******
Vallery buru-buru merogoh tasnya saat merasakan getaran dari sana. Ia sedikit terkejut saat mendapati nama Lingga yang tertera di sana. Ada apa dia menghubungi jam segini. Batinnya bertanya-tanya. Dengan perasaan ragu, ia kemudian menggeser tombol hijau sebelum menempelkan benda pipih itu pada telinga kanannya.
"Ya, kenapa, Mas?"
"Kamu di mana?"
"Kampus."
"Bisa kamu kasih tahu posisi kamu dimana? Aku udah di tempat parkir."
"Hah?" Vallery tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, "kamu dimana, Mas?"
"Tempat parkir. Kamu di mana? Biar aku samperin."
Vallery langsung menggeleng cepat, meski sadar Lingga tidak dapat mendengarnya. "Jangan! Biar aku yang ke sana."
"Oke."
Klik.
"Langsung dimatiin," guman Vallery tidak percaya, ia berdecak tidak percaya sambil geleng-geleng kepala, "dasar Om-om nggak punya sopan santun. Ya ampun, gitu-gitu calon suami gue pula," gerutunya langsung bergegas menuju tempat parkir.
"Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?" protes Vallery setelah bertemu Lingga, "kan bisa ngabarin dulu."
"Vallery, sebelum kamu ke sini, aku telfon kamu dulu, ya."
"Maksudku ya jauh sebelum itu, Mas."
Lingga mengangkat kedua bahunya secara bersamaan dan wajah tidak bersalahnya. "Aku pikir sama saja kan?"
"Ya, beda."
"Oke, aku minta maaf, lain kali nggak akan aku ulangi. Gimana kelasnya hari ini?" Lingga mengangguk paham dan mengalihkan pembicaraan.
"Nggak gimana-gimana, ya kayak biasanya," balas Vallery seadanya.
"Aku nggak tahu biasanya kayak gimana, Vallery."
"Nggak ada yang spesial?"
Vallery menaikkan alisnya tak paham. "Contohnya?"
"Dosen killer tapi ganteng yang gangguin mahasiswanya karena suka."
Vallery terbahak lalu menggeleng. "Enggak ada. Otak kamu sinetron banget deh, Mas, ayo pulang. Aku lapar."
"Kalau temen?"
Vallery menatap Lingga tajam. "Mas ngapain sih?" tanyanya sebal.
"Saya hanya ingin tahu semua tentang kamu. Apa tidak boleh?"
"Ya, bukannya nggak boleh, Mas, cuma--"
"Vallery!"
Ucapan Vallery mendadak terhenti karena suara seseorang memanggilnya. Secara spontan ia menoleh ke asal suara diikuti Lingga setelahnya.
"Siapa?"
Vallery mengabaikan pertanyaan Lingga. "Lo ngapain malah nyusul gue?" Dan malah menghadang pria yang memanggilnya tadi. Sebelah tangannya berkacak di pinggang dengan tatapan frustasinya.
"Dia calon yang lo omongin waktu itu?"
Vallery berdecak kesal. "Lo jangan ngalahin pembicaraan, Nick!"
"Vallery siapa pria ini?" Lingga mendekat ke arah keduanya dan bertanya dengan kepo. Hal ini membuat Vallery makin kesal dibuatnya, pasalnya ia masih sangat emosi dengan sikap Nick, "bentar dulu dong, Mas. Aku lagi ngomong sama Nick," decaknya kesal.
Karena kasian dengan ekspresi Lingga yang dicuekin calon istri karena kedatangan dirinya, Nick kemudian berinisiatif memperkenalkan diri.
"Hai, kenalin gue Nick, sohibnya Vallery," ucap Nick sambil mengulurkan sebelah tangannya, mengajak Lingga berjabat tangan. Meski ragu Lingga akhirnya membalas jabatan tangan itu, "lo calonnya Vallery kan?" bisik Nick setelahnya.
Lingga mengangguk, membenarkan. Meski ekspresi bingung masih terlihat pada wajahnya. Ekspresinya terlihat seperti sedang bertanya 'siapa lo? Sok asik banget sama gue dan calon bini gue' kurang lebih begitulah ekspresi Lingga di mata Nick.
"Gue bilang be gentleman, Nick! Ini kenapa lo malah kabur begini?" protes Vallery kesal, "Patricia lo tinggalin gitu aja?"
"Gue nggak kabur, tapi gue yang ditinggalin. Puas lo? Temen lo itu..." Nick kehilangan kata-kata sambil menghela napas berat, "gue nebeng kalian ya?" Ia menatap Lingga, meminta persetujuan.
"Enggak boleh," tolak Vallery mentah-mentah, "balik dan temui Patricia, Nick. Lo nggak bisa begini, lo--"
"Patricia butuh waktu, Valle," sela Nick, "dia masih kaget dengan pengakuan gue tadi. Dia perlu mencerna semua ini. Lo ngerti nggak sih?"
Vallery berdecak frustasi, karena omongan Nick ada benarnya. "Lo juga, kenapa lo mendadak ngomong begitu sih? Lo bilang mau nyari timing yang pas, lah tadi apaan, Nick?" Ia malah menyalahkan Nick.
Nick mendadak mengerang frustasi kala mengingat kebodohannya barusan. "Gue juga nggak tahu, semua terjadi begitu saja, Valle. Kalau dikasih kesempatan untuk muter waktu, gue juga nggak akan rela bilang di saat begini."
"Terus rencana lo apa setelah ini?" Vallery memandang Nick dengan tatapan ibanya.
Nick melirik Vallery dan Lingga secara bergantian. "Pulang. Anterin gue pulang. Biarin gue nebeng bareng kalian."
Vallery mengigit ujung kukunya dan menoleh ke arah Lingga. "Mas, boleh?"
"Memangnya aku bisa nolak?" Lingga malah balik bertanya.
Sambil tersenyum puas, Nick menggeleng. "Enggak bisa, bro, lo nggak bisa nolak. Yuk, berangkat sekarang! Yang mana nih mobil lo?"
Vallery kembali memasang wajah sebalnya. "Lo bisa nggak sih ngomong agak sopan? Dia lebih tua dari lo jauh, Nick. Dia calon suami gue."
"Itu bukan gaya gue, Valle," balas Nick acuh tak acuh. Ia kemudian langsung masuk ke dalam mobil begitu Lingga memberitahu yang mana mobilnya.
"Maaf, ya, temen aku jadi ngerepotin," sesal Vallery tidak enak.
Lingga mendesah sambil menggeleng. "Nggak papa, teman kamu teman aku juga kan berarti."
Vallery mengangguk dan tak lupa berterima kasih, kemudian masuk ke dalam mobil disusul Lingga setelahnya.
"Gue mau tidur, ya, Mas, lo bisa nanya alamat rumah gue lewat Vallery. Dia udah sering nginep di sana."
Lingga sedikit terkejut karena saat ia masuk ke dalam mobil teman Vallery mengatakan hal tersebut dengan santainya. Bahkan kedua matanya terpejam dan kedua tangan yang menyilang di depan dada. Seperti orang yang tidak punya sopan santun. Batinnya menggerutu.
"Lo yang sopan sedikit dong, udah nebeng juga," omel Vallery sambil memukul Nick, membuat pria itu mau tidak mau membuka matanya.
"Suasana hati gue lagi nggak bagus, Valle. Bisa nggak sih lo bantu ngertiin perasaan gue?"
"Enggak. Buaya kayak lo nggak punya hak untuk gue ngertiin."
"Jahat lo!" Nick pura-pura merajuk dan menyandarkan kepalanya pada jendela mobil.
"Kalau gue jahat nggak bakal gue kasih lo masuk ke mobil calon suami gue."
"Oke, gue diam."
Vallery kemudian memakai seatbeltnya dan menyuruh Lingga agar segera menjalankan mobilnya.
Lingga terkekeh lalu mengangguk maklum. "Mau minum?" tawarnya sambil menyodorkan sebotol air mineral yang sudah terbuka.
Vallery tidak membalas, hanya menerima botol air itu dan menegaknya hingga setengah. "Ngomel-ngomel ternyata bikin haus juga."
"Memang siapa yang nyuruh kamu begitu?" Lingga mulai mengemudikan mobilnya membelah jalan raya, "nggak ada kan?"
"Abis aku tuh emosi, Mas. Jadi ceritanya itu buaya darat," Vallery menunjuk Nick lewat kaca spion depan, "suka sama temen aku--"
"Kita bertiga temenan, Valle," potong Nick mengkoreksi dari bangku belakang, kedua matanya masih terpejam namun sudut bibirnya tersenyum.
"Bisa diem nggak sih lo, Nick?" gertak Vallery galak.
"Bisa, daripada diturunin di tengah jalan kan?" Nick manggut-manggut lalu kembali dalam mode diamnya.
Di bangku kemudinya, Lingga tersenyum melihat keakraban mereka. "Jadi kalian bertiga berteman?"
Vallery mengangguk, membenarkan. "Aku sama Nick udah temanan lama, sejak kita masih TK, terus aku ketemu sama Patricia pas masuk SMA. Terus kita bertiga berteman--"
"Terus dia suka sama temen cewek kamu tadi?" tebak Lingga.
"Iya, dan parahnya beberapa hari terakhir tuh Patricia mikir kalau Nick sukanya aku."
Lingga terkekeh sambil memutar stir. "Sama, aku juga."
Vallery menerjap kebingungan. "Sama apanya, Mas?"
Lingga menyengir sambil mengusap tengkuknya dengan gerakan pelan. "Sama kayak temen kamu yang cewek tadi. Siapa namanya?"
"Patricia."
"Nah, iya, Patricia. Aku ngerasa wajar sih kalau dia bisa mikir begitu. Aku aja yang baru ketemu dia sekali sempet mikir ke arah sana juga."
"Kenapa Mas mikir begitu?" sahut Nick cepat, ia terlihat cukup terkejut dengan pengakuan calon suami Vallery, ia bahkan sampai memajukan tubuhnya untuk mendengar jawaban Lingga.
"Nick, saya tanya kamu dengan jujur, ya? Kamu jangan tersinggung."
Nick melirik Vallery sesaat lalu mengangguk yakin. "Nggak papa, Mas, gue bukan orang yang gampang baperan kok, santai saja."
"Kamu pernah tidak memandang Vallery sebagai seorang perempuan, jauh sebelum kamu ketemu Patricia?"
"Mas!" seru Vallery kesal, "kamu nanya apaan sih?"
Nick berpikir serius. "Gue nggak yakin sih, Mas, Vallery emang cantik. Tapi karena dia anak tunggal jadi dia dimanjain banget, gue nggak suka sifat manja itu. Menurut gue banyak kok cewek cantik di luar sana, Vallery emang beda, bikin nyaman gue kalau mau cerita-cerita apa aja. Dia tau baik buruknya gue, gue nggak benar-benar yakin pernah memandang Vallery sebagai seorang perempuan yang bikin gue jatuh cinta. Karena kita tumbuh besar sama-sama, dia udah kayak saudara kembar bagi gue. Jadi kayaknya nggak sempet bagi gue buat memandang dia sebagai perempuan." Ia kemudian melirik Vallery, "lo sendiri, Valle? Lo pernah nggak memandang gue sebagai lelaki lain yang bikin lo jatuh cinta."
"Enggaklah, gila aja gue," jawab Vallery cepat tanpa berpikir.
"Eh, bentar, waktu kita TK cewek paling cantik di sekolah siapa, Valle?"
"Gue lah, siapa lagi emang?"
"Berarti gue pernah suka sama lo."
Vallery buru-buru menengok ke arah bangku belakang. "Maksud lo?" tanyanya tidak paham.
"Gue pernah bikin surat cinta buat cewek paling cantik di kelas kita pas masih TK, berarti itu lo kan? Lo nggak inget?"
Dengan wajah bingungnya, Vallery menggeleng. "Masa sih lo pernah gitu?" tanyanya tak yakin.
"Pernah, Valle, bukan gue sendiri yang bacain tapi si Inggrid di depan kelas, abis itu lo nangis dan ngamuk dulu."
Vallery kemudian mencoba mengumpulkan kepingan masa lalu di Taman Kanak-kanak bersama Nick, pelan-pelan ia mulai mengingatnya. Bayangan kejadian memalukan itu muncul dengan jelas.
"Ah, gue inget sekarang, karena kejadian memalukan itu gue nyaris nggak mau sekolah kan saking malunya? Gue juga minta Papa buat mindahin gue ke sekolah lain."
Nick mengangguk semangat. "Iya, sempet ngerasa bersalah juga gue kalau inget."
"Terus kenapa kalian bisa jadi akrab begini? Vallery jadi beneran pindah nggak pada akhirnya?" Lingga yang tadinya hanya sebagai pendengar mendadak kepo dengan kisah masa lalu mereka.
"Jadi," balas Nick sambil tertawa, "tapi ternyata kita tetanggaan, Mas. Percuma juga dia pindah sekolah kalau kenyataannya gue bisa main lebih lama bareng dia."
"Ah, sebel banget gue kalau inget itu," keluh Vallery pura-pura memasang wajah memelasnya. Sedangkan Nick langsung terbahak puas.
"Ah, sebel bikin gue mendadak laper."
"Kamu lapar? Mau mampir makan?" tawar Lingga dengan sigap, "kamu mau makan apa?"
Di belakang Nic mendengus. "Kita tadi udah makan, Valle. Masa udah laper lagi? Dasar perut karet," ledeknya kemudian.
Hal ini tentu saja membuat Lingga tidak terima. Secara tiba-tiba ia menghentikan mobilnya dan berbalik menghadap Nick. "Kamu ngatain anak saya?"
"Eh?"
"Minta maaf kamu sama calon istri dan anak saya, kalau tidak mau silahkan kamu keluar, Nick."
Nick gelagapan. "Ini serius gue disuruh keluar?"
Lingga mengangguk. "Ya, kalau kamu tidak mau minta maaf."
"Iya, iya, sorry, gue cuma bercanda. Jangan dianggep serius, gue nggak bermaksud. Cuma bercanda, plis, jangan turunin gue di sini," pinta Nick dengan ekspresi memelasnya.
Lingga menatap Nick tajam. "Ini peringatan pertama, sebaiknya kamu jaga sikap kamu mulai sekarang. Apalagi kalau berhubungan dengan bayi kami."
"Baik, Mas. Tidak akan saya ulangi." Nick mengangguk patuh. Susah payah Vallery menahan tawanya.
"Kamu mau makan apa?" tanya Lingga mengalihkan pembicaraan.
Vallery tampak berpikir sejenak. "Rawon enak kayaknya."
Lingga mengulum senyumnya. "Ngidam?"
"ENGGAK, YA! Enak aja," elak Vallery ngegas dengan wajah cemberutnya.
Demi Tuhan, ekspresi Vallery saat ini benar-benar terlihat lucu sekaligus menggemaskan. Kalau saja ia sudah kehilangan kewarasannya, sudah dapat dipastikan kalau bibir Vallery mungkin akan berakhir bengkak. Beruntung ia masih waras, jadi hal itu tidak terjadi.
"Biasa aja, nggak usah ngegas," balas Lingga sambil terkekeh geli, "ngidam juga nggak papa padahal," imbuhnya kemudian, lalu menyalakan mobil dan meninggalkan kampus.
"Aku bilang enggak, ya enggak," kekeuh Vallery.
Lingga terbahak. "Iya, kamu nggak ngidam, cuma laper."
"Rese," rajuk Vallery sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Di belakang Nick hanya mampu melihat interaksi keduanya dengan tatapan iri. Ingin ikut bergabung ke salam obrolan mereka takut salah ngomong dan membuatnya berakhir disembur calon suami Vallery.
"Lo ikut kita nggak, Nick?" Vallery bertanya sambil melirik pria itu dari kaca spion depan.
Dengan ekspresi melasnya, Nick menggeleng. "Enggak usah, ogah jadi obat nyamuk kalian berdua gue, Valle. Ngalah aja deh gue. Nanti turunin gue di depan aja, biar gue nyari taksi atau ojek, kalian bisa langsung nyari makan."
"Kenapa tidak ikut kita saja makan sekalian? Saya traktir," tawar Lingga dengan nada suara santai.
"Enggak usah, Mas, gue nggak selera makan," tolak Nick sambil menggeleng lemas, kepalanya ia sandarkan pada jendela, meratapi nasibnya saat ini.
"Nggak usah terlalu dipikirin lah, Nick, gue yakin Patricia cuma butuh waktu buat nerima lo."
"Gue tahu kalau gue bakal ditolak, Valle, nggak usah ngehibur gue."
Vallery dan Lingga saling bersitatap lalu melirik Nick dengan tatapan iba. Ia sendiri juga cukup bingung harus menghibur sahabatnya ini bagaimana.
"Oke, gue nggak akan ngehibur lo, tapi lo perlu makan. Lo pulang setelah--"
"Enggak usah," tolak Nick, "gue belum laper."
"Baiklah, tapi kalau lo butuh apa-apa bisa hubungin--"
"Saya," sahut Lingga cepat, memotong ucapan Vallery, "kamu sedang hamil, Vallery," imbuhnya memperingati sang calon istri.
Vallery menghela napas tidak percaya, ternyata calon suaminya ini lumayan cukup posesif, ya.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Mak sulis
aku suka cerita ini..ringan tapi enak dibaca...natural..semoga gk ada ulat keketnya..
lanjut cusss..
2023-06-05
1
Tari
udah ikutan mkn ja nick..... biar kuat nerima kenyataan....... 🤗🤗🤗😜
2021-11-23
2
♡Ñùř♡
😅😅😅lucu banget sih mereka
2021-11-23
2