Hanya ada dua orang saja yang berada di meja makan. Ibu Luzi dan putra keduanya-Darien.
"Bu, di mana Son dan Sania? Juga Paman Leo, mereka tidak kelihatan sejak aku pulang dari tadi." Darien meletakkan sendoknya dan beralih menatap Ibunya.
"Mereka sedang pergi entah kemana, sudah sedari tadi siang." Luzi balik menatap putra keduanya. Ada sebuah kesedihan yang tersirat di matanya. Rico yang telah menikah kini sudah tidak tinggal bersamanya lagi. Son juga sudah menikah. Dan sekarang tinggal lah Darien. Dia takut kehilangan sosok putra-putra kesayangannya. Walaupun tidak bisa dipungkiri, mereka bertiga sudah beranjak dewasa semua. Mereka berhak menentukan pilihan kehidupannya ke depan. "Darien, kapan kamu mau menikah?" Darien melototkan ke dua matanya dan tak berlangsung lama ia pun tertawa.
"Ibu, pertanyaan macam apa itu." Darien tak menghentikan tawanya. Belum terbesit di pikirannya untuk menikah. Dia sedang merasa enjoy dengan kegiatannya sekarang.
"Darien, kau sudah dewasa! Kau harus segera memilih pendamping hidup. Lihat lah, Ibu sudah tua. Ibu tidak bisa menemanimu terus-menerus. Bangkit lah dan memulai lah menjalin hubungan lagi dengan wanita," tutur Luzi. Dia tahu bahwa Darien pernah kecewa dengan kekasihnya dahulu dan mungkin itu yang menyebabkan Darien lama untuk menjalin kisah cinta lagi.
"Jangan bahas itu, Bu." Darien nampak tidak berselera makan lagi. Dia meninggalkan meja makan setelah berpamitan dengan Ibu Luzi.
***
"Cantik." Suasana salon yang tidak begitu ramai, menyita seluruh karyawan salon yang sedang bersantai. Mereka mengerubungi seorang gadis muda yang baru saja selesai di potong rambutnya. Dia nampak berbeda pada saat tadi datang.
"Nona, Anda keliatan beda. Sangat cantik." Pujian terus mengalir untuknya. Gadis itu hanya tersenyum canggung menanggapi berbagai pujian yang tertangkap di indera pendengarannya.
"Sayang sekali Nona sudah menikah, kalau belum mungkin aku ingin mendekati Nona," godanya salah satu karyawan cowok.
"Huuuuuuuu." Sorakan para karyawan salon memenuhi ruangan. Salah satu karyawan yang terkenal genit mencoba menggoda Sania.
"Umur Anda berapa, Nona? Anda keliatan masih sangat muda." Pertanyaan dari karyawan yang baru saja memotong rambutnya membuat Sania ragu untuk menjawab. Pasti mereka akan merasa terkejut dengan umurnya. Karna umurnya masih terlihat muda untuk seseorang menikah.
"Nona, Tuan sudah selesai. Anda tunggu saja di mobil." Kedatangan Paman Leo membuat mereka semua akhirnya membubarkan diri. Sania merasa lega, karna secara tidak langsung dia tidak sempat menjawab pertanyaan dari mereka.
"Saya permisi, terima kasih." Sania pamit sambil tersenyum ke arah mereka semua.
Sesaat setelah Sania keluar, Son datang dari ruangan khusus menggunakan kursi roda.
Seorang pria yang buta duduk di kursi roda dengan tenangnya. Wajah rupawannya kini terlihat, tak lagi tertutup oleh rambut yang gondrong.
"Ta, apa jantungku masih aman?" Karyawan wanita menyuruh temannya untuk memegangi dadanya. Dia merasa terpesona pada sosok laki-laki buta itu.
"Aman, aman. Ingat! Dia sudah menikah!" Temannya mencoba membuat sadar.
"Mereka memang sangat serasi. Cantik dan ganteng!" pujinya lagi.
Tak butuh lama Sania menunggu di dalam mobil. Terlihat Paman Leo dan Son keluar dari Salon.
"Son ..." Sania membelalakkan matanya. Ditatapnya terus menerus sosok suaminya. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Son begitu tampan hari ini. Tampannya melebihi saat dulu mereka menikah. Dia begitu sangat beda sekarang.
Kulitnya yang putih bersih juga badannya yang tegap, membuat sempurna untuk seorang laki-laki. Di tambah wajahnya yang sangat rupawan. Dia benar-benar seperti malaikat. Tapi sayang sekali, perilakunya tidak mencerminkan seperti malaikat.
"Setelah ini kita mau kemana lagi, Tuan?"
"Pulang!" tegasnya.
"Tuan, apa sebaiknya kita beli buah tangan dulu untuk nona Sania di rumah? Nona pasti menunggu kepulangan Tuan dengan sabar," usulnya kemudian.
Suasana mendadak hening, bertepatan lampu merah dan mobil pun berhenti. Cukup lama Son diam dan akhirnya dia menjawab.
"Pulang saja! Tidak penting." Begitu lah jawabannya. Jawaban lama yang sudah ditunggu sedari tadi. Sania hanya bisa menghela napasnya. Son sama sekali tidak memikirkan dirinya. Rasanya dia ingin turun saja dari mobil, dari pada harus semobil dengan laki-laki tidak punya hati sepertinya.
***
Bukan ruangannya yang terlihat gelap tapi suasananya. Kebanyakan orang akan mengatakan bahwa berada di kamar adalah tempat kenyamanan nomer satu. Tapi itu tidak berlaku untuk Luzi. Dia merasa tidak nyaman berada di ruangan itu.
"Apa yang kau lakukan seharian ini?" tanya seorang pria yang sangat dia cintai dari awal pertemuannya dahulu.
"Tidak banyak yang aku lakukan kecuali merawat tanamanku." Luzi menyisir rambutnya, sedikit merapikan rambutnya dan berhias. Itu yang selalu dia lakukan saat menjelang tidur. Tidak seperti wanita lain yang akan menghapus make up-nya menjelang tidur, Luzi malah berdandan. Dia ingin setiap saat terlihat cantik di depan suaminya.
"Bagaimana perkembangan Son setelah kedatangan Leo?" Saat berbicara, Math tak pernah memandang Luzi. Dia sibuk dengan ponselnya atau pun dengan yang lain. Melepaskan kancing kemejanya dan melemparnya begitu saja. Semuanya terlihat berantakan.
"Dia akhirnya mau keluar rumah lagi tapi bersama Leo." Akhir-akhir ini Luzi memang tidak mendatangi Son. Dia sebenarnya merindukan sosok Son kecil yang selalu manja dengannya. Tapi sekarang sikap Son berubah. Luzi tak bisa berbuat banyak selain bersabar.
"Aku akan memberikan Son rumah baru. Dia tidak bisa terus menerus tinggal di rumah ini. Mereka harus mandiri."
"Untuk apa? Aku tidak bisa jauh-jauh dari putraku. Son masih membutuhkan kita, dia sedang tidak baik-baik saja." Luzi sangat tidak setuju. Emosi Son masih belum stabil. Jika dia tinggal di rumah bersama Sania saja, bisa jadi ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Dia sangat mengkhawatirkan Son juga Sania.
"Diam lah, Luzi! Sudah berkali-kali aku bilang, jangan ikut campur! Aku tidak meminta persetujuanmu. Diam lah! Aku ayahnya, dan aku tahu mana yang terbaik untuk anakku!"
Math langsung masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Luzi yang tiba-tiba bersedih. Air matanya jatuh perlahan mengenai pipinya. Hatinya begitu sakit saat Math tak pernah mendengarkan pendapatnya. Bahkan tak sekalipun Math bersikap lembut kecuali di depan anak-anaknya.
"Kenapa aku tidak bisa membencimu," lirihnya sambil memegangi dadanya yang sesak.
Air yang mengalir dari shower membuat seluruh tubuhnya basah. Dia memejamkan matanya sejenak. Banyak hal yang sedang dipikirkannya sekarang. Math rasanya ingin berteriak. Mengeluarkan seluruh keluh kesahnya selama ini. Sebuah keinginan yang sangat ingin terkabul adalah melihat Son bisa melihat kembali. Sedih rasanya melihat putranya menjadi suka murung. Tapi apalah daya, Son sangat keras kepala.
Dan tiba-tiba dia teringat akan sosok Luzi, istri yang sudah menemaninya bertahun-tahun lamanya. Saat berbicara memang Math jarang memandang wajahnya, tapi diam-diam saat Luzi tertidur, dia memandangi wajah Luzi tanpa berkedip.
"Kenapa aku tidak bisa mencintaimu," batinnya heran.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Imaz Ajjah
rahasia apa yg ad di antara mereka..masih penasaran tp ngg mau loncat" ahh bacanya...
2024-02-11
1
Else Widiawati
dan kenapa son begitu membenci ibu luzi??
2022-08-11
1
Else Widiawati
aku heran kenspa math ngga bisa menghargai istrinya.. kenaoa disaat berdua dia acuh , beda saat didrpan ank2nya?? masih misteriii
2022-08-11
1