Sebulan telah berlalu tanpa ada perubahan. Cukup sampai di sini, ia berhak untuk merasa bahagia, dan jika bahagia itu bisa ia dapatkan saat berpisah nanti, maka tidak ada alasan untuk tetap bertahan dalam pernikahan menyakitkan ini.
Hari ini ia memutuskan untuk menggugat cerai lebih dulu. Sebulan lamanya ia menunggu dan memberi kesempatan, berharap laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya bisa memperlakukan ia sebagai mana mestinya. Namun sampai hari ini tidak ada yang berubah. Tatapan acuh terkesan dingin masih saja tertuju padanya.
Entah apa salahnya, ia pun tidak tahu. Sampai hari ini Farah berpikir jika dirinya tidak memiliki kesalahan, karena ia memasuki rumah orang lain dengan izin yang baik. Tidak hanya izin, tapi sang tuan rumah lah yang mengajaknya masuk, jadi mengapa dia yang selalu di persalahkan.
"Ra, Mbak masuk ya ?" Izin Nadia.
Farah hanya diam, namun tatapannya tertuju pada pintu kamar yang mulai terbuka perlahan. Tubuhnya terasa sangat lemas karena baru saja memuntahkan semua makanan yang ada di dalam perutnya.
"Kamu sudah mau berangkat ya ?" Tanya Nadia lagi saat melihat Farah sudah rapi dengan stelan kerja.
Farah masih menutup mulutnya rapat, lalu mengangguk mengiyakan sambil mengoleskan sedikit pelembab di bibir pucatnya.
"Tidak sarapan dulu ?"
"Aku ga punya selera makan Mbak, lagi ngga enak badan." Jawab Farah.
"Makan sedikit ya, lalu minum obat, wajah kamu pucat." Bujuk Nadia, namun Farah menggeleng tegas.
Tidak lagi ingin menerima segala kebaikan Nadia yang akhirnya akan selalu menahannya di dalam kubangan luka yang tiada akhir.
"Ra,
"Aku harus pergi." Ucap Farah cepat, kemudian keluar dari dalam kamar mewah itu. Meninggalkan Nadia yang masih berdiri sambil menatap kepergiannya.
"Maafkan Mbak karena membuatmu terluka." Ucap Farah pelan.
Langkah kaki Farah yang sudah ingin meninggalkan kamar, kembali tertahan. Ia menarik nafasnya yang terasa sakit di paru-parunya, lalu kembali menghembuskan dengan perlahan.
"Baiklah aku akan sarapan." Ucapnya lalu kembali melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga menuju ruang makan.
Saat memasuki ruangan yang sudah tersedia beberapa hidangan di atas meja, Farah mendapati Zidan sudah berada di sana. Tanpa ingin berbasa basi menyapa, karena memang selama ini, mereka jarang sekali bertegur sapa. Farah segera mengambil sarapannya dan memulai sarapan tanpa menunggu Nadia yang baru memasuki ruang makan.
Zidan menatap Farah yang hari ini terlihat berbeda, meskipun mereka tidak dekat, tapi ia jarang sekali melihat Farah bertingkah seperti pagi ini. Wanita yang ia nikahi lebih dari empat tahun yang lalu ini, selalu menghargai Nadia.
"Ra, Zidan akan mengantarmu ke kantor." Ucap Nadia sembari menyuapi putra mereka dengan perlahan.
"Aku akan naik taksi." Tolak Farah masih terus fokus dengan sarapan yang ada di hadapannya.
"Ra,
"Ku mohon Mbak, jangan lagi meminta sesuatu yang tidak bisa Mas Zidan lakukan." Sela Farah cepat lalu bergegas keluar dari ruang makan.
"Al jadi anak baik ya." Kecup Farah di puncak kepala putranya, lalu melanjutkan langkahnya keluar dari ruang makan tanpa memperdulikan dua orang dewasa yang sedang menatapnya heran. Ah entah mengapa, pagi ini ia begitu sensitif dan ingin sekali melampiaskan kekesalannya yang sudah sekian tahun terpendam.
Melihat Farah yang sudah berlalu, Zidan segera beranjak dari kursinya. Mengecup kening Nadia lalu bergegas keluar dari ruang makan.
"Aku akan mengantarmu." Ucap Zidan.
Farah yang sedang mengusap layar ponselnya bergeming, ia membiarkan Zidan berdiri di sampingnya.
"Aku sedang berbicara padamu Farah, dan jangan lupa kamu masih istriku." Kesal Zidan karena Farah mengabaikan keberadaannya.
Farah menoleh, menatap lekat wajah tampan yang dengan bodohnya selalu saja membuat jantungnya berdebar.
"Kita akan bercerai, Mas tidak perlu hadir dalam persidangan nanti agar semuanya cepat selesai." Ucap Farah pelan.
Zidan menoleh, menatap pintu utama yang belum tertutup. Berharap wanita yang ia tinggalkan di ruang makan tidak berada di sana, dan beruntung wanita bak malaikat itu tidak ada di sana.
Farah tersenyum miris. Ia semakin yakin jika selama ini Zidan mempertahankan dirinya, hanya demi Nadia.
"Tunggulah panggilan dari pengadilan nanti." Ucapnya lalu melangkah pergi dan memasuki taksi yang sudah berhenti di depan rumah mewah yang selama empat tahun ini menjadi saksi bisu perjuangannya.
Hari ini ia memastikan, jika tidak ada lagi yang tersisa dari laki-laki itu. Selama ini Zidan tetap bungkam, hanya demi Nadia.
****
Setelah mengambil beberapa berkas yang sudah ia siapkan di apartemen miliknya, kini Farah sudah berdiri di depan gedung pengadilan.
Dadanya terasa sesak, namun ia tetap menguatkan hatinya untuk melangkah menuju pintu menuju kehidupannya yang baru. Semoga semua ini cepat selesai, tubuhnya begitu lemas, kepalanya pening.
Masih sepagi ini, namun sudah dua kali ia memuntahkan stok makanan yang ada di dalam perutnya. Rehan bisa saja membantunya, namun sudah cukup laki-laki baik itu di repot kan olehnya.
Dengan menguatkan hati dan tubuhnya, Farah memasuki gedung pengadilan. Senyum miris kembali terlihat di bibirnya. Bagaimana tidak, biasanya ia datang mengunjungi tempat ini, untuk membantu mengurus pernikahan orang lain. Namun hari ini ia sedang mengurus akhir dari pernikahannya sendiri. Belum lagi tubuhnya yang merasa tidak enak, membuat Farah meratapi nasibnya yang begitu mengenaskan.
Beruntung petugas-petugas pengadilan ini sebagian besar sudah sangat mengenalnya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan urusannya hari ini.
Sebum keluar dari gedung pengadilan, Farah kembali melangkah menuju toilet. Perutnya bagai di aduk-aduk, dan memaksanya untuk kembali mengeluarkan sisa-sisa makanan yang masih tersisa di dalam sana.
Setelah selesai memuntahkan semuanya, Farah terduduk lemas di samping closet sambil memijit kepalanya yang terasa sakit.
Masih bersandar di dinding kamar toilet, Farah memeluk lututnya. Ia terisak, kekhawatiran kini melandanya. Ia mulai menebak apa yang kini terjadi padanya, karena sebelum ini sudah pernah mengalaminya.
Keadaan seperti hari ini, kembali mengingatkannya pada saat di awal-awal kehamilannya dulu. Di rogohnya benda pipih yang ada di saku blezer yang melekat di tubuhnya. Sebuah senyum miris kembali terlihat di bibirnya, ia sudah melewatkan waktu datang bulannya.
"Jangan lagi ku mohon." Lirihnya. Ia memeluk perutnya yang masih rata, dengan isakan yang terus terdengar dari bibirnya.
"Ini belum pasti." Ucapnya lagi pada diri sendiri.
Farah bergegas merapikan pakaiannya, lalu segera keluar dari dalam toilet. Tujuan selanjutnya adalah apotek terdekat. Yah dia harus memastikannya terlebih dahulu, lalu akan memikirkan kembali apa yang harus ia lakukan kedepannya.
*****
"Mau yang bagaimana Bu ?" Tanya apoteker yang bertugas.
"Berikan beberapa dengan merek berbeda." Jawab Farah.
"Akan lebih akurat jika menggunakan di pagi hari Bu." Ucap apoteker tersebut sembari menyodorkan beberapa buah testpack yang sudah berada di dalam kantong ke arah Farah.
Farah mengangguk mengerti, lalu keluar dari apotek tersebut usai membayar sesuai harga yang di sebutkan oleh apoteker tersebut.
Taksi yang membawanya, kembali membelah jalanan ibu kota. Beruntung jalanan begitu lengang, karena memang sudah waktunya orang-orang sibuk di dalam tempat kerja mereka masing-masing.
Farah meremas kuat beberapa buah benda yang ada di dalam kantong plasitk di atas pangkuannya. Netra nya menatap kosong bangunan-bangunan yang seakan ikut berjalan saat mobil yang di tumpangi nya terus melaju di jalanan yang tidak pernah sepi dari lalu lalang kenderaan.
Selama kita hidup, tidak akan pernah luput dari masalah bukan ? Farah menguatkan hatinya, jika setiap ujian yang Allah beri untuknya, bukan karena Allah tidak menyayanginya, namun karena dirinya memang mampu untuk menjalaninya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 294 Episodes
Comments
Alfi Nurhasanah
dia kan mau cerai,jadi datangnya ke pengadilan Agama.
2024-04-04
0
Endang Supriati
tempat orang nikah itu K U A Bukan pengadilan!!!!!!
2024-03-09
0
Yunior
jangan - jangan hamil
2023-12-13
0