11 tahun yang lalu.
Hari ini aku pulang sekolah agak sore karena mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Pramuka di sekolahku terlebih dahulu. Dan seperti biasa aku akan pulang sendiri dengan menaiki sepedaku. Tidak seperti kedua adikku yang selalu diantar-jemput oleh Mama. Ya, mungkin karena jarak sekolah mereka berdua lebih jauh daripada sekolahku.
Badanku rasanya lelah, perutku juga sudah lapar. Tadi pagi aku terburu-buru, setelah menyelesaikan tugasku untuk mencuci piring aku justru lupa untuk membawa bekal makan siangku, padahal hari ini ada jadwal ekstrakurikuler Pramuka di sekolah. Huft, sialnya diriku, dasar pelupa.
Di tengah perjalanan pulangku, saat aku melewati jalanan yang sepi tiba-tiba saja ada beberapa anak nakal yang menghadang jalanku. Aku menghentikan sepedaku. Lima anak laki-laki yang terkenal cukup nakal di sekolahku. Mereka tadi juga bolos ekstrakurikuler Pramuka, makanya sekarang mereka sudah bisa ada disini.
Kelihatannya mereka berlima masih marah padaku. Dua hari yang lalu aku melaporkan mereka kepada guru karena mereka meminta uang dengan cara memaksa kepada beberapa orang adik kelas kami. Mereka pun dihukum oleh guru, bahkan orang tua mereka juga dipanggil oleh pihak sekolah.
"Mau apa kalian?" tanyaku berani.
Ya, Papa selalu mengajarkan kepada kami kalau kami tidak berbuat salah maka kami harus berani, siapa pun yang kami hadapi. Jangan tunjukkan rasa takut di awal, atau mereka akan semakin menindas kami. Aku selalu mengingat pesan dari Papa tersebut.
Lima anak laki-laki itu pun maju mendekat ke arahku. Aku masih bertahan di atas sepedaku. Tapi kemudian dua orang dari mereka memegangi kedua tanganku dan memaksaku untuk turun dari sepeda. Aku tertarik dan akhirnya turun dari sepedaku. Sepedaku terjatuh.
"Apa yang kalian inginkan? Lepasin aku," kataku dengan setengah berteriak.
Aku berontak, berusaha melepaskan diri dari cekalan dua anak laki-laki tersebut. Tapi sayang tenagaku tidak cukup kuat. Tiga orang anak laki-laki yang lain kemudian mulai mengambil balok kayu dan memukuli sepedaku. Aku berteriak dan semakin meronta-ronta. Tapi tetap saja aku tidak bisa melepaskan diriku.
"Hey, apa yang kalian lakukan? Berhenti. Jangan rusak sepedaku. Cukup. Hentikan!!!" teriakku histeris.
Air mataku sudah mengalir di kedua pipiku. Itu adalah sepeda hadiah ulang tahun dari Papa. Aku sangat menyayangi sepeda itu.
"Jangan. Hentikan," aku masih berteriak sambil menangis.
Seakan menulikan telinganya, ketiga anak laki-laki itu tidak mendengarkan teriakanku dan terus memukuli sepedaku. Bahkan mereka berlima justru tertawa dengan bahagia. Aku jatuh terduduk dengan kedua tangan yang masih dicengkeram erat oleh dua anak laki-laki tadi.
Namun tiba-tiba saja sebuah mobil berhenti di dekat kami. Seorang anak laki-laki turun bersama dengan sopirnya.
"Hei, apa yang kalian lakukan?" teriak anak laki-laki itu.
Eh, aku seperti mengenali suara anak laki-laki itu. Aku menolehkan wajahku dan memperhatikan wajah anak laki-laki itu dengan seksama. Pandanganku sedikit kabur karena terhalang oleh air mata. Ah, ternyata itu kak Syafiq, putra kedua Om Steven.
"Dasar anak-anak nakal. Bapak panggilkan polisi sekarang juga biar kalian semua dihukum," gertak sopir kak Syafiq.
Tiga anak laki-laki yang sedang memukuli sepedaku itupun berhenti. Begitu juga dengan dua orang yang memegangi tanganku. Mereka sudah melepaskan cekalan mereka di tanganku. Lima anak laki-laki itu saling berpandangan dengan wajah yang nampak ketakutan. Sadar mereka tidak akan mampu berurusan dengan orang dewasa, kelima anak laki-laki itu pun segera lari. Mereka kalang kabut berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
Kak Syafiq menghampiri diriku yang masih terduduk sambil menangis. Aku melihat sepedaku yang sudah rusak itu diangkat oleh sopir kak Syafiq untuk dipinggirkan.
"Kamu anaknya Om Bima kan?" tanya kak Syafiq yang sudah berjongkok di depanku.
Tak kuasa menjawab karena masih sesenggukan, aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai jawaban.
"Kamu nggak pa-pa?" tanya kak Syafiq lagi.
"Aku nggak pa-pa kok kak. Makasih," jawabku pelan masih sedikit terisak.
Kak Syafiq menghapus air mata yang membasahi wajahku. Tiba-tiba aku merasa deg-degan. Ada perasaan hangat yang aku rasakan di dalam hatiku. Belum pernah ada orang lain yang begitu perhatian kepadaku seperti ini.
"Lain kali kamu harus lebih berhati-hati lagi. Kamu itu cewek, sasaran yang paling mudah buat dijahatin sama orang lain. Jangan pernah pergi sendiri kalau kamu belum mampu melawan dan melindungi diri kamu sendiri," nasehat kak Syafiq padaku.
"Iya kak," lirihku sedikit tersipu.
Akhirnya aku diantar pulang oleh kak Syafiq dan sopirnya, karena sepedaku rusak cukup parah. Selama perjalanan pulang kak Syafiq menyuruhku untuk menceritakan semua tentang kejadian tadi. Maka akupun menceritakan semuanya dari awal, dari ketika aku melaporkan kelima anak laki-laki nakal itu kepada guru.
Kak Syafiq kemudian menyarankan aku untuk ikut latihan bela diri di markas. Kak Syafiq bilang supaya aku bisa menjadi lebih kuat lagi. Paling tidak aku bisa melindungi diriku sendiri ketika ada anak-anak nakal yang menggangguku lagi nanti. Kak Syafiq juga bilang kalau dia dan teman-temannya juga ikut latihan bela diri di markas. Bahkan kak Syafiq juga berjanji akan membantuku bicara dan meminta ijin kepada Papa.
Dan akhirnya Papa benar-benar mengijinkan aku untuk ikut latihan bela diri di markas. Hampir setiap hari, kecuali ada kegiatan ekstrakurikuler atau ada urusan penting lainnya, setiap pulang sekolah aku selalu berlatih bela diri di markas Om Steven bersama anak-anak yang lainnya.
Ada kak Alvin, kak Kenzie, kak Sammy, kak Jimmy, kak Nadirga, dan kak Lucky. Bahkan ada juga teman seusiaku, Tristan dan Dylan. Tapi sayang sekali aku justru tidak pernah bertemu dengan kak Syafiq ketika latihan. Kata Tristan, Bang Sean, kak Syafiq, dan Mas Rian memang jarang datang latihan di markas bersama dengan yang lainnya.
Bang Sean, kak Syafiq, dan Mas Rian memiliki tipe latihan yang berbeda dari yang lainnya karena kualifikasi mereka bertiga yang diatas anak-anak pada umumnya. Tiga pentolan dengan tiga nama panggilan yang berbeda. Itulah julukan mereka bertiga di markas. Kehebatan mereka memang tidak perlu diragukan lagi.
🌺🌺🌺
Kembali ke saat ini.
"Sena," panggil kak Syafiq mengagetkanku.
Aku sedikit terlonjak. Ah, ternyata aku melamun. Kenangan 11 tahun yang lalu itu kembali terbayang dalam ingatanku. Saat itu aku masih kelas 5 SD dan kak Syafiq kelas 3 SMP. Dan jujur saja, sejak saat itulah pertama kalinya aku mulai merasakan rasa suka kepada lawan jenis. Lebih tepatnya kepada kak Syafiq.
Awalnya aku kira itu hanyalah cinta monyet anak kecil yang akan hilang seiring berjalannya waktu. Tapi ternyata aku salah. Perasaanku itu tidak bisa hilang bahkan sampai sekarang. Meskipun kami jarang sekali berinteraksi secara intens seperti ini, tapi entah kenapa aku sulit sekali untuk menghilangkan perasaanku itu kepada kak Syafiq.
Dan ketika tadi aku melihat kak Syafiq menjemput Vira untuk pergi keluar berdua, entah kenapa ada perasaan sesak yang aku rasakan di dalam hatiku. Ada perasaan tidak rela, sedih, dan kecewa, yang tidak bisa aku jelaskan.
"Sena, kamu nggak pa-pa kan?" tanya kak Syafiq lagi.
Bodohnya aku yang kembali larut dalam pikiranku sendiri. Aku tersenyum simpul, menertawakan kebodohanku sendiri.
"Aku nggak pa-pa kok kak," jawabku.
"Kamu pucat," kata kak Syafiq.
Kak Syafiq mengangkat tangan kanannya dan langsung meletakkannya terbalik di keningku. Aku tertegun untuk sesaat. Punggung tangan kekar itu, kenapa rasanya nyaman sekali?
"Kamu demam Sena. Kamu sakit?" tanya kak Syafiq nampak khawatir.
Aku menggeleng pelan.
"Enggak kak. Aku nggak pa-pa kok."
"Ayo aku antar kamu pulang," kata kak Syafiq yang sudah menarik tangan kananku.
Aku menahannya. Kak Syafiq yang sudah membalikkan badannya pun akhirnya kembali berbalik menghadap ke arahku.
"Nggak usah kak. Aku naik motor aja," tolakku halus.
"Tapi kamu lagi nggak sehat. Kondisi kamu juga seperti ini. Kamu terluka Sena," kata kak Syafiq lagi.
"Enggak kak. Makasih sebelumnya. Tapi aku pulang sendiri aja naik motor. Aku nggak mau menyebabkan kesalahpahaman nanti," tolakku, kekeuh.
Kak Syafiq nampak mengernyitkan keningnya. Tapi sesaat kemudian dia membuang nafasnya kasar.
"Ya sudah, kalau memang itu mau kamu. Kamu naik motor, tapi aku akan ngikutin kamu dari belakang. Aku nggak mau terjadi sesuatu lagi sama kamu," kata kak Syafiq pada akhirnya.
Aku mengangguk pelan. Ah, seandainya saja saat ini kak Syafiq tidak sedang dekat dengan Vira, aku pasti akan merasa sangat bahagia menerima semua perhatian darinya ini.
Aku kemudian kembali menaiki sepeda motorku. Perlahan aku pun mulai melajukan motorku kembali. Dan seperti perkataannya tadi, kak Syafiq terus mengikuti di belakangku, memastikan keamananku. Sampai akhirnya aku tiba di rumah, baru kak Syafiq pamit untuk langsung pulang.
Aku sudah menawarinya untuk mampir terlebih dahulu, tapi dia menolaknya dan memilih untuk langsung pulang saja. Setelah mobil kak Syafiq menjauh pergi, aku pun kemudian melajukan sepeda motorku memasuki halaman rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
queen bngex
cinya yg dipendam itu bkin bengex
2022-06-03
3
🕊❤️WINNY💚ᴇ𝆯⃟🚀
fav sama cerita mama iin 💗
2022-05-23
2
SUMI 🐊🐊
apa nnt akan ada perselihan antara Sena dan Vira y
2022-05-22
2