Pagi yang mendung, semendung hati Farah. Usai menunaikan shalat subuh sendirian, Farah masih berdiri di dekat jendela kamarnya. Melihat burung-burung yang mulai berterbangan keluar dari pohon rindang yang ada di pekarangan rumah mewah tempat ia tinggal.
Apakah jika setelah keluar dari rumah mewah ini, ia akan bisa kembali bebas seperti burung-burung itu ? Atau justru semakin tersiksa karena hatinya hanya akan terus terperangkap dalam sangkar milik laki-laki yang tidak lagi mencintainya.
Beberapa tetes air mata mulai berjatuhan. Jika saja tetesan bening yang lolos dari pelupuk matanya ini ia tampung, mungkin sudah berliter-liter air mata yang ada di dalam kamarnya ini.
Setelah Zidan keluar dari kamarnya usai menunaikan nafkah batin yang selalu menguras energi dan emosinya, Farah tidak lagi bisa memejamkan matanya. Ia hanya terus terisak pilu meratapi hati yang begitu mencinta namun tidak terbalas dengan baik.
Puas menangis di atas ranjang sambil bergelung selimut putih nan nyaman, Farah kembali menumpahkan kesakitan nya di dalam bathtub yang penuh dengan busa sabun. Sisa-sisa percintaan yang melekat di tubuhnya, ia bersihkan. Dan setelah memastikan semuanya bersih dan hanya tersisa jejak-jejak kepemilikan di beberapa bagian tubuhnya, Farah kembali bersiap untuk meratapi semuanya di atas sajadah. Mengaduh pada sang khalik, meminta petunjuk dari rumah tangga yang begitu menyesakkan dada..
Entah berapa kali ia mengulang shalat di sepertiga malam yang ia tunaikan, usai membersihkan diri dari sisa-sisa percintaan mereka. Berharap sujud di sepertiga malamnya itu mampu memberi jawaban dari kegundahan hatinya saat ini.
Namun hingga subuh menjelang, logika yang ingin pergi namun hati yang ingin tetap tinggal masih saja beradu saling merebut hingga membuatnya nyaris gila.
Kini rintik hujan yang terlihat saling berkejaran di luar jendela kamar tidurnya, dan semakin menambah kegundahan hatinya. Hujan membuatnya kembali merindu. Merindukan dua sosok yang paling mengerti dengan hatinya.
"Mas, Ibu aku rindu." Lirihnya.
Mukenah berwarna putih polos dengan renda di ujungnya, ia gunakan untuk menghapus air mata yang semakin membanjiri pipinya.
Wajah teduh sang Ibu, juga senyum hangat sang Kakak kembali melintas.
"Aku ingin pergi, tapi aku tidak punya orang lain untuk pulang." lirihnya lagi.
Tok..tok..tok...
Suara ketukan pintu menyadarkan Farah dari lamunan. Dengan cepat di usapnya sisa-sisa air mata yang ada di pipinya.
"Boleh Mbak masuk ?" Izin Nadia di balik pintu yang masih tertutup rapat.
Suara lembut Nadia kembali membuat Farah tersadar, jika kepergiannya tidak akan berpengaruh apapun dalam hidup Zidan.
Wanita itu nyaris sempurna, dan kalimat Zidan semalam yang tidak sengaja ia dengar saat berniat mengambil air minum, membuat tekadnya ingin pergi semakin kuat.
"Masuk Mbak." Jawabnya mencoba terlihat biasa saja. Meskipun ia yakin Nadia akan melihat matanya yang sembab atau mungkin sudah membengkak karena terlalu banyak menangis.
Nadia membuka pintu dengan perlahan. Tatapannya tertuju pada wanita yang masih mengenakan mukenah sambil menatap keluar jendela kamar. Hatinya ikut sakit, lagi-lagi melihat mata sembab Farah setelah suaminya akan masuk ke dalam kamar madunya ini.
Dia tahu jika Zidan selalu mendatangi kamar Farah di tengah malam saat dirinya sudah terlelap, dan saat pagi menyapa, diapun akan mendapati mata Farah yang membengkak.
"Sepertinya kamu begitu menyukai jendela ini ya." Kekeh Nadia mencoba untuk mencairkan suasana.
Farah mengangguk membenarkan. Entahlah, jika pikirannya semakin kacau, maka yang pertama kali ia lakukan adalah menatap keluar jendela kamar ini. Melihat burung-burung yang berkicau sambil berterbangan bebas, juga daun-daun yang menguning berjatuhan karena terbawa angin.
"Ayo turun, sarapan. Putra dan suami kita sudah menunggu." Ajak Nadia.
"Mbak..
"Hm...
"Em.. kenapa Mbak begitu ikhlas berbagi suami dengan ku ?" Tanya Farah. Tatapannya masih tertuju pada burung-burung yang hinggap di ranting pohon dekat kamar tidurnya.
Sampai saat ini, ia masih belum bisa menemukan jawaban yang memuaskan hatinya dari wanita yang sudah ikut berdiri di sampingnya ini.
"Kamu sudah tahu alasannya Ra, sebelum kamu memutuskan untuk menerima lamaran Mbak, kan Mbak sudah kasih tahu. Jangan membahasnya lagi ya, ayo kita jalani ini sama-sama." Bujuk Nadia.
Farah menggeleng.
"Tapi sampai saat ini Mas Zidan belum juga mencintaiku." Ucap Farah.
"Ra, kamu hanya perlu berusaha lebih keras lagi." Ucap Nadia. "Dia mencintaimu, sangat mencintaimu." Sambungnya dalam hati.
Farah hanya menarik nafas yang semakin terasa sesak. Tatapan memohon dari Nadia, lagi-lagi menahannya untuk tetap tinggal bersama luka yang semakin menganga.
"Aku mau siap-siap dulu sebentar, Mbak duluan aja." Ucap Farah mengalah, Nadia pun mengangguk lalu keluar dari dalam kamar.
Farah menatap pintu kamarnya yang baru saja tertutup pelan. Berdebat dengan Nadia soal ini, sampai kapanpun ia tidak akan pernah menang. Entah karena tatapan memohon Nadia yang selalu berhasil menahannya, ataukah karena hatinya yang memang masih ingin tetap tinggal.
Sejenak Farah menarik nafasnya yang terasa berat, lalu melangkahkan kakinya menuju ruang ganti.
Di tatapnya pantulan tubuh yang sama sekali tidak berubah bentuknya di cermin besar yang ada di ruang ganti nya. Rok panjang di padukan dengan blouse moca juga hijab dengan warna senada terlihat pas di tubuhnya. Tidak lupa pula blezer hitam khas pengacara menambah kesan formal.
Dengan langkah cepat, Farah menuruni satu per satu anak tangga menuju ruang makan. Bukan untuk sarapan, hanya ingin berpamitan pada Nadia dan putranya.
"Makan dulu Ra." Mohon Nadia.
Namun Farah menggeleng
"Aku buru-buru Mbak, klien aku sedang dalam perjalanan menuju ke sini, kita mau langsung ke pengadilan." Ucapnya.
"Mama pergi ya nak, jadi anak baik." Ucap Farah lagi sambil mengecup pipi gembul putranya.
"Mas mau antar Farah ke pengadilan kan ?" Tanya Nadia.
Baru saja Farah melangkahkan kakinya keluar dari ruang makan, suara Nadia kembali menahannya.
Zidan yang terlihat hanya sibuk dengan sarapannya saat istri keduanya memasuki ruang makan, segera mengangkat kepalanya. Menatap Nadia sejenak, lalu kemudian tatapannya tertuju pada Farah yang kini berhenti di ambang pintu pembatas ruang keluarga dan ruang makan.
"Dia lagi terburu-buru, aku masih ingin sarapan." Ucap Zidan acuh lalu kembali melanjutkan sarapannya.
"Tidak apa-apa Mbak, klien ku juga sudah menunggu." Jawab Farah lalu melangkah mendekati Zidan
"Aku pamit Mas." Ucapnya lalu mengulurkan tangannya.
Zidan menatap tangan lentik yang ingin sekali di genggamnya itu dengan jantung yang berdetak hebat.
Ini pertama kalinya Farah berpamitan padanya, biasanya wanita yang ia nikahi empat tahun yang lalu ini, hanya akan melangkah keluar dari ruang makan tanpa menghiraukan keberadaanya.
Zidan mengulurkan tangannya, membiarkan tangan Fara menggenggam dan mencium punggung tangannya takzim.
"Bye, Al.." Ucap Farah lagi.
Setelah memasuki ruang tamu, air mata yang berusaha ia tahan sekuat mungkin, kembali menetes membasahi pipinya.
Empat tahun hidup dengan rasa cemburu juga kubangan air mata, dan begitu bodohnya ia terus memaksa hatinya yang semakin sakit tetap bertahan di sini.
Mawadah yang di janjikan Nadia empat tahun lalu tak kunjung datang, membuatnya mulai ragu. Benarkah semua ini ? Apakah pantas ia di perlakukan oleh Zidan seperti ini ?
Baiklah, bisa di maklumi jika memang cinta laki-laki itu yang tidak bisa dibagi, namun bisakah ia meminta hak sebagai wanita yang sudah melahirkan anaknya.
"Pergi Farah, kumohon melangkah lah pergi." Logika semakin mendesaknya untuk pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 294 Episodes
Comments
Samsiah Yuliana
ya Allah mba Farah,,,,😭
2024-12-20
0
Uwak Nteett
😭😭😭😭
2024-05-12
1
Niwayan Padmini
nadia egois,,
2023-12-13
0