******
Tubuh Lidiya seketika langsung ambruk di sofa. Sebelah tangannya secara reflek menepuk pipinya dengan cukup keras, berharap apa yang baru saja ia dengar hanya sebuah mimpi. Namun, saat ia merasakan sensasi perih itu, ia mulai sadar kalau semua ini nyata. Oh, astaga, ini gawat. Batin Lidiya mulai panik. Kalau ini nyata dan bukan mimpi, bolehkah ia berharap kalau ia salah dengar?
"Bu, ibu baik-baik saja?" tanya Lingga mulai khawatir.
Lidiya langsung melotot tajam ke arah putra sulungnya. "Ibu mana yang bakal baik-baik saja setelah mendengar kabar seperti ini?" serunya emosi. Pandangannya kemudian beralih pada Vallery. "Kamu tidak benar-benar hamil kan? Kalian--"
"Bu," sela Lingga memotong kalimat Lidiya. Ia kemudian merogoh saku dalam jasnya lalu mengeluarkan selembar foto hasil usg Vallery dari dalam dompet. "Buat jaga-jaga kalau Ibu kurang percaya," sambungnya kemudian.
Dengan wajah shocknya, Lidiya menerima selembar foto yang disodorkan Lingga. Ia seakan masih belum bisa mempercayainya.
"Ibu pernah bilang kan, kalau ibu ingin mantu dan juga cucu. Sekaligus langsung keduanya juga boleh. Nah, sekarang sudah Lingga bawakan sesuai keinginan ibu. Ibu senang?"
"Kamu sudah gila? Membawa gadis di bawah umur dan kamu akui sebagai calon istri sekaligus ibu dari anakmu? Kamu mau ditangkep polisi karena sudah mengahamili gadis di bawah umur?" Lidiya memijit pelipisnya yang terasa pening, "Astaga! Bikin pusing saja," keluhnya kemudian.
Lidiya menghela napas, dilirik Vallery yang kini sedang gugup setengah mati.
"Apa kamu tidak kepikiran untuk menuntut pria tua ini?" Lidiya bertanya pada Vallery dengan nada lembut, dengan sebelah tangan menunjuk Lingga.
"Ibu!" protes Lingga kesal, "aku belum setua itu untuk disebut pria tua." Pria itu terlihat tersinggung jika sudah menyangkut umur, apalagi kalau harus dibandingkan dengan Vallery.
"Sekarang Ibu tanya, berapa umurmu?"
"34 tahun," jawab Lingga terdengar enggan.
"Lalu gadis ini?"
Lingga mendadak bungkam. Lidiya langsung tersenyum meremehkan putranya sendiri.
"Ibu bukannya ingin bersikap rasis, hanya saja--"
"Ibu hanya perlu memberi kami restu, Bu," ucap Lingga kembali memotong ucapan Lidiya.
"Lalu bagaimana dengan orangtuamu? Sudah tahu?" Lidiya bertanya pada Vallery.
Dengan perasaan gugup, Vallery mengangguk pelan.
"Responnya?" tanya Lidiya. Sebelum Vallery menjawab, Lidiya kembali bersuara, "Ibu yakin kedua orangtuamu pasti ingin membunuh putraku," imbuhnya kemudian.
Dalam hati, Vallery membenarkan tebakan Ibu Lingga. Meski tebakan Ibu Lingga tidak sepenuhnya benar.
"Maka dari itu Lingga butuh restu dan bantuan Ibu."
"Lingga, kamu pikir kalau Ibu, jadi ibu dari pihak perempuan yang dihamili, Ibu akan sudi menikahkan putriku dengan pria setua kamu?" Lidiya langsung menggeleng tegas, "jelas tidak. Ibu tidak segila itu, Lingga."
"Kenapa ibu bicara begitu?" protes Lingga kesal.
"Lebih baik kalian menempuh jalur hukum," saran Lidiya.
"Maksud Ibu?"
"Biarkan Nak Vallery nuntut kamu dan kamu terima hukuman. Ibu janji akan--"
"Ibu yang benar saja, masa ngasih saran begituan? Lingga mau tanggung jawab, Lingga--"
"Kamu pikir karena kamu mau tanggung jawab semua bisa semudah itu?"
"Enggak," jawab Lingga cepat, "Lingga sadar betul ini nggak akan mudah buat Lingga maupun Vallery. Iya, Lingga paham. Maka dari itu Lingga butuh bantuan Ibu, untuk meyakinkan Papa Vallery. Plis, Bu, bantu Lingga. Ibu nggak kasian dengan kami?"
Lidiya kembali memijit pelipisnya. "Ibu akan membicarakan ini dengan Ayahmu dulu."
"Tapi, Bu." Lingga hendak memprotes.
"Nggak ada tapi-tapian. Keputusan Ibu sudah bulat, nasib kalian tergantung pada keputusan Ayahmu."
Lingga mendesah kecewa. Nasibnya berada di ujung tanduk. Bagaimana kalau Ayahnya itu melarang untuk menikahi Vallery?
"Sepertinya kita berada dalam masalah," ucap Lingga pasrah. Ia memijit pelipisnya dengan frustrasi, semua tidak berjalan sesuai rencananya.
Dengan wajah tenangnya, Vallery tersenyum tipis. "Nggak papa, aku pernah bilang bukan, kalau aku memang tidak meminta untuk kamu ni--" belum selesai ia melanjutkan kalimatnya, Lingga menoleh ke arahnya dengan tatapan tajamnya.
Lingga marah. Terlihat jelas dari pancaran matanya. Dan itu jelas membuat Vallery ketakutan.
"Apa aku terlihat seperti pria yang tidak bertanggung jawab?" tanya Lingga tersinggung.
Vallery menggeleng tegas. Dengan kepala sedikit tertunduk ia berucap, "Maaf," lirihnya pelan.
Lingga menoleh ke arah Vallery. "Kamu tidak perlu minta maaf, aku akan mencari jalan keluarnya. Kamu tidak perlu khawatir. Aku berjanji akan menepati janjiku. Cukup percaya padaku saja. Oke?"
Mau tidak mau, Vallery mengangguk, mengiyakan.
#######
"Gue butuh penjelasan, Valle," ucap Patricia tiba-tiba. Gadis itu tiba-tiba berdiri menghadang Vallery.
Vallery mengernyit kebingungan, lalu kembali duduk di bangkunya. Dilirik Nick yang kini duduk di sebelahnya, yang sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang dilakukan pria itu.
"Penjelasan apa sih, Pat?" tanya Vallery sambil menahan kesal.
Patricia merogoh tasnya, lalu mengeluarkan ponselnya. Mengutak-atik sebentar lalu menunjukkan pada Vallery.
"Lo butuh penjelasan apa lagi sih, Pat. Lo kan udah tahu semua." Kedua bola mata Vallery mengelilingi seisi kelas, saat tak menemukan sesosok selain Nick dan Patricia, lalu ia berucap, "dia Ayah dari bayi yang gue kandung. Lo mau penjelasan apa lagi?"
"Tapi kenapa lo umbar-umbar begitu?"
"Maksudnya?" Kening Vallery mengernyit, tak paham.
"Ya, kemarin pas dia nganterin lo ke kampus juga lo umbar-umbar. Itu maksudnya apa, Valle?"
"Ya biar pada tahu lah, Pat. Coba lo pikir, aneh nggak sih nanti kalau gue tiba-tiba ngumumin mau nikah dan nggak ada yang tahu gue lagi deket sama siapa. Nah, mending gue kasih tahu clue lewat sosmed biar nggak pada shock kalau nanti gue ngumumin mau nikah," kata Vallery menjelaskan.
Patricia menghela napas panjang, lalu menatap Vallery instens. "Jadi lo beneran mau nikah? Lo masih 19 tahun lho, Valle. Dan lo masih kuliah. Lo yakin sama keputusan ini? Lo nggak takut nyesel?"
Wajah Vallery berubah masam. Ingatannya kembali pada penolakan sang Papa, pun dengan Ibu Lingga. Ck, apakah mungkin ia dan Lingga tetap akan bisa menikah jika tidak ada pihak yang merestuinya? Atau jangan-jangan Lingga akan mengajaknya 'kawin lari'. Oh, astaga itu terdengar mengerikan. Tanpa sadar Vallery menggeleng sambil bergidik ngeri.
"Kenapa ekspresi lo berubah begitu?" tanya Patricia keheranan.
"Gue mendadak ragu, apa gue beneran bisa nikah sama Lingga atau enggak," aku Vallery jujur. Pandangannya menerawang, membayangkan nasibnya dan buah hati mereka kalau seandainya Lingga gagal menikahinya.
"Kenapa?" Kali ini Nick membuka suara. Ia sudah tidak sibuk dengan ponselnya lagi, sudah sepenuhnya tertarik dengan obrolan kedua sahabatnya itu.
"Papa belum ngasih izin, Ibu Mas Lingga juga nggak pasti apa bisa kasih restu atau enggak." Vallery menatap sedih ke arah Patricia dan Nick secara bergantian.
"Terus nasib lo gimana? Lo mau jadi ibu tunggal gitu?" Nick menatap Vallery tak yakin.
Vallery menggeleng. "Lingga kayak mau ngamuk pas gue bilang dia nggak harus nikahin gue. Ah, serem banget deh pokoknya. Galau gue jadinya, kita belum ngantongin restu, tapi Lingga ngotot bakalan nikahin gue."
Mendengar penuturan Vallery, Nick tersenyum puas. Lain lagi dengan Patricia yang hanya mendengus samar.
"Keren juga calon Babeh anak lo," kekeh Nick. Dan berhasil membuatnya mendapat pukulan manja dari Patricia.
"Keren dari mana sih, Nick?"
"Keren dari sononya kali, kayak gue," balas Nick asal. Ia kemudian berdiri sambil mencangklong tas ranselnya, "kuy, ke kantin. Laper nih. Cacing di perut gue udah pada joget lagu Korea nih."
Vallery berdecih. "Kayak ngerti lagu Korea aja lo," cibirnya ikut berdiri.
"Ngerti. Gegara, tuh." Nick menunjuk Patricia secara terang-terangan, membuatnya mendapat pelototan mata tajam dari Patricia.
Vallery terbahak melihat kelakuan keduanya. Lalu mengajak mereka untuk segera ke kantin.
######
Lingga memasuki halaman rumahnya dengan perasaan tegang. Bayangan wajah marah Ayahnya tiba-tiba menyapa, membuat bulu kuduknya meremang secara tiba-tiba. Bagaiama kalau ia tidak bisa menikahi Vallery seperti yang sudah ia janjikan? Apakah mungkin ia harus menikahi gadis itu tanpa restu kedua orangtuanya? Astaga, membayangkannya saja membuat Lingga ngeri. Apalagi kalau sampai kejadian? Bisa-bisa ia bunuh diri. Oh, oke, itu mungkin terdengar berlebihan.
"Assalamualaikum," sapa Lingga saat memasuki ruang tengah. Kedua orangtuanya sedang duduk bersantai sambil menonton acara televisi.
"Wa'allaikumsalam. Sudah sampai? Sendiri saja? Calon mantu ayah yang diceritain Ibu kamu mana?" berondong Ayah Lingga dengan logat Jawa khasnya.
Lingga meringis lalu mengangguk dan menggeleng. Ia kemudian duduk di sofa, bergabung dengan kedua orangtuanya. Mengangguk untuk pertanyaan kalau ia sudah sampai, sedangkan gelengan kepala untuk jawaban kalau ia tidak mengajak Vallery bersamanya.
"Di rumah, Yah."
"Kenapa nggak diajak?"
"Nanti deh, kapan-kapan."
"Jangan kapan-kapanlah, Ayah kan juga pengen tahu kayak apa calon mantu Ayah."
Kedua bulu mata menerjap kaget. Tunggu, tunggu! Apa Lingga tidak salah dengar, kalau Ayahnya itu menyebut calon mantu. Ini yang disebut calon mantu oleh Ayahnya, Vallery kan? Bukan perempuan lain?
"Ayah barusan bilang apa? Calon menantu Ayah? Ini maksudnya?"
"Nggak usah pura-pura nggak paham deh," sahut Lidiya pura-pura memasang wajah judesnya. Sepertinya ibunya itu masih kesal dengan perbedaan umur Vallery dengan Lingga yang terpaut cukup jauh.
Masih dengan wajah bingungnya, Lingga menoleh ke arah sang Ibu. "Maksudnya Ayah kasih restu?" tanyanya mencoba memastikan.
"Kamu sudah terlalu tua untuk Ayah larang nikahin anak orang, apalagi kalau gadis itu sampai hamil. Masa mau Ayah larang? Ya, nggak mungkin to?"
Senyum Lingga merekah. Ketakutannya tidak terjadi, dan ia mendapat restu.
"Terus gimana dengan perbedaan umur kami?"
"Ya, nggak gimana-gimana. Yang penting orangnya mau kamu nikahin, Ayah nggak masalah," jawab Ayah Lingga santai.
Dalam hati, Lingga berseru kegirangan.
"Yang penting gimana cara dapet restu dari keluarga gadis itu," ucap Ayah Lingga kembali mengimbuhi.
Raut wajah Lingga berubah muram. Benar, restu dari keluarga Vallery paling penting. Apalagi Papa Vallery seakan menentang keras hubungan mereka. Astaga, apa yang harus Lingga lakukan?
"Ayah nggak bisa bantuin?"
Ayah Lingga menggeleng. "Kamu yang berbuat, kenapa harus Ayah yang bertanggung jawab? Enak saja. Urus sendiri. Nanti kalau sudah mau ngelamar gadis itu, baru Ayah bantuin."
Kalau begini, sama aja bohong. Batin Lingga menggerutu dalam hati. Tapi ya sudah lah, lumayan, setidaknya Ayahnya tidak ikut menentang hubungannya dengan Vallery. Jadi ia tidak terlalu pusing untuk mendapat restu dari kedua belah pihak. Cukup dari Papa Vallery saja ia sulit mendapat restu, Ayahnya jangan.
"Ya udah kalau gitu, Lingga mau pamit." Lingga langsung berdiri.
Lidiya tampak kecewa karena Lingga sudah langsung ingin pulang. Padah putra sulungnya itu baru sampai beberapa menit yang lalu, tapi sudah ingin pergi begitu saja?
"Pamit? Nggak makan malam di sini? Si Mbok udah masakin sayur asem kesukaan kamu loh. Makan dulu, baru pulang," kata Lidiya menyarankan, "Ibu nggak minta kamu nginep di sini, minimal makan malam di sini. Ibu udah minta si Mbok masakin loh, masak nggak kamu makan? Tega kamu?"
Sambil menghela napas, Lingga melirik sang Ayah. Bayu, ayah Lingga tampak mengangguk, menyuruh sang putra agar menuruti ibunya. Hal ini tentu saja membuat Lingga akhirnya pasrah dan menuruti ibunya.
"Ya udah, Lingga makan malam di sini," ucapnya pada akhirnya.
Lidiya langsung berseru heboh dan segera bangkit dari sofa. "Kamu duduk dulu, ngobrol sama Ayah kamu. Biar Ibu siapin makan malamnya." Ia menepuk pundak Lingga, menyuruh putra sulungnya agar kembali duduk sementara dirinya menyiapkan makan malam untuk mereka.
"Ibu kamu kesepian setelah kalian pindah ke rumah masing-masing," kata Bayu, "kalau Dika Ayah maklum, Ga, dia sudah berkeluarga. Lha kamu kan belum, harusnya lebih sering ke sini to?"
"Habis gimana, Yah, Ibu suka cerewet nanyain calon istri terus. Lingga males nanggepinnya," aku Lingga jujur.
"Ibumu hanya khawatir karena kamu bakal jadi perjaka tua."
Lingga mendengkus. "Lingga udah nggak perjaka sejak lulus S1, Yah."
"Itu tidak perlu kamu ceritakan. Ayah nggak tanya." Bayu sedikit merengut kesal sambil menyeruput teh herbalnya, "gimana perusahaan kamu lancar? Ada kendala tidak? Atau kamu butuh insvestor?"
"Kenapa? Ayah mau investasi di perusahaan Lingga?"
Bayu mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. "Barang kali kamu butuh. Ayah sih nggak masalah. Lha gimana kamu-nya? Butuh apa enggak?"
Lingga melirik sang Ayah curiga. "Kenapa mendadak mau investasi di perusahaan Lingga?" tanyanya sedikit heran, "Ayah berencana mau jadiin perusahaan Lingga jadi anak perusahaan Ayah?" tuduhnya kemudian.
Bayu tertawa kemudian menggeleng. "Enggak, Ayah sebenernya nggak bermaksud begitu. Tapi sepertinya boleh juga. Gimana kalau--"
"Lingga nggak tertarik, Yah," potong Lingga cepat.
"Kenapa?"
"Karena ini perusahaan Lingga. Hasil kerja keras Lingga dan juga tim Lingga, Ayah nggak bisa dong beli seenaknya begitu."
"Seenaknya bagaimana?" balas Bayu tidak terima.
"Sayang, Lingga! Makanan sudah siap, ayo buruan! Nanti keburu dingin."
Suara Lidiya tiba-tiba terdengar di antara perdebatan mereka, Lingga langsung berdiri.
"Ayo, Yah, Ibu sudah manggil. Dan jangan pernah nanya buat beli saham di perusahaan Lingga. Titik. Aku nggak suka berurusan bisnis dengan Ayah," ucap Lingga langsung meninggalkan ruang tengah begitu saja.
"Astaga, putra siapa itu?" desis Bayu lalu menyusul mereka ke dapur.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
🌈Pelangiku
putra siapa???pikun kayaknya ayah Bayu🤭Yo anakmu pak akhiirnya dpt restu Krn usia hihihi.,
2023-07-11
0
Tari
astaga ayah bayu kerennnn...... 👍👍👍
2021-11-23
2
TePe
astaga ....ya putramu toh...
2021-10-13
2