...######...
"Bos Lingga sedang meeting, Bu," ucap Will, mencoba menahan Lidiya yang ngotot ingin menerobos masuk ke ruangan. Will tidak bohong demi mencegah Ibu dari bosnya ini agar tidak masuk ke dalam ruangan, ia berkata jujur, karena bosnya itu memang sedang membahas proyek baru mereka dengan Kepala Tim Perencanaan.
Tapi Lidiya tidak perduli, ia ngotot ingin masuk ke dalam ruangan putra sulungnya, meski tubuh Will kini sedang menghadangnya. Dengan gerakan gemas karena emosi yang sudah tak tertahan, ia akhirnya memilih untuk memukul kepala Will menggunakan tas jinjing mahalnya, membuat pria berumur dua puluh delapan tahun itu mengaduh dan sukses membuat Lidiya akhirnya masuk ke ruangan Lingga dengan mudah.
"Ibu!" desis Lingga dengan raut wajah tak percaya. Tak percaya dengan kelakuan wanita yang telah mengandung dan melahirkannya ini.
Bagaimana bisa Ibunya sebar-bar ini. Batin Lingga menahan malunya. Dilirik kedua karyawannya dengan pandangan tidak enak.
"Sepertinya meetingnya sampai di sini dulu. Kita bahas ini di pertemuan selanjutnya," ucap Lingga kepada kedua karyawannya ini.
Kedua karyawan Lingga mengangguk patuh dan mulai membereskan barang-barang mereka sebelum akhirnya undur diri. Sekarang hanya tinggal Lingga dan Lidiya. Dan juga Will di ambang pintu dengan wajah meringis karena merasa bersalah. Bibir pria itu bergerak mengucap kata 'sorry' tanpa suara. Yang hanya dibalas Lingga dengan anggukan malas dan lambaian tangan. Mengintruksi agar Will segera melanjutkan pekerjaannya.
"Kamu senang sekali ya, bikin Ibu malu," ketus Lidiya penuh emosi. Kedua matanya menatap putra sulungnya dengan nyalang, napasnya memburu karena menahan emosi. Ia melahirkan Lingga dengan susah payah karena Lingga lahir dengan posisi sungsang. Dan justru begini balasan yang didapatkan. Jelas Lidiya tidak terima.
"Duduk dulu, Bu, aku minta Ujang buatkan teh buat Ibu," ucap Lingga mencoba untuk tetap tenang. Ia hendak menggapai ganggang telefon, tapi urung karena suara Lidiya.
"Tidak perlu. Ibu ke sini nggak mau ngeteh, tapi mau marahin kamu."
"Oke."
"Apa?! Kamu meledek Ibumu? Are you kidding me?" pekik Lidiya mulai meradang. Kedua mata coklatnya menatap makin tajam ke arah Lingga, membuat pria itu menghela napas dan beranjak dari kursi kebanggaannya.
"Enggak, Bu," balas Lingga kalem.
"Kamu jangan mentang-mentang CEO jadi bisa seenaknya, Lingga, Ibu nggak suka. Ibu ngelahirin kamu dengan susah payah, meski semua Ibu memang bersusah payah buat melahirkan anaknya, tapi situasi Ibu beda saat melahirkan kamu. Kamu--"
"Iya, Bu. Ibu tidak perlu menggulang hal itu terus-menerus," sela Lingga bosan.
Selama 34 tahun hidup ia selalu merasa terbebani karena Ibunya selalu membahas proses saat melahirkan dirinya. Lingga sudah tahu dan hafal. Jadi menurutnya tidak perlu terus-terusan diulangkan?
"Lalu kenapa kamu menolak Willona padahal kalian belum mulai apa-apa? Sok ganteng banget sih kamu ini, jangan mentang-mentang cetakan kamu bule tulen, kamu jadi bisa seenaknya gini. Contoh adik kamu si Lintang, meski mukanya enggak sebule kamu, seenggaknya dia udah laku dan ngasih Ibu cucu."
Lingga mendesah. "Itu juga gara-gara efek gaya pacaran Dika yang keblabasan, makanya langsung ngasih Ibu cucu. Coba kalau enggak, nasibnya juga sama."
Adik Lingga memiliki nama lengkap Lintang Mahardika. Dan Lingga lebih suka memanggil Dika, begitu juga dengan yang lain. Hanya Lidiya saja yang memanggil Dika dengan sebutan Lintang, karena Lidiya begitu menyukai nama-nama Jawa. Maklum, manusia mah gitu. Yang Jawa pengen namanya kebulean sedang yang bule pengen namanya kejawa-jawaan.
Dika sudah menikah sejak pria itu masih menyelesaikan program Magisternya di London, karena Jennifer pacarnya hamil duluan. Sekarang anak mereka sudah berumur lima tahun. Dika sudah bekerja di perusahaan Ayah mereka sedang Jenniefer menggeluti dunia modelingnya.
"Seenggaknya Lintang pacaran. Lah, kamu? Pacar aja nggak punya tapi dijodohin juga nggak mau. Kamu ini sebenarnya suka perempuan nggak sih, Lingga? Ibu stress tahu ngadepin Eyang Uti-mu."
Lingga menatap Lidiya tak percaya, "Ibu ngeraguin orientasi-ku?"
"Ibu hanya bertanya. Kali aja memang ada penyimpangan, secara kamu gaulnya sama batangan bukan yang berlubang. Semua rasa itu dimulai karena terbiasa. Wajar kalau Ibu curiga."
Lingga menahan napasnya secara reflek. Kalau boleh jujur, ia itu sering kali tidak habis pikir dengan jalan Ayahnya dulu. Dapat inspirasi dari mana dulu Ayahnya sampai mau menikahi Ibunya yang luar biasa ini. Secara fisik memang Lingga akui jika Ibunya ini luar biasa cantik meski kini usianya sudah setengah abad lebih, tapi tetap saja sifat Ibunya itu sering kali tidak bisa Lingga terima dengan akal sehatnya.
"Kamu sama Will...." Lidiya sengaja menggantung kalimatnya, dia ingin tahu respon sang anak.
"Astagfirullah, Ibu! Enggaklah," sanggah Lingga cepat. Dia masih normal. Masih suka perempuan.
"Oke. Kali ini Ibu percaya, tapi kalau dalam waktu dekat belum dapet, kamu harus mau Ibu jodoh-jodohkan. Ngerti?"
"Bu," protes Lingga tidak suka.
"Ibu mau mantu plus cucu secepatnya."
"Maksud Ibu?"
Lidiya berdecak. "Ya, kamu segera cari perempuan, lalu kamu ajak nikah terus bikinin Ibu cucu. Atau mau cara instan juga Ibu nggak papa. Ibu masih berpikiran terbuka kok."
Bulu kuduk Lingga tiba-tiba meremang. Sepertinya didikan Mbah Uti-nya, yang notabenenya mertua Lidiya, tidak begitu masuk ke dalam pola pikir Ibunya. Pola pikir sang Ibu memang masih suka kebarat-baratan. Kalau sampai Mbah Uti-nya tahu, bisa terkena serangan jantung dadakan pasti.
"Jangan bicara sembarangan, Bu!"
"Bukan sembarangan. Tapi Ibu hanya sedang membicarakan realita. Anak muda zaman sekarang kan suka gitu, DP dulu, baru ngurus nikah. Malah ada yang udah sampai gede anaknya tapi baru nikah."
"Terus Ibu mau Lingga kayak gitu?"
"Enggak."
"Lalu?"
"Ibu cuma nggak masalah kalau emang jalan kamu begitu juga," ucap Lidiya santai. "Udah ah, Ibu mau pulang. Nanti sore ada arisan," lanjutnya kemudian.
Tanpa sadar Lingga tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ibunya ini benar-benar ajaib. Tiba-tiba Lingga merasa penasaran, bagaimana awal pertemuan Ayah dan Ibunya yang berbeda kebangsaan itu. Baiklah, ingatkan Lingga nanti untuk menanyakan hal itu pada Ayahnya nanti. Dan yang perlu Lingga lakukan saat ini adalah menemui salah satu investornya, untuk mendanai pengembangan game terbarunya.
Karena tak ingin membuang waktu, Lingga langsung berdiri dan menyambar jasnya, berjalan keluar dari ruangannya dan menghampiri Will.
"Mau kemana, Bos?" tanya Will dengan ekspresi keheranannya.
Lingga berdecak sembari mengangkat sebelah tangannya, sepertinya ia ingin sekali memukul Will saking gemasnya.
"Masih sewot aja, saya kan tadi sudah usaha, Bos. Cuma hasilnya aja yang kurang bagus."
"Tidak perlu mengingatkan adegan yang tadi. Sekarang cepat siap-siap, kita akan bertemu dengan Mr. Luise. Dan kita tidak boleh terlambat, kalau kamu masih ingin bertahan hidup."
Setelah mengatakan kalimat itu, Lingga langsung meninggalkan Will begitu saja.
...******...
Lingga tersenyum puas sambil menjabat Mr. Luise. Negoisasi berjalan lancar, ia mendapat suntikan dana yang tidak sedikit dari Mr. Luise. Di sampingnya Will tak kalah tersenyum cerah, puas sekaligus bangga dengan kedua pria bule ini, yang Will tebak umurnya tidak terlalu jauh, alias seumuran. Bagi Will, baik bosnya mau pun Mr. Luise, keduanya sama-sama keren karena sudah begitu sukses di usia awal tiga puluhan.
"Mulut Bos Lingga selalu sukses meluluhkan hati investor dengan sangat baik. Jadi, kapan rencananya mau luluhin hati cewek, Bos?" bisik Will, setelah Mr. Luise beserta sekertarisnya meninggalkan keduanya. Ia memang kerap menggoda bosnya ini untuk mencairkan suasana.
"Apa kamu sudah bosan bekerja dengan saya, Will?"
Wajah Will mendadak pucat, mendengar pertanyaan yang Lingga lontarkan dengan ekspresi serius. Ia meruntuki kebodohannya sendiri.
"Tidak, Bos. Saya hanya bercanda. Baik, saya akan diam," jawab Will cepat. Kedua tangannya mengibas panik.
"Saya juga sedang bercanda, Will," balas Lingga dengan wajah santainya. Ia kemudian mengangkat kedua bahunya secara bersamaan lalu bangkit berdiri.
Will melongo. Bercanda saja sebegitu seremnya, dan nyaris membuatnya jantungan, bagaimana kalau serius.
Will kemudian bergidik ngeri, ia tidak sanggup membayangkannya. Dengan gerakan cepat ia kemudian menyusul Lingga.
"Langsung ke kantor, Bos?"
"Tidak. Nyari jodoh buat kamu dulu."
"Hah?"
"Ya, ke kantorlah, Will. Pake segala tanya," gerutu Lingga persis seperti perempuan yang sedang PMS, setidaknya itu yang Will lihat.
"Buset, salah mulu perasaan gue. Enggak ada benernya." Will ikut menggerutu judes, bedanya suara miliknya terdengar lebih pelan.
Keduanya kemudian berjalan beriringan menuju ke tempat parkir, namun belum sampai ke tempat parkir, langkah kaki Lingga mendadak berhenti. Kedua matanya menatap seorang gadis yang cukup familiar. Ia tersenyum puas saat mengingat siapa gadis itu. Tanpa banyak berpikir, ia langsung menghampiri gadis itu.
"Calista Vallery?" panggil Lingga sambil menyentuh pundak gadis itu ragu-ragu.
Gadis itu segera membalikkan badan begitu merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Keningnya mengkerut heran saat mendapati pria asing yang memanggilnya. Siapa pria bule ini? Apa dia saudara jauh Papa-nya? Batin Vallery keheranan.
"Maaf?"
"Kamu lupa siapa saya?"
Vallery meringis sambil menggaruk tengkuknya ragu-ragu. Ia memang merasa sedikit familiar dengan wajah ini, tapi ia tidak begitu yakin jika ia mengenal pria ini.
"Maaf, apa kita saling mengenal?" tanya Vallery tak begitu yakin.
Seketika Lingga langsung memasang wajah pura-pura terlukanya. "Wah, jadi saya beneran dilupain? Saya Lingga, Vallery, Lingga Maheswara. Yang kamu panggil Om bule Jawa. Kita pernah bertemu di club waktu itu. Kamu inget?"
Kedua mata Vallery membulat sempurna. Bule Jawa? Astaga, bagaimana bisa dirinya melupakan fakta jika ia mengenal pria setampan ini.
"Astaga, ya ampun!"
"Sudah ingat?"
Vallery mengangguk sungkan lalu meminta maaf.
Lingga mengangguk maklum. "Akan saya maafkan asal kamu memberi nomor ponsel kamu."
"Harus begitu? Bagaimana kalau aku menolak?"
Kedua mata Lingga sontak membulat sempurna. "Kamu berniat menolak?"
Vallery sontak langsung tertawa. "Ya, kenapa juga gue harus kasih nomor ponsel gue ke pria asing?"
"Tapi kita pernah bertemu."
"Memang benar, tapi itu jelas tidak membuatku langsung bisa memberikan nomor ponselku bukan? Sorry, Om, saya tidak semurahan itu. Om kalau mau nyari dedek-dedek gemes buat nemenin Om, berarti Om salah orang, karena saya bukan orang seperti itu. Permisi!"
Lingga terbengong. Apa tadi katanya? Om-om yang nyari dedek-dedek gemes buat nemenin dirinya? Wah, kurang ajar juga ya gadis itu. Ternyata dia tidak semanis yang ia kira. Dengan kesal ia kemudian menghampiri Will.
"Siapa tadi, Bos?"
"Nggak kenal," jawab Lingga judes.
"Nggak kenal tapi tahu nama lengkapnya? Aneh bener bos gue," guman Will langsung menyusul masuk ke dalam mobil.
Tbc,
Masih setia munggu like dan komennya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Agaiskha Guslin
aku mampir kesini kaka.. sambil nungguin up nya papa agha sm mama mala😙😙
2023-08-29
0
Endang Purwati
menarik.
Om Buleee sabar bngt ya ngadepin emaknya, 😁
2023-03-14
0
puji Rahayu
makin gemes aja sm isi ceritanya
2022-04-29
2