"Jangan terus menerus mengabaikan Farah. Jangan buat aku merasa bersalah telah memaksanya masuk ke dalam rumah tangga kita." Mohon Nadia.
"Aku harus ke kantor, jangan bahas ini lagi." Ujar Zidan.
Nadia hanya bisa menarik nafas berat, sejujurnya ia pun merasa sangat sulit. Melihat wajah sendu Farah, hatinya ikut berdenyut sakit, namun ia pun tidak sampai hati terus menerus memaksa Zidan untuk membuka hati, walau dia sangat tahu jika Zidan masih begitu mencintai Farah.
****
Taksi online yang ia pesan pagi ini mulai melaju di jalanan ibu kota. Farah menangis dalam diam. Air mata yang menggenang di kelopak matanya, ia biarkan mulai menetas membasahi pipi mulusnya.
Sopir taksi yang sesekali melihatnya dari spion mobil, tak lagi ia hiraukan. Rintik hujan pagi hari di bulan Desember, tidak mampu menyamarkan air mata yang semakin deras menetes di pipinya.
Sesekali senyum miris terlihat di bibir, yah dia sedang menertawai kebodohannya sendiri yang begitu percaya diri masuk ke dalam rumah tangga laki-laki yang dulu dia abaikan, dan berharap bisa kembali mengais sisa-sisa cinta yang mungkin masih ada di hati laki-laki itu. Hingga getaran ponsel dari dalam tas tangannya, membuyarkan lamunan dari kisah hidupnya yang begitu menyedihkan.
"Iya Kak." Jawab Farah setelah mengusap ikon berwarna hijau di layar ponselnya.
"Ra tolong pagi ini kamu ke kantor Zidan dulu ya, ambil dokumen yang kita perlukan untuk penyelidikan lebih lanjut." Pinta Rehan.
"Kak aku ngga bisa, suruh Rian saja yang melakukannya." Jawab Farah menolak.
"Itu akan membuang-buang waktu Ra. Lagi pula Rian masih berada di Bandung." Kekeh Rehan.
Meskipun kesal, Farah terpaksa mengiyakan perintah dari atasannya itu. Mobil yang sejak tadi melaju pelan di jalanan, berbalik arah karena tujuan Farah pagi ini berubah.
Dadanya kembali berdebar tidak karuan, saat taksi yang ia tumpangi sudah berhenti di depan gedung yang menjulang tinggi.
Farah menarik nafasnya dalam-dalam, berharap emosi yang sempat memuncak semalam, tidak akan lagi mencuat agar ia bisa mengurus semua ini baik-baik.
"Terimakasih Pak" Ucapnya sembari mengulurkan ongkos pada sopir taksi lalu keluar dari dalam mobil.
***
Sofa yang ada di lobi menjadi tempat Farah menunggu, setelah mendapat informasi jika Pimpinan perusahaan belum tiba. Tentu saja ia tahu akan hal itu, karena saat ia keluar dengan sesak di dadanya, laki-laki itu masih berada di rumah.
Meskipun sudah mendapat informasi dari pimpinan untuk di suruh menunggu di dalam ruangan, Farah enggan untuk melakukannya.
"Mbak Farah kan ?" Sapa seseorang.
Farah menoleh ke asal suara, lalu tersenyum.
"Aku Rio Mbak, anaknya Ibu Mila. Masih ingatkan ?" Ucap laki-laki itu lagi.
Farah mengangguk.
"Aku ingat kok." Jawabnya.
"Jadi gimana kabar Mbak sekarang ?" Tanya Rio.
"Alhamdulillah, baik." Jawabnya. "Kamu kerja di sini ?" Tanyanya.
Laki-laki mudah itu mengangguk.
"Mbak ke sini ngapain ?"
"Urusan pekerjaan, perusahaan ini menjalin kerja sama dengan Firma Hukum kami." Jawab Farah.
Laki-laki mudah itu mengangguk mengerti, lalu pamit melanjutkan pekerjaannya. Sebelum pergi, Rio meminta nomor ponsel Farah, dan Farah pun tidak keberatan saling bertukar kontak.
Di pintu masuk, Zidan terdiam sesaat. Menatap dengan perasaan yang campur aduk, saat melihat Farah yang terlihat saling mengenal dengan salah satu karyawannya.
"Kenapa tidak menunggu di ruangan ku ?" Tanya Zidan.
Farah menoleh, wajahnya datar tanpa ekspresi, tapi dengan tatapan yang penuh kesedihan membuat Zidan sesak.
Bagaimana tidak, jelas sekali ia melihat Farah tersenyum tanpa beban dengan karyawannya tadi, tapi sekarang istrinya ini menatapnya seperti ini lagi.
Permohonan Nadia agar ia memperlakukan Farah dengan baik, kembali melintas. Sungguh dia pun tersiksa terus menerus mengabaikan wanita yang sangat dia cintai ini.
"Dokumennya ada di ruangan ku." Ucap Zidan lalu melangkah mendahului Farah.
Farah mengikuti Zidan dari belakang, dadanya kembali bergemuruh. Jelas sekali tadi ia menatap Zidan yang menatapnya hangat, tapi dalam sekejap mata laki-laki yang kini berjalan di hadapannya kembali terlihat acuh dan dingin.
Denting lift berbunyi namun Farah masih terdiam di tempatnya. Berharap ada karyawan lain yang ikut masuk kedalam lift ini agar ia tidak berdua saja dengan Zidan di dalam kotak besi ini.
Zidan yang sudah masuk ke dalam lift, kembali berbalik lalu menarik tangan istrinya masuk ke dalam.
Farah akhirnya masuk ke dalam lift sambil menatap nanar pergelangan tangannya yang baru saja di genggam oleh suaminya. Meskipun kakinya begitu berat melangkah masuk ke dalam lift, namun ia tetap melakukannya.
"Lift ini khusus, mau sampai besok pun kamu menunggu, tidak akan ada karyawan lain yang menggunakan lift ini." Ujar Zidan.
Farah hanya bisa menghembuskan nafasnya yang begitu berat. Bukankah lebih baik laki-laki ini memakinya lantang, atau langsung menceraikan, dan tidak bersikap seperti ini.
Farah merasa Zidan ingin sekali menahannya pergi, tetapi sikap acuh dan dingin yang sering Zidan tunjukan padanya, membuat Farah semakin ingin pergi.
"Ibu memintamu datang." Ucap Zidan saat lift mulai naik menuju lantai tempat di mana ruangannya berada.
Farah menoleh, sejenak ia menatap wajah tampan suaminya dari samping. Kemudian membalas dengan gelengan kepala.
"Kamu harus mendekatkan diri dengan keluargaku Farah." Tegas Zidan.
"Buat apa ?" Tanya Farah dengan mata yang mulai berkaca.
"Karena kamu istri ku sekarang." Jawab Zidan.
" Buat apa aku mendekatkan diri dengan keluargamu, sementara kamu selalu membentangkan jarak, dan untuk apa aku bersusah payah mendapatkan perhatian mereka, sementara kamu saja mengabaikan aku." Lirih Farah.
"Seharusnya saat kamu menerima permintaan Nadia waktu itu, kamu sudah memikirkan hal ini akan terjadi." Ucap Zidan dengan nada dingin menusuk.
Farah tersenyum miris bersamaan air mata yang tidak lagi bisa ia bendung menetes membasahi pipi mulusnya.
Bunyi denting lift mengakhiri percakapan yang begitu menyesakkan dada. Farah mengusap buliran bening yang masih menggenang di pelupuk matanya, lalu ikut melangkah keluar dari dalam lift.
"Hapus rekaman CCTV yang di lift direktur hari ini." Perintah Zidan pada sekretaris nya, sebelum ia masuk ke dalam ruangan.
Farah berusaha untuk setenang mungkin, lalu ikut masuk ke dalam ruangan yang dulu selalu ia datangi saat menjadi sekretaris sementara Dimas, Ayah mertuanya.
Zidan sudah melangkah menuju kursi kebesarannya, sedangkan Farah masih berdiri di dekat pintu ruangan yang kembali ia tutup rapat.
"Kamu hanya akan berdiri di situ ?" Tanya Zidan sambil menatap istri keduanya dengan alis yang berkerut.
"Aku hanya datang mengambil berkas yang diminta Kak Rehan." Jawab Farah tidak kalah acuh. Tangannya terkepal erat menahan kesal karena sikap laki-laki yang sudah kembali sibuk dengan layar benda lipat di hadapannya.
Bermenit-menit berlalu, Farah masih menahan rasa pegal di betisnya, karena berdiri terlalu lama dengan high heels yang membalut kakinya.
"Bawa berkas yang aku minta di siapkan pagi ini ke ruanganku." Perintah Zidan setelah interkom sudah terhubung di meja sekretarisnya.
"Permisi Pak."
"Berikan padanya." Perintah Zidan lagi.
Wanita dengan rok selutut itu mengangguk, lalu menyerahkan berkas yang ia bawa pada Farah.
"Terimakasih." Ucap Farah lalu melangkah keluar dari ruangan yang seakan membuat jalan nafasnya terhambat, tanpa memperdulikan laki-laki yang masih memperhatikan dirinya berlalu dari sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 294 Episodes
Comments
Oncho Ria
novel yg membuat dada sesak
2023-01-09
1
Jumadin Adin
sumpah aq benci zidan,semoga dg adanya rio membust zidan cemburu
2022-12-28
0
Nisa Nisa
sepertinya Zidan yg tergantung mertua hingga drmi harta dan kekuasaan krn takut ancaman merua dia melskukan itu, menyiksa Farah. lelaki pengecut tp dicintai dgn luar biasa pengorbanan okeh Farah.
2022-10-30
0