...^^^^^^^^^^^^...
Vallery mempercepat langkah kakinya saat memasuki rumah, ekspresi wajahnya tampak bahagia. Bagaimana tidak bahagia, Papanya yang super sibuk dan nyaris tak pernah meluangkan waktu makan malam bersama dengannya semenjak dirinya masuk SMP. Tiba-tiba memberitahu kalau malam ini, beliau ingin mengajaknya makan malam bersama. Jadi, begitu selesai mengerjakan tugas kelompok di rumah Tari, salah satu teman kampusnya. Ia langsung mengemudikan Honda Jazz miliknya menuju rumah, ia pun sampai harus repot-repot menolak ajakan teman-teman yang lain untuk nonton film di bioskop.
"Kenapa lari-lari sih, Non?" sambut Bik Jum, pembantu sekaligus pengasuhnya sejak Mamanya meninggal.
"Papa udah pulang, Bik?" tanya Vallery, memilih mengabaikan pertanyaan Bik Jum. Kedua matanya celingukan mencari keberadaan sang Papa.
"Sudah, Non, sekarang Bapak masih di ruang tamu. Tapi mending Non Vallery mandi dulu, terus dandan yang cantik, baru turun ke ruang makan. Bik Jum masak sambal goreng ati kesukaan Non Vallery loh," ujar Bik Jum sembari menggiring tubuh Vallery agar segera naik ke lantai atas.
Meski awalnya ingin memprotes, namun akhirnya Vallery mengangguk setuju dan langsung bergegas naik ke kamarnya. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, ia segera turun ke lantai bawah dan langsung menuju ruang makan. Langkah kakinya mendadak berat saat menemukan seorang wanita bertubuh ramping dengan balutan dress selutut bergaris, sedang sibuk menata makanan di meja makan. Pandangannya lalu beralih pada sang Papa yang terlihat begitu bahagia menatap wanita itu.
Mendadak ia ingin marah.
Pemandangan macam itu? Batin gadis itu sambil mengepalkan telapak tangannya geram. Ia benci situasi ini. Serius, wanita muda itu ingin dijadikan istri oleh Papanya? Jadi anak sulung Papanya atau Kakak untuknya saja wanita itu masih cocok loh, bagaimana Papanya ingin menjadikan wanita itu untuk jadi istrinya dan menjadi Ibu sambung untuknya.
Dalam lamunannya, Vallery menggeleng. Membayangkan memiliki ibu semuda itu bagaikan mimpi buruk baginya. Lantas bagaimana jadinya jika semua itu menjadi kenyataan? Astaga, Vallery tidak mau.
"Vallery? Kenapa kamu hanya berdiri di situ? Ayo, kemarilah!"
Vallery berdecih muak. Ia tidak suka dengan sikap sok ramah sekertaris Papanya itu. Ia ingin marah. Marah dengan Papanya dan juga situasi ini. Tapi, Vallery sadar betul ia tidak bisa marah, setidaknya untuk sekarang ia harus menjaga sikap.
"Sayang, kemarilah! Kita makan sama-sama."
Kalau saja ia benar-benar tidak punya sopan santun atau pun tata krama, ia pasti akan langsung memutar kedua bola matanya sekarang juga. Tapi sayang, ia masih memiliki keduanya, sehingga dengan langkah berat ia mendekat ke meja. Menyapa wanita itu seadanya, lalu duduk di sisi kiri Gerald setelahnya.
"Biar saya ambilkan," ucap Riana saat melihat Gerald hendak menyentuh entong nasi. Ia kemudian meraih piring Gerald dan mengisinya dengan seentong nasi penuh, "segini cukup?" tanyanya sambil menoleh ke arah Gerald.
Sambil tersenyum Gerald mengangguk.
"Mau pake lauk apa?"
"Sayur sop sama tahu aja. Sambalnya jangan lupa, Riana."
Riana mengangguk patuh, lalu mengambil sayur sop dan tahu kuning goreng dan sesendok sambal tomat.
"Ayam gorengnya tidak?" tawar Riana berniat menggoda.
Gerald mendengkus dengan ekspresi cemberut dibuat-buat. "Kamu kan tahu kalau kolesterol saya naik beberapa hari yang lalu, Haris sudah mewanti-wanti saya untuk tidak makan gorengan tapi kamu malah menawarkan ayam goreng. Sengaja sekali," gerutunya kemudian.
Melihat ekspresi cemberut yang ditunjukkan Gerald, Riana tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Wanita itu terlihat bahagia saat menggoda sang kekasih. Ia seakan lupa keberadaan Vallery yang tadi sempat membuatnya gugup setengah mati, yang saat ini sedang menatapnya makin tak suka. Ya, wajar saja jika Vallery tidak suka dengannya. Jarak umurnya dengan Gerald terlalu jauh, sehingga wajar jika Vallery beranggapan jika dirinya hanya menginginkan harta milik Gerald. Jangankan Vallery, beberapa rekan kantornya pun kebanyakan berpikir demikian. Tersinggung, sudah jelas dirasakan Riana. Tapi ia sadar betul jika semua itu adalah resiko yang harus diterimanya, suka atau tidak.
"Vallery, siniin piring kamu, biar saya ambilkan," ucap Riana sembari menatap Vallery lembut.
Tangannya terulur untuk mengambil piring yang ada di hadapan Vallery. Tapi gadis itu hanya menatapnya sekilas lalu menggeleng sebagai tanda jawaban. Meski kecewa, Riana mencoba untuk tersenyum sambil mengangguk maklum.
"Tidak perlu. Saya terbiasa melakukannya sendiri."
"Vallery butuh waktu," bisik Gerald, menyemangati Riana. Tangannya kemudian meremas tangan Riana yang tergeletak di atas meja. "Sekarang kita makan dulu, oke. Percaya dengan saya kalau semua akan baik-baik saja," imbuhnya kemudian.
Riana mengangguk, lalu mulai mengambil nasi dan lauk untuknya sendiri. Suasana makan malam kali ini terasa sepi, tidak ada suara selain dentingan sendok dan garpu membentur piring. Semua fokus dengan kegiatannya masing-masing, atau mungkin meraka hanya pura-pura fokus agar makan malam ini tidak berakhir kacau.
Setelah berhasil menghabiskan sepiring nasi beserta sambal goreng ati kesukaannya, Vallery langsung berdiri.
"Aku sudah selesai. Dan aku akan--"
"Duduk dulu," sela Gerald sambil meletakkan gelasnya kembali di atas meja, ia sedikit mendongak ke arah putrinya, menatap Vallery agar menuruti perintahnya.
Sambil berdecak samar, Vallery akhirnya kembali meletakkan bokongnya di kursi.
"Papa mau ngomong," ucap Gerald hati-hati.
Vallery diam. Ia sudah bisa menebak apa yang ingin diucapkan Papanya, tapi entah kenapa Vallery tidak ingin mendengarnya secara langsung. Dilirik Riana dengan tatapan tidak suka, membuat wanita itu menunduk dan makin gugup.
"Papa sudah melamar Riana secara pribadi."
Rahang Vallery mengetat, menahan amarah. Jadi papanya ini benar-benar akan menikahi wanita ini? Tanpa mempertimbangkan perasaannya. Kenapa Papanya begitu terhadapnya, apa wanita itu jauh lebih penting ketimbang perasaannya.
"Lalu?" Vallery bertanya dengan bibir bergetar menahan tangis.
"Riana akhirnya menerima, setelah Papa ditolak beberapa kali. Lamaran resmi akan diadakan bulan depan, tanggal pastinya akan diadakan sesuai jadwal kosong kamu. Tangg--"
"Papa bahkan nggak meminta persetujuan Valle?" potong Vallery penuh kekecewaan.
"Papa sudah pernah meminta izin sama kamu, Valle. Apa kamu lupa? Lagian Papa nggak butuh persetujuan kamu, yang Papa butuhin itu hanya meyakinkan kamu agar kamu setuju," tegas Gerald tak ingin dibantah. Membuat kedua perempuan beda usia itu melotot kaget.
"Apa?!" desis Vallery tak percaya.
"Mas, kenapa kamu ngomong begitu. Itu akan membuat Vallery semakin membenciku," protes Riana menatap Gerald tidak suka. Baginya kalimat kekasihnya itu benar-benar akan membuat keadaan semakin kacau.
"Tanpa kalimat itu pun saya sudah membenci anda," ketus Vallery langsung berdiri dan meninggalkan meja makan begitu saja. Mengabaikan teriakan Gerald yang memanggil-
manggil namanya dan memerintahnya untuk tetap di sini. Namun, gadis itu memilih untuk menulikan kedua telinganya dan terus mempercepat langkah kakinya menaiki anak tangga.
Riana mendesah lelah. "Kenapa kamu malah memperkeruh keadaan, Mas. Perbedaan umur kita terlalu sulit untuk Vallery terima dan kamu malah bilang kalau kamu tidak butuh persetujuan putri kamu. Kamu memang tidak niat untuk menikahi aku?" Kedua matanya menatap Gerald tajam.
"Kenapa kamu bicara seperti itu, kamu pikir umur saya cocok untuk bermain-main dengan suatu hubungan? Saya bahkan sudah membeli cincin untuk kamu, dan kamu masih berpikir saya tidak serius?"
Riana mendesah sekali lagi, diurut pelipisnya yang terasa berdenyut kencang.
"Kalau kamu serius, kamu harusnya nggak ngomong kalau kamu nggak butuh persetujuannya, Mas. Padahal persetujuan yang paling kamu butuhin itu dari Vallery, putri kandungmu sendiri."
"Maaf, saya tadi emosi," sesal Gerald. Gurat-gurat penyesalan terlihat jelas di wajah tampannya. Meski sudah berumur 46tahun, ketampanannya seolah tidak memudar. Dan mungkin ini yang membuat Riana jatuh hati padanya.
"Kamu tidak perlu meminta maaf padaku karena yang lebih pantas mendapatkan maaf dari kamu itu Vallery."
"Tapi saya membuat kamu kecewa."
"Vallery lebih kecewa daripada aku, Mas."
"Lalu saya harus bagaimana?"
"Minta maaf dengannya, tapi jangan terlalu memaksakan. Ajak ngobrol baik-baik. Jangan langsung memintanya untuk merestui hubungan kita. Semua butuh proses, sayang," bisik Riana sambil meremas telapak tangan Gerald. Kedua mata menatap sang kekasih dengan penuh kelembutan, membuat pria yang sangat cocok dijuluki hot duda ini tersenyum bahagia.
"Saya senang karena jatuh cinta dengan orang tepat," balas Gerald ikut berbisik.
"Dan semoga pilihan kita untuk menjalin hubungan ini adalah pilihan yang tepat." Batin Riana sambil memaksakan senyumnya.
Tbc,
Mohon dukungannya gaessss🙏🙏🙏
Like dan komennya ditunggu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Mak sulis
semoga ini memang pilihan yg tepat..baik luar dalamnya..dan jangan sampe Riana itu punya muka dua yg cuma akting dan baik di depan orangnya saja
2023-06-01
0
◦•●◉✿miamustofa✿◉●•◦
smangaaaattt.. 😘😘
2022-07-02
0