Seorang pria berwajah tampan dan karismatik terlihat ragu saat akan memasuki sebuah halaman rumah yang dari depan terlihat sunyi. Kakinya ia paksakan untuk masuk, walaupun hatinya berulang kali menolak. Tapi rasa keingintahuannya lebih besar daripada perasaan ragu. Belum sempat mengetok pintu atau pun memencet bel, pintu sudah terbuka oleh seorang gadis. Kesan pertama yang dia lihat, gadis itu terlihat manis juga. Walaupun wajahnya terlihat angkuh. Juga penampilannya yang terlalu berlebihan.
"Pagi, Nona. Maaf saya ingin bertanya, apa Sania ada di rumah?" tanya Jeffry seraya mengembangkan senyumannya. Dia menunggu jawaban dari gadis itu. Tapi pandangan gadis itu masih sibuk mengamati penampilannya.
"Sania? Kau mencari Sania?" Maria memutar bola matanya jengah. Dia tahu akan sosok pria di hadapannya sekarang. Pria yang waktu itu duduk bersama Sania di taman. Pria tampan dan dia merasa iri, karna Sania memiliki teman yang tampan seperti Jeffry.
"Iya, Sania tinggal di sini, kan?" Maria merapikan bajunya sekali lagi, dan membenarkan posisi tasnya yang berada di pundak sebelah kiri. Dia sudah bersiap untuk menuju ke kampus.
"Dia sudah tidak tinggal di sini lagi. Dia sudah menikah." Tanpa sopan, Maria berlalu pergi melewati Jeffry begitu saja. Mencegat taxi yang kebetulan lewat dan langsung menaiki. Sedangkan Jeffry sesaat kehilangan kesadarannya, dia begitu kaget sekaligus terkejut. Tubuhnya mendadak beku, saat mendengar pernyataan dari Maria.
"Sudah menikah?" Jeffry berkali-kali menepuk pipinya dengan keras hingga dia mengaduh kesakitan.
"Nona! Nona! Nona tunggu! Apa yang Anda katakan tadi?" Jeffry berusaha mengejar taxi tersebut, tapi tidak kekejar. Seorang wanita paruh baya keluar sambil melipat kedua tangannya di perut.
"Tuan muda? Anda siapa? Pagi-pagi sudah teriak-teriak di depan rumahku?" Bibi Lotus menatapnya tajam. Dia mendengar sebuah teriakan yang sangat mengganggu.
"Nyonya, maaf." Jeffry menghampiri Lotus. Dia mengatupkan kedua tangannya meminta maaf, "saya Jeffry. Saya mencari Sania. Tapi kata nona tadi, Sania sudah tidak tinggal di sini lagi?"
Lotus memalingkan wajahnya, merasa malas jika membahas tentang keponakannya itu. "Sania memang sudah tidak tinggal di sini. Dia tinggal bersama suaminya. Dia sudah menikah, apakah kau tidak tahu? Kau tidak diundang?"
Jeffry menggeleng. Sejak kapan Sania dekat dengan seorang pria? Yang dia tahu, Sania orangnya sangat tertutup. Bahkan terakhir kali mereka bertemu, Sania sedang bingung mendapatkan pekerjaan.
"Menikah dengan siapa, Nyonya? Yang saya tahu, Sania tidak memiliki kekasih?" Jeffry masih saja tidak percaya. Tapi memang ponsel Sania akhir-akhir ini tidak aktif. Gadis itu seperti sengaja menjauh.
"Saya tidak tahu. Dan saya tidak mau tahu. Dengar ya, Sania sudah tidak ada di sini. Dia sudah hidup mewah dengan seorang pria kaya, tapi sayang sekali pria itu buta. Suaminya buta," ejeknya sambil tersenyum miring. Lagi-lagi Jeffry mengelak untuk percaya. Dia tidak mau percaya begitu saja berita mentah-mentah itu.
"Nyonya, bolehkah saya meminta alamat rumah suaminya Sania?" Lotus yang hampir saja menutup pintunya seketika terhenti.
"Kau cari sendiri." Pintu pun hampir sejengkal saja tertutup, Jeffry sekuat tenaga menahannya.
"Saya mohon, Nyonya," pintanya dengan wajah memelas.
***
Saat Sania keluar dari dapur, dia melihat Ibu Luzi sedang di meja makan sendirian. Dia menyantap makanan tanpa ditemani oleh siapa pun.
"Sania ... kemari lah." Ibu Luzi memanggilnya saat melihat Sania berdiri tak jauh dari tempat duduknya. Ia mengayunkan tangannya dan tersenyum.
"Ibu baru makan pagi?" tanya Sania. Dia lantas duduk di sebelah Ibu Luzi. Dia masih saja merasa canggung, walaupun perlakuan Ibu Luzi terhadapnya sangat lah manis.
"Iya, Sania. Apakah kamu sudah makan? Jika belum, ayo makan lah bersama Ibu," ajaknya seraya mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk. Tak dapat menolak, memang kenyataannya Sania juga belum makan.
"Sudah, Bu. Jangan banyak-banyak."
"Kamu harus makan yang banyak, Sania. Tenaga kamu pasti terkuras banyak untuk menghadapi putra Ibu yang sangat keras kepala." Ibu Luzi tertawa ringan. Dia sangat paham karakter Son. Dia sangat sulit sekali untuk dekat dengan orang asing.
"Tidak juga, Bu. Son tadi sangat penurut saat aku menyuruhnya untuk makan," ujarnya bangga. Ini baru hari pertama, tapi sepertinya Sania mulai menemukan secercah kebahagiaan. Dia yakin Son tidak lah seburuk apa yang orang-orang katakan. Dia pria yang baik, hanya saja trauma yang membuatnya kadang menggila.
"Oh ya? Syukurlah jika begitu. Son memang anak yang penurut," kata Ibu Luzi.
"Darien!" Tiba-tiba Ibu Luzi memanggil sebuah nama. Nama yang sudah tak asing di telinganya. Dia putra kedua dari Math. Wajahnya tak kalah tampan dari Son, tapi wajahnya juga tak kalah dingin dari Son. Pria itu berjalan mendekat. Pakaiannya sudah rapi dengan kemeja warna biru muda dan jas yang menempel. Sangat berkarismatik.
Satu kecupan mendarat di kening Luzi. Darien mengecupnya dengan penuh kasih sayang layaknya seorang putra yang sangat menyayanginya Ibunya.
"Aku berangkat dulu, Bu." Darien tak lupa mencium punggung tangan Luzi. Senyuman terbaiknya ia berikan pada Ibunya. Sungguh anak yang sangat sopan.
"Kenapa selalu melewatkan makan pagi. Kau harus makan Darien!" keluh Luzi. Darien selalu saja tidak mau makan pagi.
"Ibu, lihat lah. Ini sudah siang. Kenapa aku harus makan pagi? Aku ingin segera berangkat ke kantor." Darien dengan matanya memohon meminta untuk Luzi merelakan dia untuk segera berangkat ke kantor.
"Kenapa kau bangun siang?" Luzi masih menahan Darien untuk tidak pergi. Dia sangat merindukan berkumpul dengan suami dan putra-putranya. Entah mengapa sejak mereka beranjak dewasa, dia merasa tidak ada lagi rasa kebersamaan.
"Aku tidak bangun siang, Bu. Aku tadi bekerja sebentar, mengecek beberapa email." Tangan Luzi tak mau lepas. Dia masih menggenggam erat jari jemarinya, "Ibu ...." Darien sangat memohon. Dan akhirnya Luzi mau juga melepaskannya. Sania yang berada di situ juga ikut terhanyut. Menyaksikan drama Ibu dan anak. Sania merasa iri melihat kedekatan mereka.
"Hati-hati, Darien. Jangan pulang terlalu malam. Ibu sangat mencemaskan mu." Darien tersenyum dan mengangguk. Sebelum dia benar-benar pergi, Darien menatap sebentar Sania yang berada di sebelah Ibunya. Dia tersenyum singkat padanya. Sania yang tidak menyadari hanya bisa diam, karna begitu cepat Darien melempar senyum padanya.
"Kalian sudah saling kenal, bukan?" Suara Luzi mengagetkan Sania yang masih terdiam.
"I-iya, Bu," jawabnya terbata.
"Dia adalah Darien. Putra Ibu yang kedua. Dia sangat mandiri dan pekerja keras." Ibu Luzi membanggakannya.
Sania tersenyum menanggapinya. "Beruntungnya Ibu memiliki putra-putra yang baik." Kata-kata Sania membuatnya menoleh. Ada sebuah kesedihan di mata Ibu Luzi.
"Ibu tidak seberuntung itu," katanya. Tak terasa air matanya menggenang. Membuat Sania khawatir.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Rod Mah
lajuuut
2022-10-14
2
Aqila Nurul
sepertinya ada udang dbalik batu
2022-08-28
1
Else Widiawati
ada kisah cerita apa dibalik keluarga luzi
2022-08-10
1