari tadi menyimak akhirnya mengeluarkan suara.
"Saya hanya mengikuti instruksi dari tuan Math. Saya akan datang ke rumah ini jam 6 pagi dan akan pulang jam 5 sore," jelasnya. "Berilah tempat untuk Nona Sania, Tuan. Agar Nona Sania bisa menemani Tuan Son jika membutuhkan sesuatu," tambahnya.
"Tidak! Aku tidak butuh bantuan dia!" Son yang keras kepala membuat Sania tambah melototkan matanya. Benar-benar sombong, sudah tahu buta tapi pura-pura tidak membutuhkan bantuan.
"Paman, Sania sudah mendapatkan kamar lain. Jadi, Paman pulang saja karna hari sudah sore." Bukan ini yang dia mau, Leo tidak bisa meninggalkan mereka berdua dalam keadaan seperti ini. Seharusnya tinggal di rumah ini memudahkan mereka untuk sering berinteraksi, tapi kenapa keduanya malah saling menjauh?
"Baik lah." Pada akhirnya Leo pun keluar dan diikuti Sania sambil membawa barang bawaannya.
"Nona—"
"Iya, Paman. Aku mengerti, aku tidak akan meninggalkan Son sendirian." Sania sudah menebak apa yang akan dikatakan Leo dan itu membuatnya tersenyum seraya mengangguk. Dia percaya bahwa Sania adalah gadis yang baik. Obrolan singkat pada waktu itu dengannya, membuat Leo menilai Sania sebagai sosok gadis yang mandiri dan tangguh.
***
Sore berganti malam. Pelayan telah menyiapkan sajian makan malam yang menggugah selera.
"Apa kalian sudah makan malam?" tanya Sania pada pelayan yang sedang menata piring di atas meja.
"Belum, Nona," jawab salah satu dari mereka.
"Ambil lah dulu makanan di sini, lalu kalian bisa makan bersama di belakang. Atau kalian mau makan di sini?" tawarnya dan dibalas gelengan oleh mereka. "Baiklah, ambil makanan ini."
Para pelayan saling pandang dan pada akhirnya salah satu diantara mereka memulai untuk mengambil makanan. Setelah selesai mengambil, mereka mengucapkan terima kasih pada Sania.
Matanya berpendar mengelilingi ruang makan yang luas, dia tiba-tiba teringat akan Paman Raul, Bibi Lotus, Maria dan Pak Mail. Walaupun sikap Paman dan Bibi tidak baik kepadanya, tapi mereka masih menganggap Sania sebagai anggota keluarga. Mereka sering makan bersama, walaupun terkadang mereka bertiga sibuk bersenda gurau sedangkan Sania hanya diam saja.
"Pak Mail, bagaimana kabarnya?" Sania membayangkan wajah Pak Mail yang sudah renta. Pria tua itu pasti sangat merindukannya.
Sania sudah selesai makan malam sendirian di meja makan. Dia lantas mengambilkan sepiring nasi dan segelas air untuk Son makan malam di kamar. Percuma jika mengajak suaminya makan bersama, pasti dia menolak. Daripada terjadi perdebatan yang melelahkan, lebih baik Sania membawa makanan ke dalam kamar.
Saat Sania mencoba membuka pintu kamar, ternyata itu dikunci. Sania sangat khawatir dan mencoba memanggil-manggil Son.
"Tolong buka! Kau belum makan! Aku membawakan kamu makanan!" Berkali-kali dia menggedor-gedor pintu juga panggilan untuknya, tapi tak ada jawaban dari Son. "Hey, apa kau tuli? Jangan membuatku khawatir! Buka!" Sudah puluhan kali Sania memanggilnya tapi tak ada sahutan dari dalam membuatnya lelah sendiri.
"Nona, ini kunci cadangan kamar ini." Tiba-tiba pelayan datang memberikan kunci cadangan kamar suaminya.
"Wah, terima kasih. Aku tidak tahu kalau ada kunci cadangan. Ngapain aku capek-capek teriak-teriak dari tadi," keluhnya. Tapi akhirnya Sania bisa tersenyum puas.
KLEK!
Pintu pun terbuka. Dia menghela napas lega.
"Syukur lah," lirihnya. Saat dia melangkah masuk, yang dilihat pertama kali adalah Son yang sedang duduk di pinggir jendela.
"Itu orang masih hidup?" batinnya kesal.
"Ini makanan untukmu. Makan lah. Sebelum makanan ini melayang ke wajahmu," ketus Sania. Son tak menghiraukan Sania sama sekali, dia sedang menikmati angin malam yang sangat dingin ini.
"Angin malam tidak baik untukmu." Sania menutup jendelanya dengan paksa.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Riniariani Rinimawan
baguslh sania...jgn jd wanita yg lemah
2022-12-15
2
Else Widiawati
knp ngga ada perubahan sikap sih.... ngga ada interaksi yg bikin sikap son berunah sama sania,,?? biasanya kan ada perubahan sikap lambat laun... tetlalu banyak tokoh mungkin yah...
2022-08-11
2
sry rahayu
pelan2 Sania... semangat...
2022-05-19
3