Tepat sepuluh hari setelah aku siuman, aku kembali mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah menumpuk. Jayden dan Ayah lebih fokus pada urusan bisnis dan pengobatanku kala itu. Kertas-kertas tagihan di atas mejaku sudah menumpuk menjadi lima bagian.
Tanpa terasa, aku sudah tenggelam dalam kertas-kertas itu. Aku bahkan mengabaikan Isla yang duduk di dekatku. Dia membaca buku milik Ava. Dari ekspresinya, dia sangat suka dengan buku itu.
Berkat sihir yang diajarkan oleh Ava, aku dapat mendengar suara orang lain sampai jarak sepuluh meter. Telingaku dipenuhi oleh percakapan para penghuni rumah jika tidak mematikan sihir itu. Isla juga sudah membuat portal penghubung dengan Menara Serikat Sihir. Ava dan Lucas bisa pergi ke rumahku dengan sesuka hati mulai sekarang.
“Ada yang datang,” kata Isla tiba-tiba.
“Baiklah. Tolong antarkan buku itu kepada Ava agar bisa diduplikat. Aku harus mengembalikan duplikatnya ke perpustakaan,” pintaku pada Isla.
“Baik, Nona. Aku pergi dulu,” kata Isla sambil masuk ke ruangan bawah tanah.
Tak lama kemudian, pintu ruang kerjaku diketuk dari luar. Aku tahu jika itu adalah Ayah. Namun, ada orang lain di sampingnya. Idris.
Mau apa dia?
“Masuklah.”
Ayah masuk bersama dengan Idris. Sebelum pintu ditutup kembali, aku sempat melihat Jack dan dua pasukan berdiri di luar. Aku tersenyum saat menyambut Idris dan mempersilahkan mereka duduk. Layla masuk dan memberikan kami teh serta cemilan.
“Aku senang mendengar jika kondisi kesehatan Nona Winston telah membaik. Aku datang untuk melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” ucap Idris.
“Yang Mulia terlalu baik. Saya tidak tahu harus membalas kebaikan Yang Mulia dengan apa,” balasku sopan.
“Itu benar, Yang Mulia,” tambah Ayah.
Idris tertawa. “Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin kubicarakan dengan Nona Winston,” kata Idris. “Bulan depan adalah saat di mana akan diadakan sebuah Festival Bunga untuk menghibur Dewi Kebajikan setiap setahun sekali.”
Bodohnya aku. Aku lupa akan hal itu. “Lalu?”
“Aku ingin Nona Winston ikut berpartisipasi dalam Festival Bunga kali ini bersama para bangsawan kelas atas lainnya.” Idris menatapku dengan penuh harap.
“Tapi hanya bangsawan kelas atas setara Count sampai Duke yang biasanya ikut,” ucapku. Itu adalah faktanya.
“Aku bisa melihat potensi besar di dalam diri Nona Winston. Jika Nona ikut andil dalam festival kali ini, aku akan senang.” Idris tetap keukeh. Kekhawatiran Idris tentang jalannya festival ini juga memiliki dasar alasan yang jelas.
Tahun lalu, ada kekacauan yang dilakukan oleh para bangsawan kelas atas hingga membuat bunga-bunga yang seharusnya bisa berada dalam kondisi yang segar menjadi layu. Kaisar sempat murka dan suasana tegang di festival kala itu tidak dapat terhindarkan.
Tapi, menarikku dalam kondisi ini bukanlah sesuatu yang benar. Apa yang Idris rencanakan?
“Baiklah, Yang Mulia. Saya tidak bisa menolak permintaan Yang Mulia jika terus dipaksa,” sindirku.
“Yang Mulia, Charlotte baru saja bangun dari koma. Mungkin saja fisiknya belum kuat untuk melakukan pekerjaan berat,” ucap Ayah.
“Tak apa, Tuan Viscount. Nona Winston akan bekerja denganku di Kekaisaran.”
“Maaf?” Apa aku tidak salah dengar?
“Festival kali ini adalah festival terakhir untukku sebagai seorang Putra Mahkota. Aku ingin mengabadikannya secara lebih meriah,” jelas Idris. “Tangan kananku akan sibuk di lapangan dan aku memerlukan sekretaris sementara untuk membantuku di Istana.”
Idris sudah kehilangan akal sehat. Padahal aku sama sekali tidak akrab dengannya. Bahkan kami baru bertemu pertama kali pada saat aku datang ke kediaman Duchess Harriston. Mau apa dia? Sebegitu inginnya dia membuatku terjebak sebagai calon Ratu?!
“Baiklah ...,” kataku akhirnya. Akan repot jika terus-menerus menolak Idris.
“Untuk bahasan selanjutnya, ada hal penting yang ingin kubicarakan juga.” Idris menatapku serius. “Kejadian yang menimpamu di kota membuatku khawatir, Nona Winston.”
“Yang Mulia, itu kejadian yang sudah lama terjadi,” kataku sopan. Tidak ada yang perlu dibicarakan tentang hal itu. “Yang Mulia tidak perlu khawatir lagi.”
“Saat Nona Winston koma, aku sudah memutuskan sesuatu,” kata Idris. Idris berdiri dan mendekatiku. Perasaanku tidak enak ketika dia berlutut di depanku. Dia menggenggam tanganku tanpa ijin. “Nona Winston, apakah kau bersedia untuk menjadi pasangan hidupku?”
Dia melamarku?!
Aku melirik Ayahku yang sama sekali tidak kaget. Sebenarnya aku ingin menolak Idris, tapi bagaimanapun juga aku harus melakukan apa yang diminta Ava. Namun, tentu saja aku tidak mau langsung mengiyakan lamaran ini begitu saja.
“Yang Mulia, i-ini terlalu tiba-tiba,” ucapku dengan bertingkah pura-pura gugup.
“Aku tahu, Nona Winston. Tapi aku sudah tertarik padamu sejak pertama kali bertemu,” ungkap Idris. “Aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang, tapi tolong pertimbangkan hal ini.”
“Berikan saya waktu, Yang Mulia,” kataku.
“Bisakah kau memberikanku jawaban sampai saat festival berakhir?” tanya Idris.
Aku mengangguk.
Idris pun berdiri dan mencium punggung tanganku. Aku malu setengah mati pada diriku di masa lalu. Tidak, aku harus mengikuti alurnya terlebih dahulu.
“Baiklah, karena waktuku sudah habis, aku harus pergi dulu.” Idris menatapku. “Akan kukabari lagi soal persiapannya padamu, Nona Winston.”
“Saya akan menantikannya, Yang Mulia,” ucapku sopan.
“Viscount Winston, jangan lupa bisnis kita,” ucap Idris.
“Tentu, Yang Mulia,” kata Ayah.
Idris pun pergi meninggalkan kediaman kami menuju Kekaisaran. Aku duduk di kursi kerjaku dengan pikiran kusut. Ayah sempat berbincang denganku hingga akhirnya pamit pergi bersama Jayden. Layla juga memberikanku teh melati agar aku rileks lagi.
Kejadian hari ini berlalu dengan cepat. Aku sampai pusing karenanya.
“Wah, akhirnya kau dilamar juga, ya.”
Aku menoleh ke sebelah kiri dan mendapati Lucas yang keluar dari ruangan bawah tanah bersama Isla.
“Di mana Ava?” tanyaku.
“Bukankah kau harusnya senang karena aku datang berkunjung? Kenapa malah menanyakan Nenek Ava?” Lucas selalu saja mengejek Ava tentang umurnya.
“Aku senang kau datang, Lucas,” kataku.
“Apa dia menyentuhmu?” tanya Lucas.
“Uhm, sedikit?” Aku tersenyum canggung.
“Beraninya dia menyentuhmu,” kata Lucas dengan nada kesal.
“Yang Mulia, tenangkan dirimu,” pinta Isla yang kemudian mendekatiku sambil memberikan buku duplikat milik Ava. “Nyonya sudah selesai menduplikatnya.”
“Terima kasih, Isla,” kataku.
“Kau tidak mau berterima kasih padaku?” Itu suara Ava. Asalnya dari kristal ungu yang dia berikan padaku.
“Terima kasih, Nyonya Ava.”
“Hoho, itu bukan masalah besar.” Ava sepertinya sangat suka dipuji. “Dan Yang Mulia ..., aku dengar jika Anda memanggilku nenek.”
“Ya, kau kan memang sudah tua.” Lucas to the point.
“Yang Mulia, kau @#!##!$$@.” Untuk kepentingan bersama, makian Ava telah disensor.
Lucas sama sekali senang saat mengerjai Ava. Tanpa sadar aku tersenyum saat melihat Lucas tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
est
apa bisa ndak usah menikah ma idris ndak rela
2022-07-16
1
kayumanis
kirain Dy ga balik nikah,,, ckckckkc
2020-12-12
0
💞🌜Dewi Kirana
bagus thor lanjut
2020-05-29
2