Back to office.

Kaina's PoV

Apa bedanya rasa suka dan rasa cinta? Menurutku kalau hanya sekedar suka, seseorang tidak akan mengalami patah hati yang sangat mendalam seperti yang aku rasakan saat ini. Tapi dengan adanya cinta, kita belajar untuk ikhlas melihat orang yang kita cintai bahagia dengan orang lain. Saat ini juga aku sedang menantang diriku sendiri untuk membuktikan kalau itu bukan sebatas teori.

Guess what ? Hari pertamaku kembali bekerja sudah disuguhkan kabar sukacita oleh Rayshaka. Dia akan bertunangan dua bulan lagi. Rasanya seperti dejavu. Hans juga akan menikah dalam kurun waktu yang sama. Kembali aku merasa sangat terkucil di dunia yang luas ini.

Seperti yang sudah aku janjikan, aku akan bahagia jika memang dia pun bahagia dengan jalan yang dia pilih.

Satu hari itu dia menghabiskan waktu senggang di kantor dengan menceritakan semua tentang Silvi padaku. Bagaimana mereka awal bertemu, bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan Silvi, hambatannya apa saja, alasan Silvi pernah menyelingkuhinya, hingga bagaimana mereka akur kembali. Meski pun telingaku panas bukan main, aku senang bisa menjadi pendengar yang baik dan aktif untuknya.

Entah bagaimana bisa aku malah jadi pendukungnya. Mungkin benar aku terlalu cinta, sampai-sampai melupakan kalau kami pernah berciuman layaknya orang berpacaran.

Bahkan di hari-hari berikutnya, dia mulai aktif menanyaiku tentang bagaimana pendapatku dari sudut pandang perempuan soal ini dan itu. Saat dia ingin memberi kejutan kepada Silvi, dia akan tanyakan padaku. Dia bertengkar dengan Silvi, dia akan curhat semalaman dan meminta saran.

Lama kelamaan aku sampai mengabaikan perasaanku sendiri, lebih mengutamakan bagaimana caranya agar dia bahagia, meskipun bukan denganku.

*****

Sebastian's PoV

Aku bisa bernapas lega sekarang. Bergabungnya Nirvana Ressort dengan perusahaan membuat omset cabang Bandung naik drastis. Aku mengagumi kinerja Rayshaka yang telah berhasil membuat Franklin menandatangani lembar perjanjian itu.

Pihak direksi pun memuji cabang kami yang akhirnya bisa mengungguli cabang lain. Tentu saja pemutihan yang pernah disebut-sebut pak Kusnaidi dibatalkan. Benar-benar melegakan.

Namub aku masih menyimpan satu rahasia yang masih membuatku penasaran. Ada cerita kelam dibalik perjanjian itu, di mana Ferdi juga diam-diam mencoba menyaingi Ray. Mungkin ini terdengar sepele, namun pengunduran dirinya masih menyimpan rahasia. Aku yakin ada hal tersembunyi yang tidak terungkap setelah acara gathering itu berakhir.

*****

Author's PoV

Jika diibaratkan Rayshaka adalah bumi, maka Silvi adalah Matahari baginya. Sumber energi utama yang dia butuhkan agar bisa menjalani hari-harinya dengan semangat, penuh gairah. Setidaknya itulah yang pernah dikatakan Ray pada Kaina.

Apalagi menjelang pertunangan mereka, Ray semakin intens bertemu dengan kekasihnya itu. Meskipun pulang kerja sudah sore, dia akan mengunjungi Silvi ke daerah Setiabudi.

Kaina sendiri perlahan mulai menarik diri dari Ray. Mulai mengurangi waktu bersama pria itu. Seperti misalnya setiap kali Ray menawarkan tumpangan saat jam pulang kerja, dia akan menolak dengan alasan tidak enak kalau ada yang lihat. Meskipun Ray sering memaksa, dia tetap pada pendiriannya.

Baginya sangat tidak baik apabila dia tetap menjalin kedekatan ekstra dengan Ray yang sudah punya calon tunangan. Dia juga tidak yakin bisa mengontrol perasaan liarnya bila terlalu dekat dengan Ray. Dia harus bisa melupakan harapannya dan mulai belajar serius menjadi partner kerja yang baik.

"Yakin kakak enggak ada perasaan lagi sama kak Ray?" ya, meskipun malam minggunya dengan Rosa masih sering membahas tentang Ray.

"Ada sih masih pastinya, Ros. Tapi harus segera dibasmi," Kaina tertawa sumbang sambil menggigit steak-nya.

"Kak Ray kok tega ya? Sudah nyium upss ...." Rosa tidak melanjutkan kata-katanya karna Kaina menendang kakinya di bawah meja. Kaina melakukannya karena dia melihat Hans datang dari belakang punggung Rosa. Ya, mereka janji nonton bareng malam ini. Tapi berdua saja, tanpa Rosa.

"Hei, sudah lama? Maaf ya, macet banget tadi."

"It's oke, Hans. Hari ini semua lancar?"

"Lancar, Kai. Makanya bisa cabut cepat," Hans tersenyum. Kaina malah membayangkan senyuman Rayshaka.

"Baguslah. Eh, pesen apa? Maaf ya kami duluan, lapar soalnya."

"Santai saja, Kai. Hei Rosa, long time no see ...." Hans menepuk pundak Rosa. Gadis itu tersenyum kecil. Sesungguhnya dia sudah ilfeel kepada Hans, tapi masih berusaha bersikap wajar.

Mereka berbincang sekitar setengah jam saat Andre akhirnya menjemput Rosa. Beberapa menit kemudian Kaina dan Hans juga beranjak meninggalkan resto tersebut.

"Mau nonton apa?" kini mereka sudah antri untuk membeli tiket. Karena malam minggu, yang mau nonton juga banyak, jadi antriannya cukup panjang. Kaina dan Hans harus rela antri padat-padatan.

"Rame banget ya, tumben," celetuk Kaina.

"Memangnya sudah jarang nonton?"

"Banget. Mau nonton sama siapa coba?" Kaina menggoda sambil menghadap Hans. Dia sama sekali tidak canggung lagi di depan mantan kekasihnya itu. Keduanya sudah komitmen untuk menjadi teman baik.

"Mulai dehh ...." Hans memasang tampang cemberut. Kaina tertawa sambil mengelus-elus pundak Hans.

"Sudah bilang tunanganmu kalau kita nonton bareng?"

"Sudah. Kamu tenang saja ya," Hans mencubit pipi Kaina dan membalikkan tubuh mungil itu menghadap ke depan. Lalu dengan santai dia melilitkan kedua lengannya di depan Kaina. Posisinya Kaina bersender dengan santai di dada Hans. Meskipun demikian, mereka tidak merasakan getaran apa-apa lagi.

Sesekali Hans mengajaknya bicara sambil menundukkan kepalanya ke dekat telinga Kaina. Kalau ada yang melihat, sudah pasti mengira mereka adalah sepasang kekasih.

"Hei, Mba Kaina!" tiba-tiba kepala Kaina menoleh pada suara dari antrian sebelah. Hans juga menoleh namun sama sekali tidak melepaskan rangkulannya.

"Hei, Silvi! Hei, Bro!" Kaina awalnya hendak melepaskan diri dari Hans, namun aneh, Hans justru memberi isyarat agar mereka tetap demikian. Tidak terlalu ketara karena Kaina langsung mengerti.

"Eh, nonton juga lu, Bro? Halo mas, Rayshaka." Dengan gentle Ray mengulurkan tangannya terlebih dahulu ke Hans, membuat Hans melepas tangannya dari Kaina.

"Hans Setiawan. Teman Kaina?"

"Iya mas, satu kantor. Kenalin, Silvi, tunangan saya."

Hans memberi salam dibarengi senyuman kepada Silvi.

"Pada mau nonon apa, Mba?" Silvi bertanya kepada Kaina.

"Dia pengen nonton Imperfect-nya Ernest Prakasa. Iya kan, sayang?" Hans menjawab sambil menggamit pundak Kaina lagi. Kaina mengangguk.

"Bareng saja mau? Aku sama Ray juga mau nonton itu." Silvi meggandeng lengan Ray.

"Gimana sayang?" Kaina balas menanya Hans. Sepertinya mereka sedang memainkan drama sebagai pasangan kekasih tanpa ada yang mengkomando.

"Ayo saja, sepertinya asyik nonton rame-rame."

Setelah sepakat nonton bersama, Kaina dan Silvi pun keluar dari antrian untuk membeli popcorn. Hans dan Ray antri sambil mengobrol macam-macam.

Selang berapa menit mereka sudah berada di studio, duduk berdampingan dengan pasangan masing-masing.

Tidak ada yang spesial selama pemutaran film berlangsung. Silvi sibuk dengan Ray, Kaina juga sibuk dengan Hans yang masih berpura-pura jadi kekasihnya. Dia merangkul pundak Kaina sehingga perempuan itu harus mencondongkan badannya ke arah Hans.

"Jadi sebenarnya gendut itu enggak masalah ya. Asal kitanya percaya diri," Kaina mulai mengulas film saat jalan keluar Studio bersama Hans. Mereka baru saja berpisah dengan Ray dan Silvi.

"Iya, kebanyakan perempuan jaman now lebih fokus sama body goals ketimbang jadi sehat," Hans menyambung.

"Bener bener ... tapi enggak bisa disalahkan juga Hans, karena faktanya laki-laki pun lebih tergiur sama cewek yang body-nya keren kan?" Kaina menunjuk Hans dengan telunjuknya.

"Enggak semua, Kai. Pada akhirnya pria sejati akan jatuh cinta pada kecantikan hati dan akhlak setiap perempuan. Bukan fisik saja."

"Oh ya? Makin bijak saja kamu."

Mereka berdua tertawa renyah. Kemudian Kaina teringat sesuatu.

"So, kita sudah bisa menyudahi sandiwara kita?" tanyanya sambil melepas rangkulan Hans di pundaknya.

"Hahaha ... oh iya, sori sori sori. Tadi aku spontan saja, pengen liat reaksi si Ray itu."

"Oh ya? Dan hasil pengamatannya adalah?"

Hans tertawa kecil.

"Aku harus melakukan observasi lebih lanjut. Belum bisa ditarik kesimpulan apa-apa."

"Observasi? Wow ..." Kaina membesarkan matanya. Tertawa renyah.

"Kalau sudah ada jawabannya aku kasih tau."

Kaina mengacungkan jempolnya dengan cuek. Sebenarnya dia tidak membutuhkan observasi Hans atau apapun itu. Ray bahkan sudah pernah menciumnya seolah-olah dia punya perasaan kepada Kaina, namun pada kenyataannya tidak. Apalagi kalau Hans hanya ber-observasi dari gelagat dan gerak tubuh.

"Makan lagi yuk? Atau ngemil deh ...." ajak Hans sambil menekan remote control mobilnya.

"Dengan senang hati ...."

Hans dan Kaina pun meninggalkan mall dan bergerak menuju kafe 24 jam yang masih buka.

*****

Hans's PoV

Kaina ... gadis baik dan lugu yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Dia adalah salah satu sosok perempuan dewasa dari beberapa perempuan lain yang pernah aku kenal.

Aku menyayanginya, tapi perlahan-lahan rasa cintaku mulai menipis bersamaan dengan hubungan jarak jauh yang kami jalin. Malah tumbuh subur kepada gadis lain yang lebih sering aku temui di kantor. Benar jika ada pepatah yang mengatakan kalau cinta tumbuh karena terbiasa.

Begitu pun yang kurasakan bersama tunanganku, Tiara. Dia adalah mantan atasan divisiku di kantor. Ya, aku pecinta pasangan yang lebih tua. Tiara adalah putri dari direktur utama kami. Jujur, aku tidak berniat menjalin hubungan dengannya karena dia kaya. Tapi perasaan memang tidak bisa dibohongi. Waktu itu, Tiara selalu ada di dekatku, selalu ada untukku, selalu membantuku.

Bukannya Kaina tidak melakukannya. Dia malah berusaha semaksimal mungkin untuk selalu ada untukku sekalipun kami berjauhan. Tapi rasa nyaman yang kudapat dari Tiara sudah mengalahkan kebutuhanku akan Kaina.

Aku jatuh ke pelukan Tiara dan menyetujui tawaran pertunangan dari orangtuanya. Aku merasa bersalah yang terdalam kepada Kaina, kekasih yang sudah menungguku dengan setia di kota ini.

Saat tidak sengaja bertemu dengannya di Dufan, aku belum siap untuk mengakui semuanya. Air matanya juga melumpuhkan lidahku untuk berbicara. Untung saja dia dengan kebesaran hatinya membuatku yakin kalau dia akan baik-baik saja entah apapun kenyataan yang akan dia dengar hari itu.

Kaina ... dia menyukai Rayshaka. Sangat menyukai pria itu. Meskipun saat di rumah sakit waktu itu dia tidak menceritakan dengan detail hubungan mereka sejauh apa, aku tau, Ray telah berhasil menyentuh hatinya. Dia memiliki cinta yang sangat besar, tapi terpaksa dipendam seperti harta karun di kedalaman lubuk hatinya karena pria itu memilih kembali berdamai dengan Silvi.

Kaina ... mungkin dia juga sudah cukup menangis untuk Ray, sama seperti menangisi aku. Dia adalah perempuan kuat dan tegar. Terbukti saat tadi kami bertemu Ray dan Silvi, dia bisa bersikap wajar. Tidak berekspresi berlebihan sebagaimana biasanya orang lain yang tidak sengaja bertemu dengan orang yang dia taksir sedang bersama pacarnya. Dia bisa menguasai dirinya dengan baik.

Aku semakin berhasrat untuk mencari tahu bagaimana hubungan mereka dari sudut pandang Rayshaka.

*****

Terpopuler

Comments

Teh yan"

Teh yan"

enak AZ kai hanya di jadkan pelampiasan.. Mau maunya lg kai pasrah saat di cium.. jijik aku
ingin rasanya menapar ray .. masa gk Ada feeling sama sekali.. hanya di jadkan pelampiasan
🤬🤬🤬🤬

2021-02-21

4

Siti Hajar NurSarianti Lage

Siti Hajar NurSarianti Lage

Boleh ga thor jodohin Kaina sm Ferdi aja..kan kita butuh org yg mencintai kita 😍

💪💪💪

2021-02-14

1

Lyde

Lyde

cerita mu menghanyutkan tor..bikin baper

2020-11-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!