Pagi yang masih saja mendung menyapa kediaman keluarga besar Prasetyo. Farah menuruni satu per satu anak tangga bersama Al yang menggenggam erat jemari tangannya. Pakaian kerja yang ia bawa dari rumah, sudah melekat rapi di tubuhnya.
Baru saja memasuki ruang keluarga menuju dapur, tatapannya tertuju pada tubuh yang baru saja melewatinya sambil membawa nampan menuju kamar yang ia tahu tempat Nadia dan Zidan beristirahat semalam. Farah kembali tersenyum miris, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.
Zidan tidak melihat Farah berdiri memperhatikan dirinya, dan terus melangkah hingga menghilang di balik pintu kamar yang kembali ia tutup rapat.
"Ayo kita sarapan Ra." Ajak Zia saat melihat adik iparnya sudah memasuki ruang makan.
Wanita yang sudah memiliki tiga orang anak itu, melanjutkan kembali pekerjaanya membantu asisten rumah tangga meletakkan piring dan gelas di atas meja makan.
Farah mengedarkan pandangannya, namun dua orang yang ia tebak masih berada di dalam kamar, memang tidak ia temui di ruang makan ini.
"Nadia tidak bisa ikut sarapan, tubuhnya lemas dan memilih untuk sarapan di kamar." Ucap Zia menjawab tatapan mata adik iparnya. "Bersama Zidan." Sambungnya merasa tidak enak.
Farah mengangguk mengerti lalu membawa putranya duduk di kursi khusus yang tersedia di sana.
Ruang kelurga begitu hening, tidak ada lagi Yang berbicara. Semua orang sibuk dengan sarapan dan pikiran mereka masing-masing.
Farah masih menyuapi putranya dengan perlahan. Jika saja Nadia ada, mungkin dia sudah memilih untuk pergi ke kantor, agar tidak terlalu lama menghabiskan waktu di tempat luas dan mewah namun selalu membuatnya sesak ini.
"Ra kamu tidak sarapan dulu Nak ?" Tanya Anisa saat melihat menantunya sudah berdiri dari kursi makan usai menyuapi cucunya.
"Farah akan sarapan di kantor Bu, sudah terlambat." Jawab Farah sopan.
"Hati-hatilah di jalan." Ucap Dimas, Ayah mertuanya.
Farah mengangguk lalu membawa Al keluar dari ruang makan, menuju kamar tidur Nadia. Ada sedikit perasaan tidak enak karena harus masuk ke dalam kamar milik Nadia dan suaminya, namun Farah tidak memiliki pilihan lain.
"Mbak aku masuk ya." Ketuk Farah di pintu kamar Nadia.
"Masuk Ra." Jawab Nadia dari dalam kamar.
Senyum manis di bibir pucat Nadia kembali terlihat, saat Farah masuk ke dalam kamarnya.
"Ama...." Teriak Al. Bocah laki-laki itu berlari menuju ranjang di mana mamanya terbaring.
"Maaf yah, Mama nggak bisa bantu Al sarapan pagi ini." Usap Nadia di wajah putranya.
"Mbak aku titip Al ya, sudah telat." Pamit Farah saat melihat Zidan keluar dari ruang ganti yang sudah rapi dengan stelan kerjanya.
"Berangkat sama Zidan aja Ra." Ucap Nadia.
Farah yang hendak keluar dari dalam kamar kembali menghentikan langkahnya. Namun sudah sekian detik telah terlewati, belum juga ada kata yang keluar dari laki-laki yang sedang mereka bicarakan.
Wajahnya berpaling saat melihat Zidan melangkah mendekati ranjang tempat Nadia berbaring. Hatinya kembali di remas kuat, saat tidak sengaja melihat Zidan mencium lembut kening Nadia juga di iringi kalimat-kalimat penuh perhatian yang tidak pernah tertuju padanya. Tidak ingin lagi menunggu sampai air mata yang selalu tumpah, merusak riasan wajahnya, Farah segera berlalu dari kamar itu tanpa sepatah katapun.
*****
Jalanan kota Jakarta saat jam berangkat kerja memang selalu ramai. Beberapa kali terdengar decakan kesal dari Zidan karena mobilnya yang melaju pelan. Sungguh, berlama-lama di dalam satu mobil dengan Farah seperti ini membuatnya tidak nyaman, karena begitu sulit menahan rasa ingin mendekap wanita yang dulu membuatnya jatuh cinta.
"Kenapa mas tidak mengenakkan cincin pernikahan kita ?" Tanya Farah.
Zidan menoleh, menatap wajah cantik dengan balutan hijab yang masih memperhatikan tangannya yang ada di atas kemudi mobil.
"Seharusnya kamu sudah tahu akan hal ini Farah." Jawab Zidan lalu kembali menatap jalanan yang ada di depan.
"Aku tidak mengerti Mas, selama ini aku berusaha untuk menjadi istri yang baik buat kamu. Tapi kamu tidak pernah memperlakukakan sebagimana kamu memperlakukan Mbak Nadia." Ujar Farah masih menatap lekat wajah Zidan yang sama sekali tidak menatapnya.
"Seharusnya kamu sudah mempersiapkan diri untuk hal-hal seperti ini saat kamu menerim tawaran Nadia untuk menjadi istri kedua ku." Jawab Zidan dingin.
Tes..
Satu tetes air mata jatuh tanpa di minta di wajah cantik Farah. Tidak lagi ingin mencari tahu lebih banyak tentang perasaan Zidan dan hanya semakin membuatnya terluka, Farah memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat. Tatapannya berpaling dari wajah tampan namun dingin itu. Sepertinya menatap gedung-gedung pencakar langit yang ada di sisi jalan jauh lebih baik.
Farah mendongak seakan melihat puncak gedung, namun percayalah ia hanya sedang berusaha menghalau cairan bening yang sedang memaksa keluar dari pelupuk matanya.
Selam empat tahun ia berusaha memenangkan hati Zidan, namun sampai kini hanyalah jawaban acuh terkesan dingin yang selalu ia dapatkan setiap kali menuntut hak di perlakukan adil sebagimana Zidan memperlakukan Nadia.
"Sepertinya aku salah telah menerim lamaran Mbak Nadia. Aku berfikir aku bisa merasakan bahagia seperti yang Mbak Nadia janjikan, namun sudah empat tahun berlalu keadaan yang aku dapatkan tidak seperti yang aku harapkan." Lirihnya pelan namun bisa di dengar dengan jelas oleh Zidan.
Zidan mencengkram erat kemudi mobil, dada ya bergemuruh. Namun lagi-lagi ia mampu menahan mulutnya untuk tidak mengatakan apapun. Mendengar kalimat-kalimat Kakak dari mama mertuanya semalam, yang seakan memojokkan sang Ayah semakin membuat Zidan geram.
Meskipun Farah masih menjadi wanita yang tersimpan rapi di hati terdalamnya, ia tidak akan pernah mu memutuskan untuk menikah jika bukan karena paksaan dari Nadia. Namun kini seakan poligami yang di paksakan Nadia, adalah kesalahan sang Ayah, dan itu membuat nya sangat kesal.
Entah berapa lama keduanya beradu dengan pikiran mereka masing-masing. Mobil yang membawa mereka sudah berhenti di depan Firma Hukum tempat Farah bekerja. Setelah mobil berhenti, Farah segera keluar dari dalam mobil tanpa mengucapkan apapun.
*****
Angin laut berhembus menerbangkan gamis yang ia kenakan. Burung-burung pelikan yang beterbangan di atas air laut. Sore yang indah, dengan semburat senja di ujung lautan. Warna jingga yang begitu mempesona di tatap Farah dengan begitu lekat.
"Seharusnya kamu sudah mempersiapkan diri untuk hal-hal seperti ini saat kamu menerim tawaran Nadia untuk menjadi istri kedua ku."
Ucapan Zidan yang begitu menusuk, kembali terngiang di ingatannya. Farah tertawa sumbang, yah dia menertawakan kebodohannya sendiri yang begitu mudahnya di buta kan oleh cinta, dan dengan ikhlas nya dia mau berbagi cinta. Bukan berbagi cinta, tapi memberikn cinta secara percuma tanpa di balas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 294 Episodes
Comments
Tri Widayanti
Duh Zidan.
2024-06-12
0
Jumadin Adin
kok ya farah masih bertahan ya,cuma tubuhmu yg di inginkan oleh zidan
2022-12-28
0
Nisa Nisa
tp gk setolol kisah Zidan ini jg.
apalg Farah bukan wanita tak berdaya meski dia yatim piatu dia berpendidikan dan punya pekerjaan. tp dibuat jd korban super bodoh oleh author.
2022-11-02
0