"Duduk lah, Sania." Baru saja membuka pintu ruangan Math, beliau langsung mempersilahkan dirinya untuk duduk.
Suasana di dalam ruangan ini tetap lah sama, masih sunyi. Sepertinya ayah mertuanya sengaja menempatkan ruang kerjanya di lantai atas dan jauh dari ruangan mana pun agar saat dia bekerja, dia bisa tetap fokus.
Saat memandang wajah Math, dia menemukan kemiripan yang banyak dengan Son. Matanya, hidungnya, juga garis wajahnya yang sama.
"Ayah, ada apa memanggil Sania?" Dia memberanikan diri membuka suara, karna Math tak kunjung memulai pembicaraan. Pria paruh baya itu sibuk mengetuk-ngetuk meja seolah sedang berpikir.
"Sania ...."
"Iya, Yah." Sania menunggu ayah mertuanya berbicara. Math orang yang baik tapi dia belum sepenuhnya nyaman saat didekatnya, berbeda jika berdekatan dengan Ibu Luzi. Sosok Ibu Luzi mampu membuatnya nyaman kapan pun dan dimana pun.
"Apa kau sudah berkenalan dengan Leo?" Math menatap lekat Sania, si gadis muda yang sekarang menjadi menantunya. Walaupun dari segi umur dia terlihat masih sangat muda, tapi Math melihat sisi yang berbeda pada Sania.
"Sudah, Yah. Sekarang Paman Leo sedang berbincang dengan Son," jawabnya.
"Walaupun Ayah sudah memberikan pelayan khusus untuk Son, tapi peran yang penting dalam mengurus Son tetap kau, Sania. Paman Leo hanyalah sekedar membantumu. Ayah berharap banyak padamu, Sania. Ayah ingin Son menjadi sosok yang dulu, terlihat ceria."
Sania terbayang-bayang akan kata-kata Math barusan. Dia tahu, ini adalah pilihan hidup yang telah dipilih dan mau tidak mau dia harus sanggup menjalani. Menjadi istri dari seorang pria yang buta tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Dekat dengan seorang pria yang seperti apa juga tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Yang dia pikirkan selama ini adalah bisa hidup mandiri dan terlepas dari bayang-bayang Paman dan Bibinya. Setelah dia lulus sekolah yang dia inginkan adalah cepat mendapatkan pekerjaan dan bisa cepat keluar dari rumah itu. Dan sekarang semuanya sudah terkabul, dia bisa keluar dari rumah itu. Tapi sebuah jurang terlihat nyata di depannya. Yang harus dia lakukan adalah tetap hidup tanpa terpeleset ke dalam jurang itu.
Saat dia sedang berjalan akan menuju kamar, dia berpapasan dengan Paman Leo dan Son yang berada di kursi roda.
"Paman, kalian mau kemana?" tanyanya. Melihat Son terlihat begitu rapi.
"Kita akan keluar sebentar, Nona. Nona bisa ikut dengan kami," ajaknya.
"Jangan!!!!" Son langsung menyelanya. Sania dan Paman saling tatap dan pada akhirnya Sania hanya tersenyum.
"Sania di rumah saja, Paman."
Paman melirik pada Son yang diam, dia seperti menemukan sesuatu yang tidak beres di antara keduanya.
"Anda sedang bertengkar dengan nona Sania, Tuan?" tebaknya.
Son tidak menjawab. Dia menatap ke depan dengan kosong. Sosok Son memang berbeda sekarang. Paman Leo ikut bersedih atas kecelakaan yang pernah dialami anak majikannya, setelah Math menceritakan semuanya. Tapi sekarang Paman Leo tidak mau membahas masa lalu Son, yang terpenting sekarang adalah membantu Son cepat pulih. Dan hal utamanya adalah tentang psikis.
"Bi, tolong panggilkan nona Sania," bisiknya pada Bi Mar.
Dia memiliki sebuah rencana dan semoga aja tidak akan ketahuan.
"Saatnya kita jalan, Tuan," ucapnya. Son hanya tersenyum, sudah lama dia tidak keluar rumah. Bersama Paman Leo, dia merasa sangat nyaman.
"Paman, aku mencium sesuatu." Son seperti mencium aroma parfum yang menyengat. Dia tidak yakin jika itu berasal dari Paman Leo.
"Tuan mencium apa?"
"Apa di dalam mobil ini ada orang lain selain kita?" tanyanya menyelidik.
"Tidak ada, Tuan. Hanya ada kita berdua."
Sania duduk tenang di jok belakang. Dia takut jika Son menyadari dirinya berada dalam satu mobil dengannya.
"Aku ingin mengunjungi makam vennie terlebih dahulu."
DEG.
Walaupun mantan tunangannya sudah meninggal, tetapi Sania yang mendengar itu merasa sesak dada. Begitu cintanya Son terhadap Vennie, hingga orang yang sudah tiada pun masih dirindukannya.
Paman Leo melirik pada spion memperlihatkan Sania yang memasang wajah sedih. Dia tahu apa yang dirasakan gadis itu.
"Baiklah, Tuan. Kita akan ke sana," jawab Paman Leo menyetujui. Dia melajukan mobil ke arah makam.
Saat Paman Leo dan Son sudah turun dari mobil, baru lah Sania turun. Dia berjalan agak jauh dari posisi mereka. Sebenarnya kaki Sania berat untuk melangkah, dia tidak mau melihat yang bisa membuatnya tambah sesak dada. Tapi dia merasa penasaran.
"Tuan, sepertinya barusan ada yang datang ke sini. Ini ada bunga yang masih segar tergeletak di atas makam nona vennie."
"Siapa pemiliknya?"
"Tidak ada tulisan namanya, Tuan."
Dengan sengaja Son membuang buket bunga tersebut. Dia tidak mau ada orang lain yang mencoba peduli pada mantan tunangannya.
"Tuan, kenapa dibuang? Itu barangkali dari keluarganya." Paman Leo merasa bingung dengan sikap Son, seakan cemburu pada sosok orang yang barusan mengunjungi makam Vennie. Padahal belum tentu itu seorang laki-laki.
"Tidak ada! Keluarganya tidak ada di sini. Itu pasti laki-laki itu!" Son geram saat mengingat betapa dia membenci sosok laki-laki itu. Dia yakin bahwa dirinya yang barusan datang mengunjungi makam Vennie. "Paman, tinggalkan aku sendiri."
Mendengar permintaan Son, Paman Leo akhirnya melangkahkan kaki meninggalkan Son. Dia menghampiri Sania yang tak jauh dari sana.
"Nona, temani tuan Son saja. Berdiri lah agak dekat dengannya." Paman Leo menyuruh Sania untuk mendekati Son, tapi Sania menolak.
"Tidak, Paman. Aku tidak mau mendengar apa pun di sana."
Dari sini terlihat Son berkali-kali mengusap batu nisan, bahkan juga ia dapat melihat Son menitikkan air mata. Hatinya begitu hancur saat melihat suaminya menangisi wanita lain.
"Perasaan apa ini! Tidak seharusnya aku bersedih!" batinnya menolak.
"Nona, Anda tidak apa-apa?" tanya Paman Leo khawatir melihat Sania matanya memerah.
"Tidak apa-apa. Sania tunggu di dekat mobil saja." Sania berlari meninggalkan Paman Leo yang tak berhenti memandangnya. Bayangan Son yang menangisi Vennie begitu terngiang-ngiang di kepalanya.
Sania gadis muda yang belum pernah merasakan jatuh cinta. Dia bingung dengan perasaannya sekarang. Dia tidak bisa menebak apakah yang dirasakan sekarang adalah perasaan jatuh cinta. Sosok Son yang menakutkan, membuatnya semakin penasaran. Terkadang dia bisa berperilaku layaknya manusia biasa, terkadang juga bisa berperilaku seperti orang gila.
Setelah selesai mengunjungi makam Vennie, mereka bergerak menuju Salon. Son harus memotong rambutnya yang sudah panjang. Dalam hidup Son tak pernah ia memanjangkan rambut sampai sekarang ini.
"Nona, Anda juga harus potong rambut. Agar terlihat lebih fresh," usul Paman Leo.
"Tidak, Paman. Saya masih nyaman dengan rambut ini."
"Nona cantik, Anda sepertinya cocok dengan model rambut seperti ini," kata seorang karyawan salon menunjukkan sebuah foto.
"Bagus juga," batinnya.
"Baik lah, aku mau." Sania pun akhirnya menyetujui.
"Nona, apakah Anda istrinya tuan yang itu?" tunjuknya pada Son.
"Sssstttttt, diam lah jangan keras-keras."
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Else Widiawati
mudah2an paman leo bisa memberikan perubahan yg lebih baik pada tuan son
2022-08-11
1
T'renz
visualnya donk
2022-08-03
1
Risa Istifa
🤗🤗🤗🤗
2022-07-20
2