"Dasar anak tidak berguna! Kau memang selalu menyusahkan! Sudah dibiayai sekolah sampai tamat, tapi bekerja saja tidak becus! Mana balas budimu pada Paman dan Bibi! Dasar anak tidak tahu diri!" Bibi Lotus marah karna mendengar pengakuan dari Sania bahwa dirinya baru saja di pecat setelah belum genap sehari bekerja.
"Kamu ini memang selalu menyusahkan! Paman tidak tahu lagi harus mendidikmu seperti apa! Kamu hanya benalu di keluarga ini!" kata Paman, dia juga ikut kesal.
Harusnya Sania bisa membalas perkataan Paman dan Bibinya, biaya untuknya bersekolah hingga tamat tak lain karna adanya uang warisan dari Ayah dan Ibunya dulu. Uang warisan yang harusnya diserahkan kepadanya semua tapi dipegang oleh Paman dan Bibinya. Karna dulu dirinya masih kecil, belum tahu apa-apa. Dia baru-baru mengetahuinya saat tak sengaja mendengar percakapan antara Paman dan Bibinya waktu itu. Ayah dulu adalah seorang kontraktor dan Ibu juga bekerja sebagai karyawan di sebuah bank swasta. Mereka memiliki beberapa lahan tanah yang kalau dijual mencapai ratusan juta. Dia masih kecil waktu itu, jadi dia tidak tahu apa-apa.
Sania yang tidak kuat mendengar hinaan dari Paman dan Bibinya lantas masuk ke dalam kamarnya.
"Dia bahkan tak punya sopan santun kepada Ayah dan Ibu." Maria yang tak lain adalah sepupunya juga tampak tidak suka padanya. Jelas saja, dia kalah dengan Sania. Sania gadis cantik dan manis, banyak laki-laki yang suka padanya di sekolah. Maria yang kalah saing merasa iri dengan kecantikannya, sekali pun penampilannya tampak kucel atau pun tidak berdandan, Sania masih terlihat cantik.
Di kamar yang tidak begitu luas, Sania menumpahkan kesedihan dan kemarahannya di sini. Pigura foto yang terletak di meja nakasnya dia raih dan dipeluknya erat-erat. Dia menangis tanpa mengeluarkan suara. Hatinya begitu sesak selama bertahun-tahun ini hidup tanpa kasih sayang mereka berdua. Dia tak pernah marah dengan Tuhan, Sania selalu ingat kata-kata Ayahnya.
"Sania, Tuhan tahu apa yang kamu butuhkan. Dia selalu memberikan di waktu yang tepat, tapi saat Tuhan mengambil lagi itu artinya kamu tidak lagi membutuhkannya. Kamu hanya perlu menunggu apa yang akan Tuhan kasih lagi, tanpa mengeluh dan terus berusaha," kata Ayah waktu itu.
Sania tertidur setelah lelahnya menangis. Hingga bunyi getaran ponselnya membangunkannya.
"Iya. Hallo," sapanya pada balik ponselnya.
"Sania, aku di depan rumahmu. Keluar lah." Jeffry teman cafe yang baru hari ini berkenalan dengannya. Dia tahu Sania baru saja dipecat, dan sebelum Sania pulang Jeffry sempat meminta nomer ponselnya.
"Jeffry ... dari mana kamu tahu rumahku?" Jeffry cengengesan. Dan menyodorkan sebuah bingkisan padanya.
"Hebat kan? Aku sudah seperti detektif bukan?" ucapnya mencoba membuat Sania tersenyum. Dia tahu bahwa gadis itu baru saja menangis. Matanya terlihat sembab.
"Ini apa?" Sania menerima bingkisan itu dengan ragu.
"Hmm ... kamu pasti belum makan. Kamu menghabiskan waktu seharian ini pasti untuk menangis. Itu makanan, makan lah," ujar Jeff seraya tersenyum.
"Aku kan berada di rumah, sudah tentu ada makanan di rumah. Kenapa kamu repot-repot sampai membawakan makanan. Aku tidak enak denganmu, Jeff." Sania menyuruhnya untuk masuk tapi Jeffry menolaknya, pada akhirnya mereka duduk berdua di taman dekat rumah Sania.
"Aku tadi melihat lamaran pekerjaanmu dan mencatat alamat rumahmu. Maaf kalau aku terkesan lancang, tapi aku kepikiran denganmu. Kamu pasti sangat sedih hari ini dipecat." Jeffry tak mengalihkan pandangannya pada wajah Sania yang manis. Sejak pertama kali melihat Sania, dia sudah jatuh hati padanya.
"Sudah sepantasnya aku dipecat, Jeff. Aku memang gadis teledor. Bahkan aku tidak dapat bekerja dengan baik," ujarnya dengan wajah bersedih.
"Jangan bersedih lagi. Berarti rejekimu bukan di sana. Ayo cepat makan lah. Perutmu pasti kosong." Pria tampan itu menemaninya makan, hingga makanan itu habis tak tersisa. Jeffry juga sudah membelikan dua botol minuman untuknya dan Sania.
"Tapi Jeff, besok aku sepertinya sudah memiliki pekerjaan baru." Dahi Jeffry mengernyit heran. Secepat itu kah Sania mendapatkan pekerjaan?
"Di mana? Bekerja sebagai apa?" Jeffry menyodorkan botol kepada Sania. Pria tampan itu juga membantu membukakan tutup botol yang masih tersegel tersebut.
"Tidak tahu. Tadi ada seorang pria paruh baya yang menawarkan aku bekerja di rumahnya. Mungkin saja jadi pembantu," ucapnya tenang.
"Bagaimana mungkin gadis cantik sepertimu jadi seorang pembantu?" Sania langsung mengalihkan pandangannya pada Jeffry yang terlihat tidak terima. Tapi seketika wajahnya merona malu saat Jeffry mengatakan bahwa dia cantik. Perlu diakui, Jeffry termasuk pria tampan. Badannya yang tinggi, alis tebal, bibir tebal serta rahang yang tegas. Dan dia terlihat seperti pria yang baik, dia juga tidak banyak tingkah.
"Yang penting aku bisa bekerja, Jeff. Aku tidak mau terus menerus merepotkan paman dan bibiku." Sania menghela napasnya kasar. Dia merasa lelah dengan kehidupannya sekarang ini.
"Memangnya di mana orang tuamu?" tanya Jeffry kemudian.
"Ayah dan Ibuku sudah meninggal sewaktu umurku masih 8 tahun." Sania tersenyum saat mengatakan, senyum simpul yang tak benar-benar terlihat. Dibalik senyumnya hatinya tersayat.
Jeffry tercengang, dia tidak tahu bahwa ternyata Sania yatim piatu. "Sania, mulai sekarang kamu harus tahu. Ada aku yang selalu siap sedia membantumu. Katakan, katakan semuanya apa yang membuatmu susah. Aku pasti akan selalu menolongmu," ujarnya tulus. Dia bahkan tak ragu menggenggam tangan Sania, mereka cukup lama saling menatap satu sama lain. Hingga akhirnya Sania mengakhiri tatapan tersebut dan melepaskan tangannya.
****
Berkali-kali dia membaca alamat yang tertera pada secarik kertas yang dia pegang. Bahkan kertasnya sudah kusut akibat dia remas saat berboncengan dengan tukang ojol. Setelah dia turun dari motor, Sania langsung memberikan uang pada ojol tersebut.
"Maaf Nona, Anda mencari siapa?" Seorang satpam membuka celah pintu kecil yang terdapat di gerbang tinggi itu. Wajahnya pun hanya terlihat sebagian.
"Saya ada perlu dengan Tuan Math." Sejenak satpam itu meneliti penampilan Sania.
"Ada perlu apa, Nona? Apa Anda ada janji sebelumnya dengan beliau?" Satpam itu tak lantas percaya. Walaupun Sania memberikan secarik kertas yang bertuliskan alamat rumah ini. Di pikiran satpam itu, tidak mungkin Tuan Math memberikan kertas alamat pada sembarang orang. Tuan Math pasti akan memberikan kartu namanya kepada orang yang ingin perlu dengannya.
"Saya bertemu Tuan Math kemarin. Beliau bilang kalau akan memberikan saya pekerjaan." Satpam itu hendak menelfon seseorang, tapi tiba-tiba ada sebuah mobil yang hendak masuk.
Bim! Bim!
Seseorang yang duduk dibelakang menatap pada gadis yang berdiri di depan gerbang. Sania yang mengetahui ada mobil akan lewat, dia pun memilih minggir dari tempatnya semula.
"Siapa gadis itu?" tanyanya pada satpam setelah dirinya keluar dari mobil.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Rod Mah
lanjut..
2022-10-14
2
Aqila Nurul
pasti jdi pengasuh anak nya tuan mat +jdoh nya nanti
2022-08-28
2
Kokom Komala
lanjut thor
2022-08-20
2