Paman Raul dan Bibi Lotus saling pandang dan akhirnya tertawa bersama. Mereka menertawakan lelucon yang Sania katakan barusan.
"Maria, lihat lah saudaramu. Dia ingin menikah. Apa kamu pernah melihatnya jalan bersama laki-laki?" Bi Lotus menghina Sania dengan santainya. Kata-katanya sungguh menyakitkan hati.
"Sania, kau jangan bercanda! Paman senang saja kalau kamu tidak merepotkan kami lagi. Tapi untuk menikah, apa kamu punya modal untuk itu semua? Biaya nikah tidak sedikit Sania. Berhenti untuk terus menyusahkan kami lagi atau pun mempermalukan Paman dan Bibi." Paman Raul juga sama, dia tidak percaya dengan katanya barusan.
"Sania tidak akan merepotkan kalian lagi. Sania akan mengurus pernikahan Sania sendiri. Sania hanya ingin mengatakan bahwa Sania sebentar lagi akan menikah dan segera keluar dari sini, itu saja," ucapnya seraya berjalan menuju kamar.
"Terserah kamu saja, Sania! Paman tidak peduli!"
Paman Raul adalah adik dari Ayah Sania. Tidak menyangka bahwa setelah kepergian Ayahnya, sikap Paman Raul padanya berubah. Padahal dulu saat Ayahnya masih hidup, Paman Raul sangat perhatian dan baik dengannya.
Setelah bertukar pikiran dengan Pak Mail, akhirnya Sania memutuskan untuk menerima tawaran Tuan Math untuk menikahi putranya. Walaupun dia belum pernah bertemu dengan putranya, tapi Sania yakin kalau putranya pasti tampan seperti Tuan Math. Walaupun dia berat meninggalkan Pak Mail, tapi dia sudah tidak nyaman berada di rumah ini. Rumah ini tidak pantas disebut tempat untuk berteduh tapi tempat penghinaan. Tiada hari tanpa penghinaan untuk dirinya.
Pintu kamarnya terbuka, Maria dengan lancangnya masuk tanpa permisi. Sania melengoskan wajahnya merasa kesal.
Wanita itu berjalan ke arahnya tapi tetap memberi jarak. "Kau ingin menikah dengan siapa? Apa dengan pria yang aku lihat bersamamu waktu itu di taman?" Maria waktu itu tidak sengaja melihat Sania duduk berdua dengan seorang pria di taman. Pria yang Maria maksud adalah Jeffry.
"Bukan urusanmu!" ketusnya.
Wanita itu tambah mendekat. "Dengar Sania, sejauh apa pun kamu mencoba pergi dari rumah ini tidak akan pernah merubah takdir hidupmu yang memang sudah sangat menyedihkan. Aku jamin hidupmu tidak akan bahagia." Maria sangat membenci Sania. Kebencian yang mungkin saja bertambah setiap harinya.
"Maria, apa salahku?" Kedua netra mereka bertemu untuk pertama kalinya dalam waktu yang cukup lama. Dan pada akhirnya Maria menyudahi tatapan itu dan berlalu pergi. Tidak menjawab dari pertanyaan Sania padanya.
BRAKKK!!
Pintu ditutup dengan kasar. Maria memegangi dadanya yang seketika sesak. Memukulnya berulang kali untuk menghilangkan rasa sakit itu, tapi tetap tidak bisa. Hingga sesaat air matanya jatuh perlahan mengenai pipinya.
***
"Itu hanya akan melukai Son, Mathew. Dia baru saja terpuruk, hatinya belum sembuh." Luzi tidak menyetujui rencana Mathew untuk menikahi Son dengan seorang wanita.
"Aku tidak meminta persetujuanmu, Luzi. Aku hanya memberitahumu saja. Tugasmu hanya mengurus anak-anak. Tidak perlu mencampuri urusanku," kata Math dingin. Dia melempar jasnya ke sembarang arah. Luzi dengan sabar mengambil jas itu dan meletakkannya pada tempatnya.
Sudah puluhan tahun dirinya hidup bersama Math, tak pernah dia bersikap lembut padanya. Hanya di depan anak-anaknya saja Math bisa bersikap lembut padanya. Dahulu sekali, saat mereka masih pacaran, Math adalah seorang lelaki idaman banyak wanita. Wajahnya yang rupawan, kaya dan juga dermawan. Math selalu jadi bahan perbincangan orang lain. Tapi ada sisi buruk Math yang tidak banyak diketahui orang-orang.
"Aku ingin menemui Son dulu. Aku rindu padanya." Luzi beranjak pergi meninggalkan suaminya yang tak sama sekali pun menjawab. Dia acuh dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.
"Bi Mar, di mana Son?" Luzi menghampiri Bi Mar yang sedang membersihkan dapur.
"Tuan Son, ada di belakang rumah, Nyonya."
"Dengan siapa?"
"Sendirian, Nyonya. Tapi ada satu pelayan yang mengawasinya dari jauh," ucapnya cepat sebelum Nyonya Luzi memarahinya.
"Oh, syukur lah." Luzi akhirnya bisa bernapas lega. Sebetulnya sudah sering Math mengirimkan seorang bodyguard untuk Son, tapi Son selalu marah jika diberikan seorang pendamping untuknya. Dia memang buta, tapi dia bisa merasakan adanya seseorang yang dekat dengannya.
Dari kejauhan Luzi tersenyum, dia sangat menyayangi Son. Walaupun terkadang sikap Son padanya selalu buruk.
"Son, apa kabar?" tepuknya pada pundak kokohnya, "Ibu baru saja kembali dari Jepang. Mungkin lusa kak Rico akan kembali." Luzi memang sering menemani Rico jika ada urusan di luar negri atau pun di luar kota. Dia juga pernah menawari untuk menemani Darien, tapi anak mandiri itu selalu menolaknya.
"Aku tidak peduli." Son menepis tangan Luzi dari pundaknya. Dia hendak beranjak pergi, tapi dia kesulitan untuk menjangkau jalan. Seorang pelayan yang sedang mengawasi Son akhirnya mendekat.
"Tuan, Anda ingin ke mana?"
"Ke kamar!" Son membuang tongkatnya, "kursi roda!" Pelayan itu langsung berlari mengambilkan kursi roda. Itu akan mempermudah langkah Son.
Luzi yang sabar tetap tersenyum. Dia tahu betapa Son sangat membencinya. Luzi memberikan isyarat untuk pelayan pergi agar dia bisa mendorong kursi roda Son hingga ke kamar.
"Pergi lah Nyonya Luzi. Aku tidak ingin Anda terus mendekatiku. Aku tidak suka." Son tahu siapa orang di belakangnya. Itu membuat Luzi akhirnya perlahan mundur dan memberi tempat untuk pelayan.
"Ibu ...." Putra keduanya memanggilnya sesaat setelah kepergian Son, "Ibu kenapa? Apa anak tidak tahu diri itu menyakiti Ibu lagi?" Darien membawa Ibu Luzi ke dalam pelukannya. Dia melihat Ibu Luzi yang sedang bersedih.
"Darien ... Ibu sangat menyayangi anak-anak Ibu. Ibu tidak pernah membeda-bedakan kalian." Luzi merasa sakit saat Son tidak pernah menerima baik dirinya. Son selalu menganggapnya buruk.
"Biarkan saja, Bu. Ada Darien yang selalu menyayangi Ibu," ucapnya menenangkan Ibu Luzi.
Darien dengan langkah tegasnya menuju ke sebuah kamar. Tanpa permisi, dia membuka pintu dengan kerasnya. Son yang terbaring seketika bangun.
"Siapa?" tanya Son. Dia meraih tongkatnya dan ingin berjalan.
BUGH! BUGH!
Darien yang marah memukul adiknya tanpa belas kasihan. Son mengacungkan tongkatnya ke udara bersiap untuk memukul orang yang berani memukulnya tanpa permisi.
Dengan sigap Darien membuang tongkat itu dari tangannya. "Manusia tidak berguna! Setelah kau memaksakan keadaanmu yang menyedihkan ini dan berhasil merebut semua perhatian ayah, lalu apa tujuanmu selanjutnya?" Darien mencengkeram erat baju Son. Son merasakan darah mengalir pada sudut bibirnya, tapi dia tetap tersenyum disela-sela dia menahan rasa sakit akibat pukulan dari kakaknya.
Belum sempat menjawab, pelayan datang sambil berteriak. "Tuan, Tuan Darien tolong hentikan." Pelayan wanita datang menghampiri keduanya yang sedang berkelahi. Pelayan itu ketakutan karna Darien tidak mau melepaskan cengkramannya.
"Biarkan saja. Mungkin dia mau membunuhku," ujar Son dengan santainya.
.
.
.
Selamat membaca para readers.ku tersayang ...
Semoga kalian sehat selalu ya ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Rod Mah
ada apa dgn ibunya
2022-10-14
2
Sari Rosmiyati
keluarga macam apa ini...🤔😯😯
2022-09-10
2
Else Widiawati
keluarga tuan math masih misteri... ada apa dengan istri tuan math.. apa dia ibu dari ank2nya?
2022-08-09
2