######
"Gimana kemarin, Valle? Lo udah kasih tahu dia?" tanya Patricia saat ia dan Vallery duduk di bangku kantin. Nick sendiri sedang memesan makanan untuk mereka.
Vallery mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pada Patricia. Gadis itu tampak terkejut dengan apa yang ditunjukkan sahabatnya. Ia terbengong selama beberapa saat dan menatap Vallery serius.
Tak lama setelahnya, Nick ikut bergabung. Ia membuka teh botolnya dan duduk di sebelah Vallery.
"Itu temen lo liat apaan sih, sampai segitunya?" tanya Nick penasaran, setelah meneguk minumannya.
Tanpa berkata apapun, Patricia menyodorkan ponsel Vallery.
"Kenapa? Lo pengen punya beginian juga? Gampang kali, Pat, lo tinggal cari pendonor ****** yang cocok. Sebagai temen yang baik, gue bersedia kok dites, bisa jadi pendonor buat lo apa enggak. Tinggal atur waktu dan tempatnya. Aduh!" Nick mengaduh karena pukulan sendok yang Patricia layangkan, tak lama setelahnya ia malah terbahak puas, sedang Patricia memasang wajah kesalnya.
"Sembarangan!"
Nick mulai menghentikan tertawanya dan menoleh ke arah Vallery. "Punya lo?"
Vallery mengangguk setelah menegak air mineral dinginnya.
"Udah berapa bulan?" tanya Nick sambil menyerahkan ponsel Vallery.
"6 minggu."
"Sehat-sehatkan kaliannya? Nggak ada istilah morning sick atau apapun itu?" Nick terlihat sedikit cemas.
Vallery menggeleng sebagai tanda jawaban. "Untungnya enggak," secara reflek ia menyentuh perutnya, "anak gue pinter."
Nick mangguk-mangguk paham. "Syukur deh, lega gue dengernya. Gue sempet khawatir lo bakalan muntah-muntah atau mual-mual dan sejenisnya."
Vallery menggeleng sambil memamerkan senyuman terbaiknya. "Aman, Nick. Thanks udah perhatian."
"Kalau naksir nggak usah terlalu ketara gitu, Nick. Kasian Vallery ntar nggak enak, karena jelas-jelas lo bakalan ditolak," sahut Patricia sambil berdecak dan geleng-geleng kepala.
Awalnya Nick tidak langsung merespon, pria itu diam beberapa saat lalu menggeleng tidak paham. "Kalau cemburu bilang," decaknya kemudian.
"Lo pikir gue gila?" balas Patricia tidak terima, gadis itu mendengkus tidak percaya setelahnya.
Nick terlihat acuh tak acuh. "Ya, mana gue tahu, bisa jadi juga kan? Kan katanya cinta itu bisa bikin orang gila."
"Gue nggak begitu, ya. Lo jangan sembarangan!"
"Ya, kan gue cuma bilang siapa tahu." Nick kembali membalas dengan wajah santainya, sedangkan Patricia semakin tersulut emosinya.
"Bisa nggak berantemnya diskip dulu, gue mendadak pusing denger kalian berantem gini deh," lerai Vallery menatap keduanya secara bergantian.
"Sorry," sesal Patricia.
"Iya, nggak papa."
Vallery terkekeh saat Nick menoleh ke arahnya dengan wajah jengkel. Bibirnya kemudian bergerak tanpa menimbulkan suara.
"Temen lo itu lho!"
"Hahaha."
Kali ini Vallery tidak dapat menahan tawanya. Nick semakin kesal, sedang Patricia kebingungan.
"Kenapa lo, Valle?"
"Enggak." Vallery menggeleng sembari meringis, setelah tawanya reda.
"Aneh lo," komentar Patricia sambil berdiri, "gue kebelet pipis deh. Gue ke toilet dulu, ya. Valle, jagain makanan gue ya, biar nggak dimakan Nick."
Vallery mengacungkan jempolnya sambil mangguk-mangguk. Nick sendiri hanya mendengkus saat mendengar ucapan Patricia.
Baru setelah Patricia hilang dari pandangan mereka, ia berkata, "Temen lo itu lho."
"Cantikkan?"
"Iya. Tapi kesel juga gue ngadepin dia yang lama-lama begitu, Valle. Jadi cewek kok nggak peka-peka," gerutu Nick dengan wajah kesalnya.
Kali ini Vallery hanya tersenyum dan mendengarkan keluahan sobatnya sejak ia duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Persahabatan mereka memang sudah terjalin selama itu. Keduanya baru bertemu dengan Patricia saat masuk SMA.
"Lo tahu sendiri lah, Valle, dari pertama lo kenalin gue ke Patricia, gue selalu ngintilin dia. Masa dia nggak ngerasa sih? Mana begonya pas kita masuk Universitas dia malah mikir gue naksir lo lagi, akhir-akhir ini makin jadi pula. Gila nggak tuh? Heran gue." Nick mengeluh kesal dengan tingkat kepekaan Patricia.
"Lo juga yang salah. Kalau lo emang suka sama dia, ungkapin dong! Jangan lempar kode sembunyi tangan. Ya, kalau gitu gimana Patricia bisa tahu sih, Nick? Patricia bukan cenayang kali," balas Vallery tidak terima karena Nick hanya menyalahkan Patricia, padahal jelas-jelas ia sendiri juga salah.
"Males. Cinta gue nggak untuk diumbar-umbar. Lagian, gue nggak mau ngehacurin persahabatan kita cuma gara-gara perasaan gue, Valle."
Vallery menghela napas."Kalau lo nggak pernah bilang ke dia, gimana dia bisa tahu sih, Nick?"
"Nanti," balas Nick singkat.
"Nanti-nanti terus, tapi nggak lo ungkapin juga. Keburu disamber orang dianya, Nick," decak Vallery sebal.
"Gue aja sabar kok, kenapa lo yang ngebet deh, Valle. Untuk momen penting begini, perlu timing yang pas tahu."
"Tapi lama-lama gemes juga gue, Nick."
"Udah berhenti, orangnya dateng," bisik Nick menopang kepalanya, pura-pura tidak melihat Patricia yang mulai berjalan ke arah mereka. Tanpa protes, Vallery langsung membungkam mulutnya.
"Kenapa obrolan kalian mendadak berhenti setelah gue dateng?" tanya Patricia curiga.
Vallery dan Nick saling berpandangan lalu menggeleng dengan kompak setelahnya.
"Kalian makin mencurigakan." Patricia memandang Nick dan Vallery bergantian.
Namun, setelah pesanan mereka datang ia mengabaikan dan lebih memilih untuk fokus dengan semangkuk sotonya yang masih mengepul. Detik berikutnya, Nick bernapas lega sedang Vallery menendang kaki Nick untuk mengungkapkan kekesalannya.
"Ngomong-ngomong, gimana soal Papa lo, Valle? Udah lo kasih tahu tentang hal ini?" Patricia tiba-tiba memecah keheningan, Nick mendadak ikut penasaran. Ia menurunkan sendoknya yang tadi siap masuk ke dalam mulut dan fokus menunggu jawaban Vallery.
Vallery merasa sedikit risih ditatap oleh keduanya. Ia berdecak sambil memprotes, "Biasa aja mata kalian bisa nggak sih? Serem tau."
"Belum lo kasih tahu?" tebak Nick mencoba mengabaikan protesan Vallery.
"Udah kok," balas Vallery santai, ia mencoba mengabaikan tatapan kedua sahabatnya yang masih menatapnya serius.
"Terus?"
"Lingga dihajar sama Papa. Mukanya sampai bonyok," ungkap Vallery dengan perasaan bersalah.
"Kenapa bisa dia dihajar bokap lo?
Nick mendadak snewen dengan pertanyaan Patricia. "Ya, menurut lo lah, Pat, bapak mana yang tahan untuk nggak ngehajar pria yang udah ngehamili putrinya? Nyaris nggak ada kan? Mereka semua pasti--"
"Bukan itu maksud yang gue tanyain, Nick. Lo bisa nggak bisa berhenti sok tahu gini?" Giliran Patricia kini yang merasa snewen, ia kemudian beralih pada Vallery kembali, "maksud gue kenapa..." Ia mendadak berhenti sambil garuk-garuk kepala, "gue bingung deh mau manggil bapaknya anak lo pake panggilan apa. Nama nggak sopan, Mas kok rasanya sok akrab, Om lebih kedengeran nggak sopan lagi."
"Panggil nama aja udah, Pat. Kapan-kapan kalau udah kenalan langsung, lo bisa minta sarannya kalau mau panggil dia siapa." Vallery terkekeh sambil menyeruput es tehnya.
"Lebih nggak enak dong gue kalau panggil nama. Gue sebut dia aja ya?" tanya Patricia meminta izin, Vallery kembali terkekeh dan mengangguk, mengiyakan, "jadi kenapa dia bisa dihajar bokap lo?"
"Dia bilang mau nikahin gue."
"Dia bilang gitu?" tanya Nick takjub.
Vallery mengangguk yakin. "Jadi, kemarin abis kita pulang dari cek kandungan dia mampir ke rumah gue dan ketemu Papa. Dia bilang mau nikahin gue dan gue bilang gue hamil. Papa gue murka, sampai pagi tadi aja kita belum bertegur sapa. Gue tahu Papa keliatan kecewa banget, semalem beliau hampir kayak nangis putus asa. Ini kedua kalinya gue liat Papa gue begitu, pertama saat beliau kehilangan Mama." Mendadak ia merasakan kedua matanya memanas, perasaan bersalah, sedih, khawatir dengan kondisi Papanya, semua bercampur jadi satu, "gue merasa bersalah banget, Pat, Nick."
Nick menghela napas sambil mengelus pundak Vallery. "Nggak papa, Valle, apa yang lo rasain saat ini adalah hal yang wajar. Kita semua ngerti, gue juga yakin bokap lo ngerti kalau lo nggak bermaksud bikin beliau kecewa."
"Tapi gue udah bikin beliau kecewa, Nick, padahal gue pernah janji sama Mama kalau gue nggak bakal kecewain Papa. Tapi yang terjadi malah begini." Isak tangis Vallery kali ini benar-benar pecah. Kedua sahabatnya itu hanya menghela napas sambil menatapnya iba.
"Udah, nggak usah terlalu lo pikirin, lo nggak boleh stress, Valle, kasian bayi lo," saran Patricia sambil menyodorkan tisu, "masalah bokap lo, yang penting lo baikan dulu sama beliau. Minta maaf karena udah ngecewain beliau, turuti apapun yang beliau minta supaya lo dimaafin."
"Lo yang bener aja dong, Pat, nanti kalau Om Gerald minta gugurin kandungan Valle gimana?"
"Gue yakin Om Gerald nggak akan setega itu. Percaya sama gue," ucap Patricia yakin.
Vallery mencoba memaksa senyumnya. "Ya, semoga aja begitu."
######
"Hai," sapa Lingga saat Vallery masuk ke dalam mobilnya.
Siang ini, ia memang pulang lebih awal untuk menjemput Vallery. Karena ada beberapa hal yang harus mereka bahas.
"Hai," balas Vallery sambil memasang seatbelt-nya, "kantor nggak sibuk?" sambungnya berbasa-basi.
Lingga mengangguk sambil memutar stir kemudinya. "Tapi masih bisa ditanggani Will kok, santai aja. Aku bisa cek laporan nanti malam, sekarang prioritasku kamu dulu, kita harus segera cari jalan keluarnya."
Vallery diam sesaat lalu melirik Lingga ragu. "Luka kamu?" Ia bertanya dengan nada ragu.
Peka dengan maksud dari pertanyaan Vallery, Lingga langsung mengangguk. "Udah nggak seperih kemarin kok, udh aku kasih obat. Kamu nggak usah khawatir, dan thanks karena udah khawatir."
"Aku minta maaf atas nama Papa aku," sesal Vallery dengan kepala sedikit menunduk karena perasaan bersalah.
"Nggak papa, aku memang pantas mendapatkannya, Vallery. Kamu tidak perlu merasa bersalah." Lingga tersenyum, meyakinkan Vallery agar tidak perlu mencemaskannya, "kamu sendiri, gimana kondisi kamu?"
Vallery menerjap bingung. "Aku? Emang aku kenapa? Aku baik-baik saja kok."
Lingga bingung sendiri. "Maksudku... Bagaimana ya... Dia... anak kita, dia tidak menyusahkan kamu, kan? Semisal bikin kamu ngalamin morning sick dan semacamnya?"
"Ohh!" Vallery berseru sambil mangguk-mangguk paham, "ya, kami baik-baik saja kok. Dia tidak menyusahkanku sama sekali, justru dia sangat membantu meningkatkan ***** makanku." Tangannya secara reflek meraba perutnya yang masih rata.
Lingga mengangguk lega. "Syukurlah. Aku lega mendengarnya. Kalau kamu butuh sesuatu atau ingin makan sesuatu, kamu bisa langsung menelfonku. Akan aku usahakan untuk nyariin, jam berapa pun kamu menginginkannya, jangan ragu untuk menelfonku."
"Ngidam maksudmu?"
Lingga menggeleng. "Bukan. Nggak harus karena itu, boleh juga bukan karena ngidam."
Vallery berpikir sejenak lalu mengangguk patuh. "Oke. Nanti kalau aku mulai ngerasa ngidam aku bakal telfon, jam berapa pun itu. Kamu nggak boleh protes, ya?"
Di sampingnya, Lingga tersenyum sambil mengangguk. "Iya, aku nggak bakal protes. Aku bakal nunggu banget telfon dari kamu." Ia mengetuk stir kemudinya pelan sambil berusaha mencari topik pembicaraan yang lain, "lalu bagaimana dengan Papa kamu?"
Ekspresi wajah Vallery berubah sedih. "Sejak semalam, aku belum bertemu dengan Papa lagi. Sepertinya beliau sangat marah denganku."
"Kalau Mama-mu?"
Vallery kemudian teringat sesuatu. "Kamu belum pernah bertemu Mama-ku ya?"
Lingga meringis. "Dengan Papa-mu saja kan aku baru bertemu kemarin, Valle."
"Iya, juga ya." Vallery berguman sendiri, "ya, udah ayo kita temuin Mama-ku. Kamu nggak keberatan kan?"
"Tentu saja. Beliau tinggal di mana?"
Vallery kemudian menyebutkan alamat tempat peristirahatan Mama-nya. Hal ini tentu saja membuat Lingga terkejut bukan main.
"Sorry?" Lingga bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan Vallery.
"Iya, itu alamat TPU. Mama-ku udah beristirahat tenang di sana. Kamu nggak salah denger."
"Maaf, aku nggak bermaksud..."
"Enggak papa, kamu tidak perlu merasa bersalah begitu. Cepat atau lambat kamu juga akan tahu, kamu tidak perlu khawatir tidak memiliki ibu mertua nantinya, karena hal itu tidak akan terjadi. Papa-ku punya kekasih dan keduanya berencana ingin menikah nantinya. Dan jangan terkejut jika melihat calon ibu mertuamu nanti," kata Vallery menjelaskan.
"Memang kenapa?" Lingga bertanya dengan nada penasaran.
"Karena mungkin dia lebih muda ketimbang usiamu."
"APA?!"
Lingga tidak dapat menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Sedangkan hal ini tentu saja langsung membuat Vallery terbahak. Karena menurutnya ekspresi Lingga sangatlah lucu saat terkejut.
"Kamu sedang bercanda?" Lingga berusaha menghilangkan rasa terkejutnya, "syukurlah aku pikir kamu serius."
Vallery kembali tertawa. "Aku serius. Umurnya mungkin masih di bawah 30 tahun. Kamu sekitar segitu kan?"
"Bahkan lebih. Umurku sudah 34tahun, Vallery. Sebentar lagi 35 tahun."
"Apa?!" Kali ini Vallery tidak dapat menahan rasa terkejutnya, "beneran dihamilin Om-om gue rupanya," gumannya pasrah.
"Kamu bicara sesuatu?"
"Ha?" Vallery menerjap kaget lalu menggeleng, "enggak, nggak papa."
Astaga, ada apa dengan takdir mereka kenapa begini? Ayahnya akan menikah perempuan yang jauh lebih muda darinya, sedangkan dirinya akan menikah dengan pria yang jauh lebih tua dengannya, bahkan lebih tua dari calon ibu sambungnya? Kalau sampai Oma-nya tahu, tidakkah beliau akan sangat terkejut sekaligus merasa terpukul? Membayangkannya saja Vallery tidak sanggup, apalagi menghadapinya langsung? Mampukah ia menghadapi gunjingan tetangga dan kerabat dari almarhum Mama-nya yang terkenal bermulut pedas itu? Ya, Tuhan, Vallery merasa tidak sanggup.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Mak sulis
penasaran
2023-06-04
0
Sri Widjiastuti
g usah dibayangin, dijalani aja dg baik.. namanya tanggung jawab.. orang lain bisanya ngomong...
2021-11-22
2
TePe
wakakakaka.....gpp om om nya ganteng dan tajir mlintir ini khan....
2021-10-13
1