Taksi yang membawa Farah pulang ke rumah sedang melaju di jalanan Jakarta. Netra nya menatap rintik hujan dari jendela mobil. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini, lagi-lagi tatapan penuh permohonan Nadia kembali menahan segala ego yang ia kumpulkan beberapa hari ini. Lagi-lagi hati yang berusaha ia kuatkan kembali luluh dalam sekejap. Nadia, begitu besar pengaruh wanita itu dalam hidupnya.
drrttt... drrttt...
Getaran ponsel dari dalam tas yang ada di atas pangkuan, menyadarkan Farah dari lamunan. Kening Farah mengerinyit melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
"Assalamualaikum." Ucapnya setelah mengusap ikon hijau di layar ponselnya.
"Ra..
"Mas ada apa ?" Tanyanya tidak sabar setelah mendengar suara sejak bercampur isakan dari ujung ponsel.
"Ra, Nadia Ra..
"Iya Mbak Nadia kenapa ? Ada apa dengan Mbak Nadia ?" Tanya Farah beruntun.
"Nadia pergi Ra, dia ninggalin kita." Ucap Zidan
"Putar balik Pak, kita kembali ke Rumah Sakit." Pinta Farah pada sopir yang sedang mengendarai mobil menuju rumah.
Tetesan air mata mulai berjatuhan di pipinya, saat mendengar suara isakan yang begitu jelas di ujung ponselnya yang masih terhubung dengan sang suami.
"Lebih cepat Pak." Pinta Farah lagi.
"Lagi hujan Neng, bahaya." Jawab sang sopir.
Farah mengakhiri panggilan yang masih terhubung di ponsel Zidan, lalu segera menghubungi rumah dan memberitahu asisten rumah tangga, jika ia tidak bisa pulang siang ini. Dan beruntung putranya sedang tidur siang, dan tidak rewel.
"Mbak titip Al dan Zidan ya Ra."
Kalimat-kalimat Nadia pagi ini kembali terngiang-ngiang di ingatannya. Bodohnya dia tidak bisa memahami setiap kalimat yang terucap dari bibir madunya itu.
"Jangan pulang dulu Ra, temani Mbak dulu."
"Maafkan aku Mbak, maaf tidak bisa mengantarkan kepergian mu." Ucap Farah sambil memukul-mukul pelan dadanya yang begitu sesak. "Maafkan aku." Sambungnya masih dengan isak tangis yang begitu jelas terdengar.
****
Farah berlari menyusuri koridor rumah sakit yang pagi ini ia lewati. Hijabnya sedikit basah dengan air hujan yang begitu deras di pelataran Rumah Sakit. Rasa nyeri yang semakin terasa di perut bagian bawahnya, tidak lagi ia hiraukan.
Menyesal karena begitu keras kepala dan tidak tinggal sebentar saja dengan wanita baik itu, padahal Nadia sudah menahannya pergi. Hanya karena ia tidak ingin berlama-lama melihat Zidan, ia meninggalkan wanita yang masih ingin menghabiskan sedikit waktu yang tersisa, bersamanya.
Langkah Farah terhenti di ujung koridor, saat melihat beberapa perawat yang sedang mendorong bed pasien yang sudah tertutup kain berwarna putih menuju tempat ia berdiri. Orang-orang yang ia kenali mengikuti dari belakang bed tersebut dengan mata yang sama sembabnya.
"Mbak." Ucapnya tercekat.
Air mata semakin banyak meluncur di pipinya, hingga kembali menambah membasahi hijab yang sudah basah dengan air hujan.
"Ra, kenapa kmu basah-basahan begini ?" Tanya Zia khawatir sat mendapati adik iparnya berdiri mematung di tempatnya.
"Maafkan aku Mbak." Ucap Farah sembari membersihkan air mata nya agar tidak jatuh di jenazah wanita yang begitu ia hormati.
Setelah memastikan tidak ada lagi air mata yang membasahi pipinya, Farah menunduk dan mengecup pipi wanita terbaik itu sembari menggumamkan kata maaf.
"Allah sudah menyiapkan tempat terbaik, untuk orang baik sepertimu." Ucap Farah, lalu kembali menutup wajah pucat itu dengan kain putih.
Farah mengikuti mobil Kakak iparnya menuju Rumah, sedangkan Zidan masuk kedalam ambulance yangembawa jenazah Nadia.
Zidan masih terduduk lesu di samping jenazah sang istri. Penampilannya sangat kacau, ia kehilangan salah satu wanita terbaik dalam hidupnya.
"Selamat jalan Nadia, aku saksi jika kamu adalah wanita, anak, ibu dan juga istri yang baik." Lirih Zidan.
Wajah pucat dan sudah kaku itu di tatapannya untuk yang terakhir kalinya.
"Aku mencintaimu." Ucapnya. Tidak ada lagi isakan, namun buliran bening terus saja meluncur di pipinya. Nadia adalah salah satu wanita terbaik yang Allah kirimkan untuknya.
"Maaf aku selalu menyusahkan mu, maaf selama ini aku selalu menahan mu di sisiku. Maaf terlalu lama membuat kamu merasakan sakit ini. Kali ini aku benar-benar ikhlas melepas mu dan tidak lagi memaksamu berobat ini dan itu." Ujar Zidan.
"Aku akan sendirian Nad, kali ini aku benar-benar sendirian. Hari yang paling aku takutkan akhirnya tiba." Kekeh nya bersama linangan air mata yang ia biarkan berjatuhan.
****
Kesedihan mengiringi mengantarkan Nadia ke tempat peristirahatan terakhir. Zidan masih terduduk lemas di samping pusara dengan tanah yang masih basah.
Rintik hujan masih berjatuhan, meski tidak lagi deras. Farah berdiri tidak jauh dari Zidan berada, bersama Al dalam gendongannya.
Rintik hujan masih terus jatuh di atas payung yang sedang di pegang oleh asisten rumah tangga. Tatapannya tertuju pada laki-laki yang terlihat begitu menyedihkan di samping pusara Nadia.
Ayah dan Ibu mertua, bahkan Papa dan Mama Nadia berusaha untuk membujuk Zidan agar ikut pulang, namun laki-laki itu masih bergeming ambil meremas tanah yang masih basah.
"Kita pulang Ra." Ajak Zia.
"Tapi bagaimana dengan Mas Zidan Kak ?" Tanya Farah masih menatap nanar punggung yang terus bergetar meski tanpa suara yang terdengar.
"Zidan butuh waktu untuk merelakan Nadia. Kita beri dia waktu." Ucap Zia.
Farah mengangguk mengerti, lalu ikut melangkah pergi dari pemakaman keluarga menuju mobil Zia.
"Unda, Ama mana ?" Suara Al membuat air mata Farah kembali jatuh membasahi pipinya.
"Mama sudah sama Allah sayang, Mama tidak akan sakit lagi." Ucap Zia sambil mengusap lembut kepala keponakannya.
Farah mendekap erat tubuh putranya.
"Kita harus mengikhlaskan, agr Nadia bahagia di sana." Usap Zia di punggung adik iparnya.
*****
Sanak saudara berkumpul di ruang keluarga. Keluarga besar Wijaya hadir mengantarkan kepergian orang yang mereka sayangi. Tidak hanya keluarga dekat, tetapi tetangga juga beberapa orang yang ikut menghadiri pemakaman masih berada di rumah mewah milik Zidan.
Semua orang bersedih, termasuk Farah. Meskipun ada beberapa orang yang tidak mengetahui apa yang terjadi, terdengar mengunjing nya. Namun Farah memilih untuk menulikan telinganya. Toh mereka bukanlah keluarga inti yang memang mengetahui rumah tangga yang ia jalani dari awal.
Karena memang tidak ada yang di sembunyikan, Nadia berjuang keras membujuk seluruh keluarga untuk membawa Farah masuk kedalam rumah tangganya dengan Zidan.
Farah masuk dengan izin baik kedalam rumah tangga Nadia, tidak ada kata merebut yang beberapa kali terdengar dari ibu-ibu kompleks yang ikut mengantarkan Nadia ke peristirahatannya yang terakhir.
Zia pun mendengar beberapa kalimat tidak mengenakkan yang tertuju pada adik iparnya, namun melihat Farah yang tidak menghubris gunjingan itu, membuat Zia menahan bibirnya agar tidak menciptakan masalah di tengah duka yang menyelimuti seluruh keluarga.
"Harus kuat Ra." Ucap Zia sambil mengusap lembut punggung Farah.
"Aku tidak perduli dengan mereka Kak, yang terpenting keluarga ini tidak membenciku." Jawab Farah.
"Aku justru sangat merasa bersalah padamu, aku tahu Zidan memperlakukakan kamu tidak baik. Namun aku juga tidak bisa banyak menuntut banyak hal padanya. Dia bimbang Ra, karena semua orang mempersalahkan Ayah tentang pernikahannya yang kedua ini." Jelas Zia.
Farah mengangguk dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 294 Episodes
Comments
Hotma Gajah
si anak papa banyakan makan ayam negeri jadi bloon
2024-02-21
0
Dessy Tokan
terlalu byk iklan, jd gak konsen utk bacax. sebel
2024-01-26
0
Jumadin Adin
seharusnya farah pwrgi jauh dulu baru nadia meninggal
2022-12-28
1