ISTRI UNTUK TUAN BUTA
Seorang gadis manis yang rambutnya diikat ke atas menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
"Di mana meja nomer 13," lirihnya.
"Di pojok sana, Sania," ucap seorang pria tampan yang memakai seragam sama dengannya.
"Terima kasih, Jeff." Pria itu mengangguk dan tersenyum padanya. Hari ini adalah hari pertama Sania bekerja di cafe ini. Tentu saja dia belum hafal letak meja di cafe ini. Cafe ini termasuk cafe yang besar di kota ini.
Gadis manis itu akhirnya bisa tersenyum saat melihat papan nomer yang terletak di meja paling pojok menunjukkan angka 13.
"Silah—" Kopi yang dibawanya tumpah mengenai kemeja pria paruh baya yang sedang asyik berbincang dengan rekan di sebelahnya.
"Astaga! Kau!" Rekan kerja di sebelahnya terperangah melihat gadis itu menumpahkan kopi panas pada kemeja rekannya.
Gadis itu menutup mulutnya dan tak lama matanya berkaca-kaca. "Tu-tuan, sa-saya—"
"Sania!!!" Belum sempat menyelesaikan perkataannya yang terbata, suara menggelegar terdengar begitu keras dari arah belakang.
Pria paruh baya yang kemejanya ketumpahan kopi tadi tidak berkata apa pun, dia langsung beranjak berdiri dan menuju toilet. Tapi bisa dilihat dari wajahnya yang menahan panasnya air kopi itu.
"Ma-maaf, Bos," ucapnya sambil terisak. Kepalanya terus menunduk merasa sangat ketakutan.
"Ke ruangan saya sekarang!" Sania dengan kaki gemetar perlahan berjalan menuju ruangan pemilik Cafe. Sebelum bos pemilik Cafe itu beranjak pergi, dia tak lupa meminta maaf atas kelalaian Sania dan meminta karyawan lain untuk cepat membersihkan kekacauan itu dan mengganti kopinya dengan yang baru.
"Bos, saya mohon jangan pecat saya. Saya anak yatim piatu, saya mohon. Saya butuh pekerjaan ini." Sania mengatupkan kedua tangannya. Dia tak berhenti menangis. Dia memang salah, dia tidak berhati-hati.
"Sania, kamu belum genap satu hari bekerja di sini. Kenapa sudah membuat masalah! Saya tidak suka ada karyawan yang teledor, kamu bisa membahayakan pelanggan-pelanggan saya! Silahkan lepas seragammu dan cari pekerjaan lain!" Pemilik Cafe beranjak dari duduknya. Dia bahkan tega menarik Sania dengan kasar keluar dari ruangannya.
Sania tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dia merasa sangat tidak berharga hidup di dunia ini. Sudah yatim piatu saat masih kecil, hidup bersama Paman dan Bibinya yang selalu memperlakukannya dengan buruk. Hidupnya terasa hampa. Hanya satu orang yang menerima kehadirannya yaitu Pak Mail. Pelayan di rumah Paman dan Bibinya yang sudah sangat tua. Beliau juga sama nasibnya dengan dirinya, hidup sebatang kara di dunia ini.
"Nona ...." Suara lembut dari seseorang menghentikan langkahnya.
"Tu-tuan, maaf maaf. Aku tidak sengaja, aku sungguh tidak sengaja. Mohon maafkan aku, Tuan." Seseorang yang memanggil dirinya adalah pria paruh baya yang tadi tidak sengaja ketumpahan kopi.
"Tidak apa-apa, Nona. Saya tidak apa-apa. Kenapa Nona di sini? Kenapa tidak memakai seragam lagi?" Pria paruh baya itu berkata sangat lembut. Sania jadi teringat dengan sang Ayah yang selalu berkata lembut dengannya.
"Saya dipecat, Tuan," ucap Sania dengan sedih. Dia sudah menghapus seluruh air matanya, yang tersisa hanyalah matanya yang memerah sehabis menangis juga ujung hidungnya yang ikut merah.
"Ya Tuhan, pasti gara-gara saya, kamu sampai di pecat. Maaf kan aku, Nona." Pria paruh baya itu ikut bersedih.
"Ini memang salahku, Tuan. Saya berhak menerima ini semua."
Sania ingin beranjak pergi dari tempat tapi pria paruh baya itu menahannya.
"Nona, apakah Nona ingin bekerja lagi?"
Sania memasang telinga betul-betul, siapa tahu dia salah dengar. "Bekerja? Iya tentu, Tuan. Saya baru saja lulus sekolah, tentu saya akan bekerja."
"Saya ada tawaran untuk Nona. Bekerja di rumah saya,"
"Maksud Tuan?"
****
Anderson, pria buta yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk merenungi kehidupannya yang terasa hampa. Cinta sejati yang membuatnya kuat, kini tak dapat lagi dia genggam. Dia kehilangan cinta sejatinya karna kesalahannya sendiri.
"Tuan Son, ayo makan. Nanti tuan Math akan marah kepada saya, jika makanan Tuan masih utuh." Pelayan wanita yang sudah beruban itu terus menyodorkan sepiring nasi padanya. Hampir setiap hari dia seperti itu. Melayani Tuan Son setiap hari, walaupun dirinya kadang merasa kesal dengan sikap cueknya, "Tuan, saya harus kembali ke dapur. Makan lah, Anda belum makan dari pagi."
Son terus diam. Yang bisa dia lihat hanya lah kegelapan. Terbuka atau pun terpejam, sama aja.
CRANGGG!!!!!
Pecahan piring berserakan di mana-mana. Salah satu pelayan yang melintasi kamar Son, perlahan mendekat. Walau dia merasa ketakutan, tapi dia mau tidak mau masuk ke dalam kamarnya. Dia juga takut jika Son kenapa-kenapa. Seisi rumah bisa terkena marah oleh Tuan Math.
"Tuan Son, Anda tidak apa-apa?" Pelayan wanita itu lantas membersihkan serpihan piring itu. Sesekali matanya melirik pada Son yang hanya diam saja.
"Dia hanya buta kan? Tidak bisu?" batinnya. Tidak hanya pelayan paruh baya tadi yang merasa kesal dengan sikap Son, hampir seluruh pelayan di rumah sangat kesal dengan sikap Son.
"Tuan, Anda mau ke mana?" Pelayan wanita itu membantu langkah Son. Tapi berkali-kali Son menepis tangannya dengan kasar.
CRANGGG!!!!
Tubuh Son menabrak meja dan menjatuhkan vas bunga yang berada di atas meja tersebut.
"Ya Tuhan ... pekerjaanku menjadi double!!!" batinnya kesal. Ternyata Son ingin ke ranjang, dia merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya.
"Bi Mar! Bi Mar!" Saat panggilan pada Bi Mar mulai menggema, seluruh pelayan pun langsung berkumpul menjadi satu di ruang belakang.
"Iya, Tuan Math." Bi Mar dengan napas tersengal-sengal menghampiri Tuan rumah yang sangat berkuasa di rumah ini.
"Apa putraku sudah makan? Di mana dia?" Seorang Ayah yang sangat perhatian dengan putranya. Setiap hari dia hanya menanyakan keadaan putra bungsunya saja. Itu membuat putra pertama dan kedua merasa iri dengan sikap ayahnya.
"Tadi saya sudah memberikan makanan untuknya, Tuan," ujar Bi Mar seraya mengusap keringat yang mengucur di dahinya.
"Apakah dia mau makan? Apakah kau melihatnya memakan makanan itu?" Tuan Math menyilangkan kakinya dan menyenderkan tubuhnya pada sofa.
"Saya akan mengeceknya terlebih dahulu, Tuan," kata Bi Mar dan ingin beranjak pergi.
"Berhenti! Apa pekerjaanmu seharian ini! Kenapa hanya memastikan putraku sudah makan atau belum kau tidak bisa!"
Tuan Math menarik kasar tangannya yang mulai keriput. "Tanganmu kau gunakan untuk apa saja? Hah! Apa kau tidak bisa menyuapinya agar putraku tidak kekurangan gizi!" serunya dan menghempaskan tangannya begitu saja. Bi Mar memegangi tangannya yang sakit.
"Maaf Tuan. Tuan Son tidak mau saya suapi. Saya sudah berusaha, kalau saya memaksa, Tuan Son akan marah dan membanting-banting barang." Bi Mar merasa serba salah. Di sisi lain dia takut kena marah Tuan Math tapi melihat Tuan Son yang menggila, itu juga cukup menyeramkan.
**
Selamat membaca karyaku yang Baru...
Salam hangat untuk kalian semua ...... hehe
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Imaz Ajjah
mampir lah,walaupun telat...
2024-02-10
1
ayu nuraini maulina
masih untung cuek ga kejam
2023-10-03
1
𝐵💞𝓇𝒶𝒽𝒶𝑒🎀
mampir!!!
2023-08-14
2