#####
"Pa, maafin--"
"Masuk kamar, Valle!" potong Gerald sambil memijit pelipisnya.
Berita yang baru saja ia dengar benar-benar mengguncang emosionalnya. Perasaan marah, kecewa, sekaligus bersalah, berkumpul jadi satu. Ia pikir, ia sudah memberikan yang terbaik untuk putri semata wayangnya, tapi ternyata ia salah. Ia tak cukup baik dalam mendidik putri satu-satunya itu.
"Vallery mengaku salah, Pa."
"Papa bilang masuk ke kamar, Valle. Kasih Papa waktu buat mencerna semua ini! Papa mohon!"
Mendengar nada bicara sang Papa yang terdengar seperti sedang memohon, membuat perasaan bersalah Vallery kian besar. Ia ingin memeluk Papanya, tapi ia urungkan. Dengan patuh, ia segera bangkit dari posisi duduknya dan segera naik ke lantai atas setelah meletakkan selembar foto hasil usg-nya.
Setelah memastikan putrinya naik ke lantai atas, ia baru meraih foto usg yang Vallery tinggalkan. Kedua mata Gerald mendadak memanas, jantungnya terasa seperti diremas kuat. Perasaannya hancur berkeping-keping. Ia butuh ditenangkan sekarang. Tanpa berpikir panjang, ia kemudian meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
Saat sambungan terhubung, ia diam saja. Tidak mengucapkan sepatah kata pun, bibirnya terasa kelu hanya sekedar untuk menyapa sang kekasih.
"Halo, Mas?"
Gerald masih diam.
"Mas, ada apa? Kenapa diam aja? Kamu jangan bikin aku khawatir, Mas." Riana tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatirnya.
Gerald berdehem, mencoba mengontrol perasaannya yang masih kacau. "Kamu sudah kembali dari Bogor?"
"Mas, jangan ngalihin pembicaraan deh!" suara Riana sedikit meninggi karena kesal, "iya, aku udah balik dari Bogor. Barusan nyampenya, ada apa? Mas berantem lagi sama Vallery? Kan aku udah bilang, seumuran Vallery itu sedang susah-susahnya dibilangin, kamu bisa lebih ngalah kan, Mas?"
Tanpa sadar Gerald terkekeh mendengar omelan Riana, kalau boleh jujur ia merindukannya. "Saya kangen kamu. Keberatan kalau saya ke apartemen kamu?"
Hening. Riana tidak langsung menjawabnya. Sedang Gerald menunggu dengan harap-harap cemas.
"Lupakan!" ucap Gerald setelahnya, karena ia merasa tidak enak jika harus membebani kekasihnya.
"Kamu nggak perlu tanya, Mas, kalau emang mau ke sini. Langsung ke sini aja, nggak usah pake tanya. Cukup kabarin biar aku langsung turun buat jemput kamu," ucap Riana kalem.
"Kamu tidak keberatan?"
"Tentu saja tidak. Perempuan mana yang keberatan dikunjungi kekasihnya? Tidak ada, Mas, mereka pasti senang. Hanya saja kamu perlu kabari aku dulu, setidaknya biar aku bisa siap-siap."
"Kamu mau berdandan dulu sebelum bertemu saya?" goda Gerald.
"Menurut Mas gimana? Aku dandan dulu nggak?" Riana malah balik bertanya, bermaksud menggoda sang kekasih.
Gerald tertawa lalu menggeleng spontan. "Tidak perlu, saya lebih suka wajah polos kamu tanpa make up."
"Mas pikir aku bakal percaya? Kalau faktanya Mas selalu ngomel tiap kita mau ketemu klien, terus make up aku luntur dikit. Mas lupa?" Riana berdecih tidak percaya dengan gombalan sang kekasih.
"Itu jelas beda, Riana. Kalau ketemu klien, kita harus tampil rapi agar klien semakin yakin. Kalau berdua saja, saya sebenarnya lebih suka wajah polos kamu. Saya kurang suka kalau mau nyium kamu harus dihalangi foundation atau lipstik dan kawan-kawannya. Saya sangat membenci itu semua. Jadi, bisa kan kalau kita berkencan kamu tidak usah pake make up?"
Di seberang Riana terbahak. "Mas, memang kapan kita pergi kencan? Benar-benar pergi khusus untuk berkencan?"
"Belum pernahkah?" Gerald malah balik bertanya dengan nada keheranan.
"Belum. Udah lah, kenapa malah mengobrol? Buruan Mas ganti baju dan berangkat. Aku tungguin."
"Baiklah, saya bersiap-siap dulu. Nanti kalau sudah sampai saya telfon."
"Oke. See you!"
"See you too!"
Begitu selesai menelfon, Gerald segera beranjak dari sofa menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Setelah selesai ia mencari keberadaan Bik Jum di dapur. Ia sedikit terkejut saat menemukan asisten rumah tangganya tengah jongkok di dekat meja makan sambil menangis tersedu-sedu.
"Bik," panggil Gerald ragu.
"Ya, Pak?" Bik Jum segera mengelap kedua pipinya dengan tergesa dan berdiri.
Gerald menghela napas, ia menduga pasti Bik Jum mendengar obrolan mereka tadi. "Saya mau keluar, tolong jaga Vallery, ya. Jangan kasih izin keluar malam." Ia berusaha untuk setenang mungkin.
Bik Jum mengangguk patuh. "Baik, Pak."
"Tolong tutupin pintu gerbang, ya, begitu mobil saya keluar rumah," pinta Gerald.
Sekali lagi, Bik Jum mengangguk patuh. "Baik, Pak."
"Ya udah, ayo!" ajak Gerald karena Bik Jum tak kunjung mengekor. Baru setelah mendengar ajakannya tadi, Bik Jum mulai mengekor di belakangnya.
"Saya mungkin akan pulang larut malam, jadi pastikan semua pintu sudah terkunci ya, Bik. Saya bawa kunci serep," ucap Gerald sambil memasang seatbelt-nya.
"Baik, Pak. Hati-hati di jalan."
"Hmm. Saya pergi dulu."
\=\=\=\=\=\=\=\=
"Saya sudah di lobi. Bisa kamu turun sekarang,? Saya tidak bisa naik karena tidak punya akses."
Begitu sampai di lobi apartemen Riana, Gerald langsung menelfon Riana.
"Tunggu sebentar, ini aku udah ada di lift kok."
"Oke, saya tunggu."
Gerald lalu mematikan sambungan telfonnya dan duduk di sofa yang ada di lobi. Tak lama setelahnya, Riana datang dan langsung menghampirinya.
"Lama?" tanya Riana berbasa-basi.
Gerald menggeleng. "Tidak," jawabnya singkat.
Riana meringis. Sepertinya suasana hati sang kekasih benar-benar sedang tidak bagus. Meski Gerald mencoba menutupinya, tapi ia yakin jika kekasihnya ini sedang mencoba menyembunyikan perasaan kacaubya. Batin Riana menebak.
"Langsung naik, yuk!" ajak Riana kemudian.
Gerald mengangguk setuju dan mengekor di belakang Riana.
"Berantem sama Vallery, ya?" tanya Riana saat keduanya sudah masuk ke dalam lift.
Gerald diam sesaat sambil berpikir, ia kemudian menatap Riana. "Boleh nanti aja bahasnya kalau udah nyampe?" tanyanya terlihat seperti sedang memohon.
Mencoba untuk mengerti, Riana mengangguk tak masalah.
Lalu suasana hening. Gerald sibuk dengan pikirannya sendiri, sedang Riana sibuk melirik ke arah kekasih yang terlihat tidak baik.
"Boleh peluk?" tanya Gerald tiba-tiba memecah keheningan.
Riana menoleh ke arah Gerald dengan sebelah alis terangkat heran. Kekasihnya ini tidak terlalu suka melakukan skinship di tempat umum, meski lift hanya ada mereka berdua, tapi tetap saja ada kamera CCTV yang sedang mengintai mereka dan biasanya itu cukup mengganggu Gerald.
"Kita masih di lift lho, Mas? Ada kamera CCTV-nya." Riana menunjuk ke arah cctv.
Gerald mangguk-mangguk saat baru menyadarinya. Lalu secara tidak terduga, ia meraih tangan Riana dan menggenggamnya erat.
"Kalau begini, bolehkan?"
Riana tersenyum. "Boleh. Aku juga nggak ngelarang kamu untuk memeluk aku, Mas. Aku izinin kamu peluk, atau bahkan kalau kamu sungkan memeluk aku, aku bisa kok yang meluk kamu."
"Enggak, saya tidak nyaman pelukan di lift. Saya akan memeluk kamu kalau kita sudah sampai nanti," balas Gerald, "lagian di sini kurang leluasa kalau mau lebih," imbuhnya kemudian.
Riana hanya terkekeh sambil mengangguk.
\=\=\=\=!!\=\=\=\=
"Mau saya buatkan kopi?" tawar Riana. Ia langsung berjalan menuju dapur minimalisnya, sedang Gerald duduk bersandar pada sofa di ruang tengah. Lengannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Dari dapur Riana bisa menebak kalau masalah Gerald kali ini cukup serius.
"Jangan kopi! Saya takut tidak bisa tidur nanti."
"Teh?"
"Itu juga boleh. Gulanya satu sendok saja."
"Hah?"
"Satu sendok besar," imbuh Gerald sambil mendongak ke arah dapur. Ia tersenyum tipis, menggoda sang kekasih.
"Enggak," tolak Riana, "harga gula sedang mahal. Dua sendok kecil cukup."
"Pelit. Nanti saya ganti, Riana. Saya belikan gula yang banyak." Gerald pura-pura memasang wajah merajuk.
Namun Riana masih menggeleng tegas. "Enggak, Mas. Terlalu banyak gula bisa bikin kamu kena diabetes nanti, aku masih ingin menikah dan punya anak."
Mendengar jawaban Riana, Gerald terkekeh. "Yang ingin menikah dan punya anak kan kamu, bukan saya. Saya sudah pernah menikah dan punya anak, Riana, kalau kamu lupa."
"Mas," panggil Riana memotong kalimat Gerald, "tujuan kamu ke sini untuk mengakhiri hubungan kita, yaa?" tanyanya dengan nada tersinggung. Lebih tepatnya ia pura-pura tersinggung, karena ia sudah cukup mengenal Gerald.
Bukannya panik, Gerald justru malah tertawa cukup keras. "Kenapa kamu bisa berpikiran demikian?"
Riana diam dengan ekspresi cemberutnya.
Sedang Gerald tersenyum lalu berkata, "Kemarilah!" sambil menepuk sofa, mengintruksi agar kekasihnya segera duduk di sebelahnya.
Dengan ekspresi yang masih cemberut, Riana kemudian menghampiri Gerald dan meletakkan secangkir teh buatannya, baru kemudian duduk.
"Mendekatlah!" intruksi Gerald karena kekasihnya itu duduk berjauhan dengannya.
Dengan pasrah, Riana mengeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Gerlad, sesuai intruksi kekasihnya.
Gerald kemudian merangkul pundak Riana. "Riana, bukankah saya sudah pernah bilang kalau umur saya sudah tidak cocok untuk bermain dalam suatu hubungan? Saya bersungguh-sungguh ingin menikahi kamu. Tidakkah kamu melihat kesungguhan saya?"
"Lalu bagaimana dengan putrimu?"
"Kami sedang mencoba bernegoisasi."
"Apa akan berhasil?"
"Mungkin."
"Kamu terlihat meragukan, Mas."
"Saya akan membahagiakan kamu, Riana," balas Gerald.
Riana diam. Kedua matanya menatap intens Gerald, mencoba menebak sebenarnya apa yang sedang dihadapi sang kekasihnya saat ini. Batinnya terus bertanya-tanya.
"Riana," panggil Gerald pelan. Ia menatap kekasihnya dengan ekspresi lembut, membuat lamuanan Riana buyar dan kini ia merasa sedikit waspada.
Menurutnya, Gerald bukan tipekal pria romantis yang suka memandang kekasihnya dengan ekspresi lembut semacam ini. Biasanya jika pria itu melakukan hal tersebut, akan ada sesuatu yang serius yang ingin pria itu ungkapkan. Mendadak perasaannya campur aduk.
"Kenapa, Mas?" tanya Riana khawatir.
"Menurut kamu, lebih baik kita dulu yang menikah atau Vallery?"
Riana terdiam sesaat, mencerna kalimat Gerald. "Mas!!" panggil Riana menyentak, setelah ia sadar maksud ucapan sang kekasih. Dengan spontan ia menjauhkan tubuhnya dari rangkulan sang kekasih. Kedua mata Riana melotot tajam ke arah Gerald. Menuntut penjelasan dari sang kekasih.
"Kamu ini ngomong apa sih?" tanya Riana terlihat kesal.
"Itu mungkin akan menjadi negoisasi kami, Riana. Vallery akan memberikan restunya, asal saya menikahkan dia dengan pacarnya." Nada bicara Gerlad sedikit bergetar. Perasaan tidak rela, marah, kecewa, dan juga bersalah kembali memenuhi otaknya.
Riana mendekat dan menggenggam tengan besar Gerald dan mengelus punggung tangannya perlahan.
"Mas, kamu nggak harus melakukan ini. Jangan gegabah, aku akan sabar menunggu--"
"Tapi bayinya tidak, Riana." Gerald terlihat putus asa sekaligus frustasi.
"B.bayi? Bayi siapa yang Mas maksud?"
Gerald bergeming. Ia memejamkan kedua matanya lalu menghela napas lelah.
"Mas," panggil Riana mulai khawatir.
"Vallery... Putriku tengah mengandung, Riana. Apa yang harus saya lakukan?"
"Mas," panggil Riana ikut sedih.
Ia menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Gerald, lalu dengan gerakan sigap, Riana memeluk Gerald sambil menepuk bahu kekasihnya. Berharap agar sedikit menenangkan suasana hati Gerald yang sedang kacau.
"Apa yang harus saya lakukan, Riana? Saya merasa sudah jadi Ayah yang buruk untuk putri saya. Saya gagal menjadi Papa yang baik untuk Vallery. Saya bahkan gagal mendidiknya. Apa yang--"
"Sudahlah, Mas! Ini bukan sepenuhnya salah kamu," potong Riana masih mencoba untuk menenangkan Gerald, "kamu sudah berusaha semampu kamu. Kamu tetap Papa kebanggaan Vallery, aku yakin itu, Mas."
"Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang? Apa yang harus kita lakukan? Kita harus menikah, Riana, tapi Vallery dan pacarnya juga harus menikah?"
Riana diam. Sejujurnya ia sendiri juga bingung, terlebih lagi ia masih sedikit shock dengan berita yang baru saja ia dengar. Otaknya masih berusaha mencerna semua ini.
"Nanti kita coba cari solusinya sama-sama, Mas," ucap Riana mencoba menenangkan. Sekarang yang penting kamu tenangin diri dulu, Mas. Kamu nggak sendirian, masih ada aku. Oke?"
Gerald mengangguk patuh. "Terima kasih," ucapnya tulus.
"Tidak masalah," balas Riana sambil mencoba tersenyum.
Astaga, kenapa semuanya menjadi rumit begini. Batin Riana mulai frustrasi.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
langit sore
lanjut
2021-11-27
0
Tari
setidaknya gerald ma lingga satu frekuensi.... sama suka daun muda...... 😁😁😉
2021-11-23
4
Saffa Ramadhani
calon ibu Velly baik
2021-11-23
0