Kamar yang begitu mencekam. Udara dingin berhembus dari balkon apartemen yang di biarkan terbuka oleh pemiliknya. Gelap malam di sertai rintik hujan, semakin menambah getirnya hati Farah. Bahkan satu bintang pun enggan untuk mampir di langit yang begitu gelap.
Jemarinya masih menggenggam testpack terakhir dengan hasil yang masih sama. Dua garis merah tercetak jelas di sana. Testpack yang kesekian kalinya dengan hasil yang sama.
Farah menggenggam benda yang menjawab pening serta mual nya pagi ini dengan begitu erat. Tulang jemarinya memutih karena menahan luapan emosi yang semakin mencabik-cabik hatinya.
Mengapa dunia ini begitu kejam ?
Di saat dia mulai merencanakan masa depannya seorang diri setelah berpisah nanti, kini makhluk kecil yang tidak di rencanakan sudah tumbuh di dalam rahimnya.
"Ya Allah mengapa tidak engkau ambil saja nyawaku." Lirihnya sambil bersandar di pinggiran ranjang. Tubuhnya terduduk di atas lantai keramik di dalam kamar di apartemennya.
Hembusan angin malam yang masuk melalui pintu balkon ia abaikan. Suhu dingin berasal dari lantai kamar, tidak dia perdulikan. Kepalanya semakin terasa sakit, karena begitu banyak air mata yang keluar dari tempatnya.
"Maafkan anakmu yang bodoh ini Bu." Lirihnya menyayat hati.
Ada banyak hal yang semakin ia sesali hari ini. Bersedih karena kini ada janin yang tidak di harapkan tumbuh, juga pernikahan yang begitu mengecewakan. Jika saja Ibu dan Andra masih ada, mereka pasti akan sangat kecewa dengan kebodohannya empat tahun lalu.
Dengan perlahan, Farah bangkit dari atas lantai lalu naik di atas ranjang yang sekian lama ia tempati, sebelum pindah ke rumah Zidan. Ia merebahkan tubuhnya yang terasa lemas di ranjang sederhana namun masih saja nyaman itu, mengabaikan layar ponsel yang terus saja menyala di atas nakas. Ia mengabaikan semuanya, termasuk panggilan dari Rehan yang entah sudah berapa kali masuk ke dalam ponselnya.
****
Zidan duduk bersandar di pintu apartemen yang tertutup rapat. Seorang satpam penjaga menwarkan untuk menekan bel apartemen itu, namun Zian menolaknya.
Entah apa yang harus dia katakan jika Farah mendapati dirinya berada di sini. Hari ini ia benar-benar telah menjadi seorang penguntit, namun kalimat Farah tentang gugatan cerai pagi tadi begitu mengganggu.
Dan mungkin beberapa hari ke depan, dia harus bersiap untuk menerima berita jika ia tidak lagi memiliki Farah dalam hidupnya. Bagaimana tidak, istrinya itu benar-benar mendatangi pengadilan.
Berulang kali ia menggumamkan kata maaf, meskipun ia sadar jika kata maaf tidak akan mampu mengobati luka Farah saat terus saja di abaikan olehnya.
"Kamu sedang apa di sini ?" Tanya Rehan.
Zidan terkejut dan langsung beranjak dari atas lantai saat melihat laki-laki yang masih rapi dengan stelan jas sama seperti dirinya sudah berdiri di hadapannya.
"Farah ada di dalam ?" Tanya Rehan lagi dan mendapat jawaban anggukan kepala dari Rehan.
Tentu saja ia tahu, jika Farah ada di dalam. Seharian ini ia hanya mengikuti istrinya itu, dan entah sudah berapa jam waktu yang ia habiskan di depan pintu apartemen yang tidak berani ia ketuk pintunya.
"Kita bicara di tempat lain." Ajak Rehan.
Zidan sejenak menoleh, menatap pintu apartemen yang tertutup rapat. Lalu melangkah mengikuti Rehan menuju kafe yang berada di lantai bawah apartemen.
"Farah ke pengadilan hari ini." Ucap Zidan.
Rehan meneguk kopi yang baru saja di antar kan oleh pelayan kafe.
"Dia sedang sakit tapi tidak memberitahu kami. Aku melihatnya mampir ke apotek, Nadia sangat mengkhawatirkannya." Ucap Zidan lagi.
Rehan hanya diam menyimak laki-laki yang lebih mudah beberapa tahun darinya ini berbicara. Dia tahu Zidan berbeda dari Zia yang tidak bisa menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
"Farah mencintaimu Zi." Ucap Rehan. "Dia bertahan dalam sikap dingin mu selama ini, karena dia begitu mencintaimu." Sambungnya.
"Kenapa dia pergi ? Padahal dia juga tahu jika dulu aku tertarik padanya. Jika dia tidak pergi, mungkin tidak akan pernah ada keadaan seperti ini." Ingatan Zidan kembali berkelana pada saat ia mengetahui Farah telah pergi.
"Ibu dan Kakaknya meninggal di waktu yang bersamaan Zidan. Dia berpikir Andra sudah baik-baik saja, tapi ternyata sahabatku itu mengalami pendarahan otak yang lama terdeteksi oleh dokter, karena Andra terlihat baik-baik saja. Farah terpuruk bahkan hampir tidak bisa menyelesaikan kuliahnya, beruntung Diana terus memberikan support penuh padanya." Jelas Rehan panjang lebar.
"Aku yang memintanya untuk melepas mu, karena aku tahu kamu tidak akan pernah bisa melepasnya." Ucap Rehan lagi.
"Kak Rehan..
Rehan segera mengangkat tangannya untuk menginterupsi kalimat yang akan keluar dari bibir Zidan.
"Aku tahu kamu bimbang Zi, maka biarkan Farah yang m ngambil keputusan ini. Biarkan dia bahagia dengan kehidupannya tanpa kamu. Belasan tahun lamanya ia bersamaku dan Diana, dia baik-baik saja sendiri. Aku sendiri yang akan memastikan dia selalu baik-baik saja." Ucap Rehan.
Zidan terdiam, dadanya bergemuruh. Namun, sepertinya semua memang harus seperti ini. Tidak bisa ia pungkiri, melepaskan Farah untuk yang kedua kalinya memang begitu berat.
Entah berapa lama waktu yang di habiskan oleh dua laki-laki itu di dalam kafe tersebut. Hingga akhirnya Zidan berpamitan saat mendapat kabar dari asisten rumah tangganya, jika Nadia sakit.
Setelah kepergian Zidan, Rehan kembali naik ke lantai atas gedung, di mana apartemen Farah berada. Berulangkali ia menghubungi nomor Farah, namun entah apa yang di lakukan wanita itu hingga mengabaikan panggilannya yang kesekian kali.
Ting...
Farah yang sudah hampir menuju alam mimpi, kembali memaksa matanya terbuka. Melihat sejenak layar ponselnya, dan nomor milik dua orang yang selalu mengkhawatirkan keadannya terpampang di layar ponselnya.
Dentingan dari bel apartemennya kembali terdengar, dan memaksa Farah beranjak dari ranjang, lalu melangkah menuju pintu apartemennya.
"Kak kenapa di sini ?" Tanya Farah heran saat mendapati Rehan sudah berdiri di depan pintu apartemennya.
"Aku mengizinkan kamu bercerai dari Zidan, tapi bukan berarti kamu harus bersembunyi di sini tanpa memberi kabar pada siapapun. Aku dan Nadia khawatir terjadi apa-apa padamu Ra." Ucap Rehan kesal.
Laki-laki itu melangkah masuk ke dalam apartemen yang selalu ia datangi dulu.
"Maafkan aku Kak, aku tidak enak badan jadi ketiduran, dan tidak mendengar Kakak dan Mbak Nadia menelfon." Bohong Farah. Ia mengabaikan semuanya hari ini, termasuk panggilan dari laki-laki baik ini.
Rehan menarik nafasnya, lalu menatap wajah pucat Farah.
"Selesaikan dulu semuanya, lalu kamu boleh kembali ke sini." Tegas Rehan.
Farah mengangguk patuh. Yah tidak seharusnya ia bersembunyi seperti ini, dan membuat wanita sebaik Nadia khawatir.
"Kamu sudah ke pengadilan ?" Tanya Rehan sambil menatap tubuh yang terlihat lemas di hadapannya.
Farah mengangguk membenarkan.
"Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Zidan." Jawabnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 294 Episodes
Comments
Nisa Nisa
seperti dugaanku, ada dendam yg ingin dibalskan zidan dgn menikahi Farah dan memperlakukannya dgn buruk atas nama menjaga perasaan Nadia. Lelaki brensek yg menjadikan wanita yg diaku dicnitai hanya sebagai pemuas nafsu. dan nanti dua bahagia setelah menyiksa beetahun tahun krn Farah memaafkannya atas nama cinta. Benar2 gk diterima akal dan melukai rasa keadilan
2022-10-31
0
moemoe
Kmn abg dn ibuny???
2022-06-15
0
Saonah Onah Nona
sabar
2022-06-02
0