__&&&&&&___
"Nih, lo coba satu dulu. Besok abis bangun tidur, coba lagi." Patricia menyerahkan sekantong plastik berisi lima buah testpack kepada Vallery.
Vallery menerimanya sedikit ragu, kedua matanya melirik Nick dan juga Patricia secara bergantian. Perasaannya mendadak ragu, ia merasa belum siap dan perlu waktu untuk melakukan tes tersebut. Haruskah ia melakukannya saat ini? Batinnya bertanya-tanya.
"Valle, dicoba!"
Suara Nick terdengar mengintruksi, dan berhasil memecah lamunan Vallery. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Patricia dan juga Nick secara bergantian. Tangannya secara reflek meremas plastik pemberian Patricia tadi. Kedua sahabatnya itu pun langsung mengangguk, berusaha untuk meyakinkan gadis itu agar tidak perlu ragu apa lagi takut. Seolah dihipnotis, Vallery pun mendadak yakin dan segera masuk ke kamar mandi. Meski tidak dapat dipungkiri jika perasaaan takut itu masih tetap ada.
"Kok lama, ya," guman Nick mulai bergerak mondar-mandir dengan gelisah.
"Sabar! Lo nggak usah berlagak kayak jadi suami yang lagi nunggu istrinya operasi caesar, deh. Lebay," gerutu Patricia yang sibuk dengan ponselnya. "Serius, ya, ini, gue tuh jadi curiga kalau lo tuh beneran naksir Valle deh," imbuhnya tiba-tiba.
"Lo aja yang buta," gerutu Nick pelan.
"Apa? Lo bilang apa barusan?"
Patricia tidak terlalu mendengar gerutuan Nick, karena fokus dengan ponselnya. Tapi samar-samar ia mendengar, kalau Nick mengatai dirinya.
"Enggak ada! Gue ulangin pun, lo belum tentu juga akan ngerti. Lo kan nggak peka," balas Nick dengan wajah judesnya.
Patricia menerjab bingung. Ia merasa aneh dengan kalimat yang diucapkan Nick barusan. Kenapa bawa-bawa tidak peka segala? Baru juga bibirnya terbuka untuk bertanya, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan Vallery keluar setelahnya. Membuat Patricia harus menahan rasa ingin tahunya tersebut untuk sementara.
"Gimana?" tanya Nick, kedua matanya melirik ke dalam kamar mandi sebelum akhirnya menatap Vallery.
Wajah Vallery tampak kacau. Dan gadis itu hanya menggeleng sebagai tanda jawaban. Kemudian memilih duduk di sofa.
Nick mendesah frustasi. Otaknya secara nasar berasumsi yang tidak-tidak. Sialan. Umpatnya kesal. Belum pernah ia merasa sekhawatir ini dalam hidupnya. Astaga, bagaimana kalau Vallery beneran...
"Gue cek dulu."
Patricia lalu mematikan ponselnya, dan bangkit berdiri memasuki kamar mandi Nick. Tak berapa lama gadis itu keluar dari sana.
"Gimana?" bisik Nick penasaran.
"Dua garis merah," balas Patricia ikut berbisik, lalu tangannya menyodorkan testpack yang sudah Vallery pakai.
"Gue beneran hamil," lirih Vallery sambil tersenyum miris.
Tatapan matanya kosong, wajahnya pun terlihat pucat dan juga kacau. Ia tidak menangis dan itu cukup membuat Patricia dan juga Nick semakin khawatir. Karena keduanya paham betul Vallery tipekal penganut konsep menangis tidak menyelesaikan masalah, tapi setidaknya itu membuat ia lega. Tanpa berpikir panjang, Patricia menghampiri Vallery, memeluk tubuh sahabatnya itu dengan erat.
"Gue bingung, Pat, sumpah! Gue musti gimana sekarang? Gue nggak ngerti, bahkan untuk sekedar nangis pun gue--"
"Ssst, sekarang yang penting lo tenang dulu! Enggak usah pikirin buat nangis atau apapun itu, oke?"
"Tapi gue--"
"Gue tadi sempet cari info di google, katanya waktu terbaik untuk mengetahui hasil testpack itu di pagi hari. Gue nggak tahu ini bener apa enggak, cuma kita coba lagi besok, ya, semoga hasilnya beda."
"Kalau hasilnya masih sama?"
"Gue bakalan temui dan hajar si bule Jawa lo," sambar Nick lalu ikut duduk di sisi kiri Vallery.
Patricia melotot tajam.
"Gue melakukan hal yang harus dilakukan cowok. Ya, sama kayak cewek."
"Sama kayak cewek gimana?" protes Patricia tak habis pikir.
"Ya, kayak nangis nggak menyelesaikan masalah, tapi bikin kalian lega. Kita para cowok pun gitu, meski nggak bisa menyelesaikan masalah, hajar orang seenggaknya bikin kita lega. Apalagi orang itu pantas dihajar."
Patricia berdecak gemas. Tidak sependapat dengan pola pikir Nick.
"Hajar orang bikin lo lega? Otak lo di mana sih, Nick?"
"Ya, di kepala lah. Emang lo, otak di deng--Akkhh, sakit, dodol!" pekik Nick saat merasakan pundaknya dipukul Patticia.
"Mulut lo tuh, ya!" geram Patricia kesal, "pake acara ngatain orang lagi. Mau lo apa sih?"
"Kalau gue jawab lo, lo mau apa?"
"Ha?" Patricia menerjap bingung.
"Udah, lupain! Sekarang udah malem ini, mending kalian pu--"
"Lo ngusir kita?" potong Patricia dengan wajah tersinggungnya.
"Iya. Puas lo!" balas Nick dengan wajah kesalnya dan meninggalkan ruang tamu.
Vallery hanya geleng-geleng kepala melihatnya, lain dengan Patricia yang sibuk menggerutu tidak jelas lalu mengajak Vallery pulang begitu saja tanpa pamit terlebih dahulu.
******
Vallery menghela napas pasrah saat melihat hasil testpacknya yang baru saja ia coba pagi ini. Pikirannya kalut. Ia tidak bisa berpikir jernih. Air matanya luruh begitu saja tanpa bisa dicegah, Patricia bahkan tak cukup bisa menenangkan perasaan kacaunya. Yang dilakukan gadis itu hanya memeluk tubuh Vallery, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.
"Hari ini lo boleh nangis sepuas lo, Valle. Tapi besok, nggak akan gue kasih izin. Gue janji bakal nemenin lo buat ketemu pria bule itu--"
"Gue bakal nemuin dia sendiri, Pat," sela Vallery sambil mengusap pipinya yang basah.
"Lo yakin?" tanya Patricia ragu.
Mencoba meyakinkan sang sahabat, Vallery mengangguk penuh keyakinan agar Patricia percaya padanya.
Setelah mengumpulkan keberanian, Vallery akhirnya menghubungi Lingga dan berniat untuk langsung memberitahunya.
Vallery tersenyum, menyambut kehadiran Lingga yang kini sudah terlihat berjalan menghampirinya.
"Maaf telat," sesal Lingga merasa tidak enak. "kantor agak sibuk, terus jalanan ma--"
"Jakarta kan memang selalu macet, jadi aku maklum," potong Vallery sambil tersenyum maklum. "ayo, duduk!" imbuhnya, mempersilahkan Lingga untuk duduk.
Lingga tersenyum sambil mengangguk. "Terima kasih," ucap Lingga sambil menarik kursi untuknya duduk. "Kamu apa kabar?"
Vallery mencoba memaksakan senyumnya. "Ya, seperti yang kamu lihat."
Lingga mengangguk paham. "Kamu udah pesen?"
Vallery menggeleng. "Aku juga baru nyampe."
Giliran Lingga tersenyum paham lalu memanggil pelayan. Tak lama kemudian pelayan mendekat ke arah mereka dan mereka memesan minuman. Lingga dengan Esspreso-nya sedang Vallery dengan Haselnut choco-nya.
"Sejujurnya aku cukup senang karena kamu akhirnya menghubungiku." Lingga meletakkan cangkirnya sembari tersenyum menatap Vallery lurus, "meski aku cukup khawatir juga kalau-kalau kamu mungkin akan membawa berita buruk," imbuhnya kemudian.
"Sebelumnya aku ingin minta maaf, karena benar, aku membawa berita buruk," ucap Vallery penuh penyesalan.
Hal ini membuat raut wajah Lingga mendadak menegang. Perasaannya tidak enak.
"Apa ini tentang malam itu?" tebak Lingga, menatap Vallery lurus. Gadis di hadapannya ini tampak gelisah, dan tentu saja hal ini menimbulkan berbagai asumsi di dalam otaknya.
"Vallery," panggil Lingga lembut.
Lamunan Vallery buyar. "Ya?"
"Apa aku telah menimbulkan kekacauan?"
"Tidak. Hanya saja--"
"Apa kamu hamil?" tembak Lingga terdengar tidak sabaran.
"Maaf."
Lingga menghela napas putus asa sambil menyandarkan punggungnya pada kursi. Bukan itu yang ingin ia dengar. Oke, perasaannya saat ini sedang campur aduk, antara bersalah, menyesal, bercampur rasa senang sedikit. Tapi ia juga kesal, kenapa gadis ini harus meminta maaf kalau jelas-jelas ia yang telah menghamilinya. Bukankah ini membuatnya terlihat seperti pria brengsek?
"Kenapa kamu yang meminta maaf? Jelas-jelas di sini aku--"
"Tapi aku yang menggodamu, kalau saja aku tidak melakukannya. Semua ini nggak akan terjadi. Aku minta maaf dan aku berjanji tidak akan meminta pertanggung jawaban darimu."
"Apa?" Lingga mendengkus tidak percaya. Ia juga tidak paham dengan sikap gadis ini, "kamu berencana membesarkannya sendiri? Tanpa aku? Kamu mau membiarkan anak kita lahir tanpa ayah? Kamu tega? Apalagi kamu masih terlalu muda, bagaimana kamu akan membesarkannya sendiri?"
Lingga menghela napas frustasi sambil membenarkan posisi duduknya. "Begini, Vallery, bukankah sikapmu saat ini aneh? Harusnya kamu memaki dan menyalahkanku, kenapa kamu bersikap begini? Kamu sengaja ingin membuatku terlihat seperti Om-om pedofil yang hanya mau enaknya saja? Begitukah pendapatmu tentangku?"
"Enggak, gitu. Maksud--"
"Enggak gitu? Lalu apa?"
"Aku hanya tidak ingin membebanimu karena kesalahan yang udah aku lakuin," lirih Vallery pelan. Namun masih cukup terdengar jelas di indera pendengaran Lingga.
"Kesalahan ini bukan cuma kamu yang ngelakuin, Vallery. Tapi aku juga, ini kesalahan kita, jadi harus kita berdua yang nanggung, bukan cuma kamu sendirian. Kamu ngerti?"
"Tapi?"
"Nggak ada tapi-tapian, mulai sekarang kamu tanggung jawabku. Eh, enggak, kalian maksudku. Aku berjanji akan menikahimu secepatnya."
"APA?!"
TBC,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Mak sulis
tuh kan doa kata kata adalah doa apalagi diucalkan seorang ibu...begitu juga dengan kata kata ibunya Lingga..jadi kenyataan kan anaknya DP duluan
2023-06-03
0
nanayas
naksirnya k patricia ya nick ,😄😄
2022-06-05
2
MiNIeL
cuma di novel aja yg abis nidurin trs hamil eh yg nidurin maksa pngen tanggung jawab..cba kl di dunia nyata kl gk si cwok lari ilang kemana kl gk si cewek di bunuh...
itulah indahnya dunia novel/komik
2021-11-23
4