Acara pernikahan yang tidak begitu meriah. Hanya dihadiri oleh keluarga inti dan beberapa saudara dekat. Tidak ada teman atau siapa pun selain keluarga yang datang. Gaun putih dengan ekor panjang membuat tampilan gadis belia yang masih 18 tahun terlihat sangat anggun. Sania tampak cantik dengan tudung putih yang menghiasi kepalanya juga riasan yang begitu cantik.
Setelah upacara pernikahan selesai, Son yang duduk di kursi roda dibawa oleh seseorang entah kemana. Sania berdiri sendiri dan tak lama kemudian dihampiri oleh Ibu Luzi.
"Sania, ayo ikut Ibu." Sania sudah mengenal Ibu Luzi yang tak lain adalah Ibu dari suaminya. Math terlihat sedang berbincang dengan Paman Raul, mereka nampak begitu akrab.
"Sania ...." Dari arah belakang ada seseorang orang yang memanggilnya. Ternyata Maria, dia berjalan mendekat.
"Siapa dia?" tanya Ibu Luzi.
"Dia Maria, sepupuku." Luzi pun meninggalkan mereka berdua.
"Sania, selamat ya atas pernikahanmu dengan pria buta," lirihnya saat mengatakan buta. Sania tahu ini akan terjadi, Maria akan menghinanya dan mengoloknya karna mau menikah dengan pria buta, "ternyata Tuhan adil ya. Dia memberikan jodoh yang cocok untukmu. Aku doakan semoga pernikahanmu langgeng." Maria pun tertawa diakhir katanya. Sania pun geram, tapi dia harus menjaga emosinya di sini.
***
Malam pertama bagi sepasang pengantin yang baru saja menikah. Masih ingat betul saat acara pernikahan yang tak ada senyuman sama sekali di bibir kedua mempelai.
"Sania ...." Entah sejak kapan Ibu Luzi masuk ke dalam kamarnya. Sania yang sedang menghapus make up di depan meja rias, terkejut dengan kedatangannya.
"Ibu ...." Wajahnya yang teduh dan selalu tersenyum membuat Sania merasa nyaman di dekatnya. Mereka baru saja berbincang hari ini, tapi Ibu Luzi membuatnya sangat nyaman.
"Ibu, berharap banyak denganmu, Sania. Semoga saja kau bisa membuat Son menjadi sosok pria yang periang seperti dulu." Banyak hal yang Sania belum ketahui tentang sosok Son. Masa lalunya bagaimana, apa yang menyebabkan dia buta. Hingga apa yang membuatnya menjadi seperti ini.
"Ibu, bolehkah aku bertanya satu hal denganmu?" Ibu Luzi tersenyum lalu mengangguk. Dia merasa sosok Sania adalah gadis yang baik, walaupun usianya yang masih belia tapi dia bisa melihat bahwa Sania sosok wanita yang dewasa.
"Kenapa Son tidak mau operasi mata?"
"Son sedang menghukum dirinya sendiri. Karna menurutnya, karna dirinya lah yang menyebabkan tunangannya meninggal. Son waktu itu satu mobil dengan Vennie, dan Son sengaja mengendarai mobilnya terlalu kencang hingga kecelakaan pun terjadi. Son sempat kritis tapi nyawanya tertolong tapi matanya buta. Sedangkan Vennie meninggal di tempat." Matanya memerah saat menceritakan kisah sedih itu. Dia yang melihat betapa sedihnya Son saat kehilangan Vennie.
"Cepat lah bersihkan tubuhmu. Son sebentar lagi akan ke sini." Ibu Luzi berpamitan, satu kecupan mendarat di keningnya. Hatinya bergetar saat Luzi memperlakukannya dengan manis. Dia teringat dengan mendiang ibunya. Dengan cepat dia menghapus air matanya yang turun, masuk ke dalam mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Cukup lama, Sania duduk di atas ranjang menunggu suaminya datang. Tak dapat dipungkiri sosok suaminya memang tampan. Saat upacara pernikahan tadi Sania bisa melihat ketampanannya dari dekat. Tapi wajahnya tidak bersahabat sekali, pria itu tak sedikit pun mengembangkan senyumannya.
Jam menunjukkan pukul 11 malam. Mata Sania masih terjaga. Dia ingin tidur tapi takut jika sewaktu-waktu Son akan datang, dia buta tidak mungkin Sania membiarkan dia sendirian memasuki kamar dengan meraba-raba. Takut jika suaminya membutuhkan sesuatu.
Pintu kamar pun terbuka, seorang pria duduk di kursi roda dengan seorang pelayan yang mendorongnya.
"Selamat malam dan selamat beristirahat, Nona, Tuan." Pelayan itu beranjak pergi. Meninggalkan Son yang masih duduk di atas kursi roda. Sania tak hentinya memandangi Son. Dia ingin membantunya bangun dan naik ke atas ranjang, tapi dia masih takut.
Son bangun dengan sendiri dan naik ke atas ranjang. Tapi tak sengaja kakinya terbentur oleh ranjang. Suaranya begitu keras, dia yakin Son pasti kesakitan.
"Apa kaki mu sakit?". Sania dengan sigap memegang betisnya. Tapi langsung ditepis kasar oleh Son.
"Singkirkan tangan kotor mu!" Suaranya yang begitu menggelegar membuat Sania terjingkat kaget.
"Kaki mu pasti sakit." Sania masih berusaha untuk mengecek betisnya. Walaupun Son berkali-kali menepis tangannya dengan kasar.
"Lepas!" Kali ini Son mencengkram erat pergelangan tangannya. Hingga tak sadar membuatnya kesakitan, "apa kau tuli? Aku sudah katakan singkirkan tanganmu. Aku tidak mau kau menyentuhnya. Kau hanya wanita penggoda!" Son menghempaskan tangan Sania begitu saja. Kata-katanya sungguh menyakitkan. Son berpikir Sania hanya lah penggoda. Jika bukan karna harta, untuk apa seorang wanita mau dinikahkan dengan seorang pria seperti dirinya.
Sania terdiam cukup lama, ini adalah malam pertama baginya. Tapi ini pertama kalinya juga dia diperlakukan kasar oleh seorang pria. Walaupun Paman Raul selalu bersikap tidak adil padanya, tapi beliau tidak pernah memukulnya atau main kasar.
Sesaat air matanya turun. Tidak tahu apa alasannya. Dia merasa bingung sendiri. Apa keputusan yang telah dia ambil adalah benar atau tidak. Ini bukan lagi awal perjalanannya, dia sudah melakukan setengah perjalanannya. Dia sudah menikah, sudah menjadi milik seseorang. Mau tidak mau, dia harus tetap menjalani kehidupannya sampai akhir dengan pria pilihannya.
"Ayah, Ibu ...." Sania memanggil kedua orang tuanya dalam hati. Berkali-kali hingga dia terlelap juga.
***
Tok!
Tok!
Tok!
Sania perlahan membuka kedua kelopak matanya. Badannya terasa letih setelah acara kemarin. Dia berjalan dengan lemas menuju pintu.
"Selamat pagi, Nona. Anda dipanggil oleh Tuan Math." Saat melihat jam dingin terlihat masih pagi sekali. Entah apa yang ingin Ayah mertuanya katakan padanya.
"Aku belum mandi. Aku ingin mandi dulu."
"Tidak perlu, Nona. Tuan Math hanya ingin bertemu Anda sebentar sebelum berangkat ke luar negeri."
"Ke luar negeri?" Sania dengan perasaan malu mengikuti langkah pelayannya untuk menuju ke ruang Math. Ruang yang pernah dia kunjungi dulu saat pertama kalinya menginjakkan kakinya di rumah ini.
"Nona, silahkan masuk. Saya akan menunggu Anda di sini," kata seorang pelayan wanita. Dia tersenyum dengan ramah dan Sania pun membalasnya. Walaupun dia merasa risih diperlakukan seperti ini, tapi setidaknya adanya pelayan bisa menjadi temannya di sini.
"Sania, kau baru bangun?" Math sudah berpakaian rapi. Wajahnya terlihat segar. Melihat Ayah mertuanya yang sudah rapi seperti itu, dia merasa sangat malu. Bagaimana mungkin seorang menantu jam segini baru bangun.
"Iya, Tuan. Maaf saya tidak bangun pagi. Seharusnya—"
"Tidak, Sania. Ini masih pagi. Dan ngomong-ngomong, saya ini sudah menjadi Ayah mertuamu jadi panggil saja saya dengan sebutan Ayah."
"Baik, Yah," jawabnya dengan masih canggung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Aqila Nurul
jangan terlalu kasar bbang son kasian
2022-08-28
2
Tole Tole
sabar ya Sania
2022-07-24
4
Risa Istifa
smg nanti berakhir bahagia..🤗🤗🤗🤗
2022-07-20
4