Seorang gadis terbangun dari tidur panjangnya dan melihat ke arah jendela. Dia merebahkan tubuhnya lagi pada ranjang karna cuaca pagi ini tampak tak bersahabat.
Tok!
Tok!
Tok!
"Masuk, Pak Mail." Tidak perlu bertanya siapa orang yang mengetok pintu, Sania sudah tahu. Tak ada lagi orang yang bisa bersikap sopan dengan dirinya kecuali Pak Mail.
"Nona Sania sudah bangun? Nona bukannya hari ini akan mendatangi calon mertua Anda?" Melihat Sania yang masih bermalas-malasan di kasur dia pun tersenyum, "apakah Nona ragu kembali?" tanyanya menebak.
"Tidak, Pak Mail. Sania tetap mau menikah. Setidaknya itu bisa sedikit merubah jalan hidupku. Dan semoga saja Sania bisa menemukan kebahagiaan." Setelah berpikir lama, menerima tawaran dari Tuan Math tidak lah buruk. Tuan Math orang yang baik, bahkan kesalahan yang tak pernah dia sengaja lakukan waktu itu tidak menjadi masalah untuknya. Jadi, jika Ayahnya juga sangat baik, pastinya putranya sudah tentu mewarisi sifat Ayahnya.
"Saya selalu doakan untuk Nona Sania agar selalu bahagia dan sehat selalu." Mendengar Pak Mail yang berdoa tulus untuknya membuat Sania bersedih.
"Tapi ... Sania tidak bisa setiap hari melihat Pak Mail," ujarnya bersedih.
"Kita bisa bertemu kapan pun, Nona. Jika ada masalah silahkan datang ke saya, Pak Mail akan selalu siap membantu Nona." Melihat Sania seperti melihat dirinya sewaktu muda. Dia ditinggal orang tuanya saat masih kecil dan diurus dengan saudara yang lain tanpa kasih sayang. Akhirnya Pak Mail mencari kehidupan di luar tanpa bergantung dengan siapa pun. Dan disaat dia sudah menemukan cintanya, dia pun harus rela merasakan sakitnya ditinggalkan. Pak Mail berharap nasib buruk percintaannya tidak akan terjadi pada Sania.
.
.
Sania memakai pakaian terbaiknya yang ada di lemari. Dia berharap hari ini adalah awal dari takdir baiknya. Saat dia ingin keluar, Sania berpapasan dengan Bibi Lotus di depan pintu.
"Sania!" panggilnya setengah berteriak. Sania pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap Bibi Lotus.
"Setelah kau menikah nanti, kau jangan pernah lupa dengan paman dan Bibimu. Kau nanti juga harus mengirimkan sejumlah uang setiap bulannya kepada paman dan Bibi yang sudah merawatmu dari kecil. Kau sudah disekolahkan sampai tamat dan kau memilih menikah saat baru tamat sekolah, paman dan Bibi belum merasakan jerih payahmu. Jadi, setelah menikah jangan lupakan jasa paman dan Bibi," ujarnya panjang lebar. Bibi Lotus berdiri di ambang pintu menghalangi jalannya. Sania sebenarnya enggan untuk menjawabnya, tapi Bi Lotus seperti menunggu jawabannya.
"Baik lah, Sania tidak akan lupa." Tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka, mereka hanya menginginkan uang dan uang. Tidak ada kasih sayang yang Sania dapat selama ini. Mereka selalu mengucilkan Sania dan selalu menganggapnya tidak ada. Mereka sangat memanjakan Maria tapi tidak dengan Sania. Mereka selalu membelikan baju baru untuk Maria, tapi Sania hanya dapat baju dari Maria yang sudah tak terpakai. Terkadang Sania juga memakai baju dari mendiang ibunya, seperti hari ini. Dress motif polkadot yang modelnya memang sudah jadul sekali tapi Sania mau memakainya. Dia berharap baju ini membawa keberuntungan.
"Silahkan masuk, Nona," ujar satpam setelah dirinya baru turun dari ojek online.
"Apa tuan—"
"Tuan Math sudah menunggu Anda, Nona," potongnya. Tak ingin Tuan Math menunggu lama, Sania mempercepat langkahnya. Seorang pelayan keluar dan menyambut kedatangannya.
"Selamat pagi, Nona. Anda sudah ditunggu tuan Math di ruang kerjanya. Mari ikut saya." Pelayan yang berbeda dari yang pertama kali menghampirinya waktu itu. Tidak tahu berapa jumlah pelayan di sini. Tapi saat masuk ke dalam rumah, ada banyak wajah pelayan berbeda yang sedang bersih-bersih.
Cukup lama Sania berjalan sampai akhirnya dia sampai juga di ruang kerja Math. Ruang kerja yang terletak paling atas. Saat masuk, Sania disambut senyuman Tuan Math yang memesona. Di usia senjanya, Tuan Math masih begitu gagah.
"Apa kabar, Sania?" Tuan Math mempersilahkan duduk.
"Baik, Tuan." Sania mengedarkan pandangannya sebentar, ruangan yang cukup luas untuk sekedar ruang kerja. Di ruangan ini terdapat banyak lemari di setiap sisi, isinya penuh dengan file-file yang tersusun rapi.
"Bagaimana Sania, tentang tawaran saya waktu itu? Apa kamu menerimanya?" Tuan Math menatapnya penuh harap.
Perlahan Sania mengangguk dan itu membuat bibir Math tersenyum merekah. Dia seperti menemukan secercah harapan untuk hidup putranya. Putra yang sangat dia sayangi.
***
Son menghabiskan waktu sepanjang harinya hanya untuk di kamar. Terkadang dia keluar kamar jika hanya ingin saja. Satu bingkai foto kecil yang selalu dia peluk setiap hari dengan sengaja disembunyikan oleh Math.
"Ayah, apa itu Ayah?" Son mendengar pintu kamarnya dibuka oleh seseorang, "Ayah ... tolong kembalikan foto Vennie," ujarnya lirih menahan kerinduan.
"Untuk apa? Kamu juga tidak bisa melihat, Son. Sama saja kamu tidak bisa melihat wajah Vennie." Wajah murung putranya terlihat sangat menyayat hati, "sampai kapan kamu akan seperti ini, Son. Jangan menyiksa Ayah."
Math memeluk putranya dengan erat. "Sampai aku bisa bertemu Vennie, Yah."
"Kau bicara apa! Hentikan omong kosongmu! Kau harus tetap hidup, kau harus tetap menjalani kehidupanmu ke depannya. Ayah sangat menyayangi kamu, Son. Juga Ibu dan kakak-kakakmu. Mereka semua sangat menyayangimu," ujar Math.
"Aku tidak butuh mereka semua, Yah. Mereka hanya penipu!" Son menyingkirkan tangan Ayahnya dari tubuhnya. Dia berjalan menuju ranjang dan terbaring di sana. Setiap Ayahnya membicarakan soal Ibu dan kakak-kakaknya, Son tidak suka.
"Mereka tidak salah, Son. Yang salah adalah Ayah." Mendengar Math yang selalu membela mereka semua, Son tidak terima.
"Iya kenapa Ayah tega!" Son mulai terpancing emosinya. Dulu dia memutuskan untuk langsung bertunangan dengan Vennie karna ingin cepat memiliki kehidupan yang baru dan bisa secepatnya keluar dari rumah ini. Tapi takdir berkata lain, Tuhan telah merebut kebahagiaannya lagi.
"Cukup, Son! Yang terpenting, Ayah sangat menyayangi kalian semua. Dan ada hal yang ingin Ayah bicarakan denganmu." Son mengalihkan pandangannya pada sang Ayah. Dia tahu kalau nada bicara Ayah sudah seperti ini, berarti ini masalah serius.
Math menghembuskan napasnya perlahan. Dia berjalan menghampiri Son yang bersender di ranjang.
"Ayah sangat menyayangimu, Son."
"Katakan saja, Yah." Son sudah tidak sabar. Tidak seperti biasanya Math ingin berbicara seserius ini. Ayahnya adalah sosok pria yang penuh dengan teka-teki. Dia sama sekali tidak bisa ditebak.
"Sebentar lagi, Ayah akan menikahkan kamu dengan seorang wanita. Ayah tidak menerima persetujuanmu," singkatnya. Setelah mengatakannya, Math langsung keluar dari kamar putranya.
"Ayah! Ayah! Apa maksud Ayah! Son tidak mau! Ayah!" Percuma saja Son berteriak, Math tidak mau mendengarkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
lanjut
2022-11-13
3
maredni Jiba
ada apa dengan son dan kelihatan benci sekali sama ibu dan kakaknya,begitu sebaliknya ayahnya juga seperti benci istrinya🤔🤔
2022-08-26
2
Ara Hasyim
ada apa sebenarnya antara son sm ibu n kakak² nya
2022-08-09
2