Pandangannya lurus ke depan. Menjangkau sebuah tempat yang sudah lama tidak dia kunjungi. Bukan karna dia tidak punya waktu atau pun malas untuk datang. Tapi karna dia takut, takut jika dia tidak mau pulang. Rasanya berada di tempat ini adalah yang paling nyaman, walaupun bagi sebagian orang tempat ini menyeramkan.
"Nona Sania?" Seorang pria tua yang wajahnya keriput, tersenyum sambil menyebut namanya. Sudah lama mereka tidak berjumpa. Tapi pria tua itu masih saja mengenalinya.
"Pak Raju, bagaimana kabar Bapak?" Sania begitu sumringah bisa melihat Pak Raju si penjaga makam.
"Baik, Nona. Nona Sania baru kelihatan. Sepertinya sudah lama tidak ke sini?" tanyanya.
"Iya, Pak. Bapak tahu sendiri kalau saya sudah di sini pasti tidak mau pulang." Pak Raju adalah satu-satunya orang yang selalu membujuknya untuk segera pulang. Dulu saat Sania sudah berjam-jam bahkan hampir saja satu hari di makam. Sania terus menangis dan bahkan tertidur. Pak Raju lah yang membawakan makanan dan minuman. Kalau bisa pun Sania lebih memilih tinggal di sini daripada di rumah Paman dan Bibinya yang seperti neraka.
"Itu dulu. Saya kira sekarang Nona Sania sudah jauh lebih dewasa." Sania mengangguk dan berpamitan untuk menuju makam Ayah dan Ibunya.
Setelah mendapat ijin dari Ayah mertua, dia langsung ke sini. Dia tidak punya banyak waktu, karna dia harus segera pulang. Mengurus suaminya, yang kini menjadi tanggung jawabnya.
"Pagi, ayah, ibu. Maafkan Sania yang sudah lama tidak mengunjungi ayah dan ibu. Tapi Sania selalu berdoa agar ayah dan ibu bahagia di surga. Kalian pasti sudah tahu, Sania sekarang sudah menikah. Iya, menikah. Mungkin ini menjadi jalan satu-satunya agar Sania bisa keluar dari rumah paman Raul dan bibi Lotus. Maafkan Sania, mungkin jika ayah dan ibu masih ada, kalian tidak akan merestui Sania menikah. Tapi percaya lah, Sania bisa mencapai kebahagiaan Sania sendiri. Ayah mertua dan ibu mertua Sania, mereka kelihatannya orang baik. Mereka memperlakukan Sania dengan baik seperti ayah dan ibu." Tak terasa air mata Sania mengalir dengan deras. Sudah bertahun-tahun Sania hidup sebatang kara. Tak mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Tapi Sania tetap mensyukuri apa yang sudah ditakdirkan untuknya.
"Nona, Anda harus segera pulang." Pak Sopir tiba-tiba mendatanginya saat Sania sedang menangis haru. Dia langsung berdiri sambil mengangguk. Sania memang tidak bisa lama-lama keluar rumah, apalagi setelah mendapat amanat dari Tuan Math.
"Sania, menantu pertamaku. Saya berharap banyak denganmu. Semoga saja pilihanku untuk menikahkan mu dengan putraku Son, adalah pilihan yang tepat. Jadi lah istri yang selalu ada untuk putraku, jadi lah istri yang selalu sabar dan jadi lah istri yang pengertian. Buatlah anakku Son, menjadi pribadi seperti dulu lagi. Saya tahu hatinya tidak mati, hatinya hanya beku. Saya harap kamu bisa mencairkannya kembali. Juga kembalikan keceriaan dia yang dulu." Kata-kata Tuan Math yang diucapkannya tadi pagi.
"Nona, Anda darimana saja? Tuan Son belum makan pagi juga belum minum obat. Tuan Math telah melarang saya untuk menyiapkan segalanya untuk tuan Son. Katanya ini sudah menjadi tugas Nona Sania." Bi Mar begitu khawatir. Walaupun dia sendiri terkadang tidak bisa menjamin Son akan makan, tapi setidaknya Son akan minum obat tepat waktu.
"Maafkan saya, Bi." Sania langsung bergegas menyiapkan makanan dan juga obat yang harus diminum suaminya. Sebenarnya Son tidak lah sakit, dia hanya diberi obat penenang agar emosinya terkontrol juga berupa vitamin.
Perlahan Sania membuka pintu kamarnya. Son saat ini sedang duduk di kursi roda. Matanya terpejam dengan kursi roda menghadap ke jendela. Angin berhembus dengan pelan menerpa rambutnya bagian depan.
"Tampan sekali," batinnya. Dia berhenti tepat di samping suaminya. Son yang menyadari ada seseorang yang mendekat pun membuka matanya.
"Siapa?" Suara Son begitu menggelegar.
"Aku Sania, istrimu," jawab Sania.
"Pergi!" Begitu mendengar nama itu, Son langsung berubah raut wajahnya. Dia tampak tidak suka. Pernikahan macam apa ini. Tidak ada cinta di antara mereka. Son juga tidak tahu sosok wanita yang ada di hadapannya saat ini.
"Kau belum makan juga belum minum obat. Setidaknya sebelum aku pergi, kau harus makan beberapa suap." Sania berusaha menyuapinya, ia tempelkan sendok ke mulutnya yang tertutup.
Son ingin menangkis sendok yang disodorkan oleh Sania, tapi ternyata wanita itu sudah lebih dulu berjaga-jaga. "Jangan membuang-buang makanan. Kau ini tidak tahu berapa banyak orang yang kelaparan di luar sana. Kau harusnya bersyukur masih bisa makan enak. Masih bisa merasakan yang namanya nasi. Kau—"
"Diam! Apa kau ke sini hanya untuk berpidato? Aku tidak mau makan dari tanganmu!" Sania yang paham pun langsung memberikan nampan yang berisi makanan ke atas pahanya.
"Baiklah. Makan lah dengan baik. Jangan pernah membuangnya atau pun melemparnya." Sania pun terdiam saat Son mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Sudah kenyang!" Son menjauhkan nampan itu dari sisinya. Sania dengan sigap meletakkannya ke tempat yang aman. Walaupun terhitung hanya tiga suap saja yang masuk ke dalam mulutnya, tapi tidak apa lah. Setidaknya ada asupan gizi yang masuk ke dalam tubuhnya. Lalu dia mengambilkan minum dan juga obat yang harus dikonsumsinya.
"Setelah ini kau istirahat lah. Aku akan kembali nanti saat makan siang." Sania berpamitan untuk keluar kamar. Son yang tidak peduli langsung menuju ranjang dengan meraba-raba sendiri.
"Aku ini istrimu tapi merangkap sebagai pelayan," gerutunya saat keluar kamar.
"Nona, apakah tuan Son mau makan dan minum obat?" tanya Bi Mar yang melihat Sania berada di dapur.
"Sudah, Bi. Walaupun dia hanya makan beberapa suap, tapi dia mau makan juga," ujar Sania senang.
Bi Mar terdiam, baginya mudah sekali Sania menyuruh Tuan Son makan. Sedangkan dia, pasti ada saja yang Tuan Son lakukan. Pakai drama lempar piring segala atau pun selalu mengusirnya.
"Nona, Anda hebat. Anda bisa membujuk tuan Son untuk makan dan minum obat. Apa tadi tuan Son tidak mengamuk?"
"Mengamuk? Dia hanya buta, kan? Bukan gila?" Sania terheran, kenapa semua pelayan di sini terlihat ketakutan saat menghadapi Son.
"Bukan kah kali pertama pertemuan Anda dan tuan Son, dia juga mengamuk, Nona?"
"Tidak, Bi. Suamiku hanya terkejut, saat tiba-tiba dia disuruh menikah denganku. Mungkin dia belum juga terlalu mengenal aku." Sania mencoba membela suaminya. Seburuk apa pun tanggapan semua orang, dia harus menjadi pelindung suaminya. Tak ada yang boleh menjelek-jelekkan suaminya. Son tetap lah manusia. Sania yakin Son bisa berubah.
***
Selamat Pagi dan Selamat beraktivitas.
Mohon maaf sekali karna aku sudah menghilang untuk beberapa waktu. Sekarang aku muncul lagi untuk melanjutkan rasa penasaran kalian tentang cerita Son dan Sania..
Semoga Happy....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Rod Mah
boleh lah ceritanya
2022-10-14
3
Debbie Teguh
semangat sania, kayaknya muka sania nih mirip vennie jd math pilih sania buat son, mungkin yaaa asbak aj
2022-09-18
2
Aqila Nurul
jngan menyerah sania sbar2
2022-08-28
2