"Son!" teriak Darien. Dia menghampiri sang adik dan mencengkeram erat bajunya.
"Darien! Darien! Lepaskan adikmu." Luzi memohon.
"Tidak, Bu. Dia tidak punya sopan santun," ujarnya pada Luzi, "apakah kau tidak lihat kita sedang kedatangan tamu? Apa kau tidak bisa mengontrol emosimu! Berhenti bersikap kekanak-kanakan!" Son tidak melawan saat Darien menarik kerah bajunya dengan kasar. Dia masih bersikap tenang, walaupun tangannya gemetar setelah membanting gelas. Dia sangat emosi saat sang Ayah memperkenalkan calon istrinya. Sampai kapan pun Son tidak mau mencintai wanita lain.
"Lepas!" Math menepis kasar tangan Darien dan dibalas tatapan tajam dari putranya.
"Ayah membelanya?" Luzi hampir menangis, melihat keluarganya yang tidak pernah akur membuatnya sangat bersedih.
Sania yang masih berdiri, seketika lemas saat melihat kejadian yang membuatnya ketakutan. Math yang menyadari Sania yang ketakutan pun menyuruh seorang pelayan untuk membawanya pergi.
"Mari Nona, ikut saya." Dengan langkah tertatih Sania mengikuti pelayan.
"Pria di kursi roda itu siapa?" Kakinya masih gemetar, dia benar-benar ketakutan. Dia tahu pria di kursi roda itu buta, tapi Sania masih menyangkal kalau dia lah calon suaminya.
"Dia tuan Son, putra terakhir tuan Math," jawab Pelayan itu. Seorang pelayan datang membawakan minuman untuknya.
"Minum dulu, Nona." Pelayan yang menemaninya ada dua orang. Mereka terlihat masih muda-muda.
"Nona, calon istrinya tuan Son, kan?"
Uhuk..
Uhuk..
Sania tersedak. Dia terkejut kenapa mereka semua sudah tahu.
"Kalian tau dari siapa?" Sania meletakkan gelasnya dan beralih menatap mereka bergantian.
"Berita kalau tuan Son akan segera menikah sudah terdengar dari jauh-jauh hari, Nona. Bahkan tuan Math sendiri yang memberitahunya." Tubuhnya serasa lemas, keputusannya untuk menikah dengan seorang pria buta nyatanya tidak lah hanya buta. Bahkan dengan jelas pria buta tadi sangat tempramental. Dan yang dia tangkap, pria itu sepertinya tidak mau dinikahkan.
Sania terdiam membisu. Dia bingung saat ini. Tidak mungkin dia membatalkan rencana pernikahannya yang sudah dia setujui dengan matang. Tidak mungkin juga dia harus kembali ke rumah dan mengatakan pada Paman dan Bibinya kalau Sania tidak jadi menikah. Itu hanya akan jadi bahan tertawaan dan Sania akan terus menjadi budak mereka saja.
"Nona, Nona tidak apa-apa?" Seorang pelayan menepuk bahunya pelan. Tak lama kemudian Sania pun tersadar dari lamunannya. Saat dia sadar, dia melihat pelayan wanita paruh baya berjalan ke arahnya.
"Nona, kami permisi." Dua pelayan tadi berlalu pergi saat pelayan wanita paruh baya itu sampai di tempat.
"Salam kenal, Nona Sania. Perkenalkan saya Bi Mar. Saya adalah pelayan tuan Son selama ini. Dan saya dengar sebentar lagi Nona akan menikah dengan tuan Son, selamat Nona." Bi Mar tersenyum seraya mengulurkan tangannya. Sania menyambut baik sambutan tangannya yang sudah sedikit keriput. Walaupun Bi Mar terlihat sudah renta, tapi badannya masih sangat bugar.
"Apakah Son yang tadi duduk di kursi roda?" Bi Mar mengangguk.
"Nona, jangan merasa takut dengan tuan Son. Dia sebenarnya pria yang baik hanya saja ada sebuah masa lalu yang membuatnya menjadi sangat emosional seperti saat ini." Bi Mar tahu apa yang dia pikirkan. Sania takut jika kehidupan nanti setelah menikah dengan pria itu, hidupnya akan semakin tersiksa. Merawat pria buta yang tempramental.
"Tapi Son sepertinya tidak mau dinikahkan, dia bahkan marah," ujar Sania. Bi Mar pun tidak dapat menjawab. Dia tidak tahu apa yang sedang Math rencanakan pada putranya Son. Jelas-jelas putranya belum bisa melupakan masa lalunya.
***
Telah duduk dua orang pria dengan pandangan mata yang berbeda. Keduanya seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ayah, sebenarnya apa yang sedang Ayah rencanakan? Kenapa Ayah ingin menikahkan Son dengan wanita asing?" Rico menatap Ayahnya yang sedang duduk di kursi besarnya.
"Dia memang ingin menikah dari dulu, kan? Apa ada yang salah?" jawab Math dingin.
"Tapi Yah, Son tidak mencintai wanita itu. Itu hanya akan membuat wanita itu tersiksa jika pernikahan itu benar terjadi." Rico tahu sifat Son, jika dia tidak menyukai sesuatu dia akan terus membencinya.
"Diam lah, Rico. Pernikahanmu dengan Keyla akan dilakukan setelah acara pernikahan Son. Urus saja pernikahanmu dengan Keyla." Rico yang tidak terima dengan ucapan sang Ayah langsung keluar dari ruangannya. Dia seperti tidak dibolehkan mencampuri urusan Son dengan Ayahnya. Padahal dia hanya ingin tahu alasan Ayahnya tiba-tiba ingin menikahkan adiknya dengan seorang wanita.
Langkahnya menuju pada sebuah kamar yang sudah lama tidak dia kunjungi. Kamar yang suasananya begitu gelap dan dingin.
"Siapa?" Son yang sedang duduk di atas ranjang mendengar pintu kamarnya dibuka. Harusnya dia kunci pintu itu, tapi sang Ayah sengaja membuang kunci kamarnya. Agar siapa pun bisa mengecek kamar Son dan keadaan Son.
"Ini kakak, Son." Rico berjalan mendekat. Son memalingkan wajahnya. Dia sangat membenci saudara-saudaranya. Harusnya dia tidak berada di rumah ini, "apa kabarmu, Son?" Ditatap baik-baik wajah adiknya. Tak ada senyuman atau pun kebahagiaan yang terpancar dari matanya yang buta. Son pria yang tampan, bahkan mengalahkan ketampanan saudara-saudaranya. Tapi sekarang penampilan Son berubah, tak serapi dulu.
Tak ada jawaban dari Son. Dia terus diam dengan pandangan kosong. "Kakak, sebentar lagi akan menikah dengan Keyla. Tapi kata Ayah, kau dulu yang akan menikah. Hmm ... baik lah kakak mengalah demi kau, Son," ujarnya sambil terkekeh.
Tangan Son mengepal erat, walaupun Son sangat tidak menyukai saudaranya tapi dia tidak pernah berani memukul mereka.
"Kak Rico, kakak dipanggil Ibu." Suara Darien mengagetkan mereka berdua. Rico langsung menengok ke arah belakang. Rico perlahan mengangguk dan berpamitan pada Son yang tetap tidak mau melihat ke arahnya.
Sesaat setelah kepergian Rico, Darien dengan ragu menghampiri adiknya. "Apa yang ingin kau katakan?" Son menyadari Darien mendekat. Keduanya memang sering berselisih paham sejak masih kecil, Rico lah yang menjadi penengah mereka dulu. Setelah beranjak dewasa pun mereka tidak pernah saling menyapa. Hanya ada kebencian dan kebencian.
"Lupakan Vennie. Dia sudah bahagia di surga. Dan buka lembaran baru dengan calon istrimu. Berhenti merepotkan kami semua. Ayah setiap hari kepikiran dengan keadaanmu, jangan terus menerus membuatnya khawatir. Ayah sudah tua." Darien yang mandiri juga Darien yang dewasa. Dibalik sikapnya yang kasar, Darien nyatanya peduli.
BRAKK!!!
Pintu ditutup Darien dengan kencang. Sebagai seorang kakak, dia juga merasa khawatir dengan keadaan adiknya. Harusnya Son tidak harus menjadi buta, jika dia bisa menerima semua takdir yang telah terjadi. Harusnya dia tidak perlu menghukum diri sendiri hanya untuk menebus kesalahannya. Harusnya dia mau hidup dengan normal tanpa harus merepotkan orang lain.
"Namanya Sania ...." Son mengingat nama yang diucapkan Ayahnya tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Radi
mengapa Son begitu benci dengan keluarga nya. sifatnya sungguh buruk .
2023-10-06
1
Rod Mah
semangat sania..
2022-10-14
3
Aqila Nurul
semangat snia apapun yang terjdi bersbarlah pasti ada terang nya, lma2 nanti jga bucin son ama sania
2022-08-28
1