Fakta yang menyakitkan.

Ferdi's PoV

Sudah hampir dua bulan aku bekerja di perusahaan ini. Nagata Paper. Sejak aku memutuskan meninggalkan perusahaan papa di Jakarta, satu-satunya targetku adalah perusahaan ini. Masa depan perusahaan yang sangat terjamin dan produk yang sangat bersaing di Jakarta.

Tadinya aku berniat masuk ke cabang yang ada di Jakarta, tapi mengingat ada Ray disini, gairah bersaingku kembali muncul. Kalau dipikir-pikir, sudah lama kami tidak bersama setelah masa kuliah kami usai. Jadilah kenalanku mengurus aku masuk ke cabang Bandung. Awalnya Ray kaget. Aku tahu dia merasa terancam dengan kehadiranku. Namun kemudian kami sepakat untuk menjadi tim yang solid di kantor.

Apalagi ... ada Kaina di sini. Dia alasanku untuk menjadi partner yang baik bagi Ray. Hubungan kami berjalan baik. Kami bertiga sudah seperti teman akrab, baik di kantor maupun di luar kantor. Kaina juga selalu bisa berbaur dengan aku dan Ray. Apapun yang menjadi topik bahasan kami, tidak serta merta membuat jarak karena dia perempuan. Malahan, belakangan aku dan Ray sering mengejeknya bukan seorang perempuan, alias seorang laki-laki. Itu karena kami bisa melakukan apapun kepadanya tanpa harus takut dia sakit hati, cengeng, marah, ngambek dan sebagainya. Tapi tentu saja aku dan Ray tahu batasan kejahilan yang kami lakukan kepada Kaina.

Perjuanganku untuk mendapatkan hati Kania terbilang cukup sulit. Dia jarang menerima ajakanku untuk kencan. Dia akan selalu mengajak Keisha maupun Rayshaka untuk ikut bersama kami. Malahan sering di tengah jalan aku ditinggal berdua dengan Keisha.

Malam ini pun aku berencana kembali mengajaknya makan malam berdua. Mumpung lagi bulan puasa, sore-sore begini pasti banyak menu pilihan untuk kulineran. Mumpung aku dan Ray juga cepat balik dari kunjungan customer.

Kaina masih sibuk di mejanya sewaktu aku lewat dari ruang admin menuju toilet. Debaran jantungku semakin tidak karuan saat melihat hanya ada dia di ruangan. Mendadak kalimat yang biasanya kupakai untuk mengajaknya pergi, lenyap dari pikiranku. Bagaimana kalau nanti candaanku terkesan garing? Ketahuan deh ajakan ini bukan spontanitas.

"Eh sdah balik, Fer?" tahu-tahu Kania yang menegurku duluan.

"Iya. Owner-nya pada ke luar kota. Lu belum pulang?" akhirnya aku punya alasan untuk membelok masuk ke dalam ruangan administrasi.

"Ini lagi beresin report. Sedikit lagi," jawab Kaina. Aku antusias melihat worksheet-nya di layar monitor.

"Oh, tadi menelepon Galih Trader? Pak Galih-nya mau order?" tanyaku.

"Belum. Stoknya masih lumayan. Katanya minggu depan," jawab Kaina. Debaran jantungku semakin menjadi-jadi. Haruskah aku mengajaknya sekarang? Mumpung dia fokus dengan pekerjaannya sehingga kata-kataku tidak harus dicerna sepenuhnya olehnya.

Tiba-tiba saja hati dan otakku sepakat untuk membatalkan rencana ini. Aku memang terlalu lemah setiap berada di dekat wanita ini.

"Siapa yang mau order?" Tahu-tahu Ray muncul di antara kami. Hilang sudah kesempatanku. Sepertinya Tuhan juga setuju aku membatalkan rencana ini.

"Pak Galih, Ray. Tapi masih belum mau order lagi," jawabku.

"Kenapa memangnya? Stoknya masih banyak?" tanya Ray lagi.

"He-em," Kaina mengangguk.

"Kemarin gua sudah kesana kok. Memang masih menumpuk stoknya."

"Iya, gua tau! Dan kenapa lu enggak kasih tau hah? Tahu begitu aku enggak perlu follow up dia lagi. Pak Galih jadinya marah-marah tau!" Kaina refleks melayangkan tinjunya ke perut Ray, membuat Ray sukses mengaduh kesakitan.

"Ya elu enggak bertanya dulu. Lagian kan ada di report kunjungan sales. Enak nabok aja lu Kai." Ray menjawab sambil meringis kesakitan.

"Iya ya? Wah, gua lupa cek laporan kalian. Maaf, maaf." Kaina tertawa cekikikan melihat ekspresi Ray. Tak segan-segan dia mengulurkan tangan menepuk lengan Ray pelan tanda meminta maaf. Aku juga melihat Ray tersenyum kecil pertanda dia menerima permintaan maaf itu.

Tiba-tiba saja ada yang aneh di dalam benakku.

"Eh, mau makan malam bareng enggak guys? Di restoran baru yang jadi new customer kita bulan lalu? Katanya sup iganya enak."

"Oya? Mau dong. Tapi gua beresin ini dulu ya?" Kaina langsung antusias. Aku berharap Ray punya urusan yang tidak bisa ditinggal malam ini.

"Gua ada janji, Bro. Lu sama Kaina saja ya?" Ray menepuk pundakku tanda menyesal. Hatiku melonjak kegirangan. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Tapi untungnya tubuhku tidak langsung menunjukkan reaksi yang berlebihan. Kalau enggak, bisa-bisa ketahuan aku sangat ingin jalan berdua saja dengan Kaina.

"Yah, enggak asik kalau cuma berdua bro," ujarku berpura-pura.

"Asyikin saja, Fer. Gua duluan ya. Yuk, Kai." dia juga menepuk pundak Kaina pelan sebelum keluar dari ruangan.

"Ya. Take care, Bos." Kaina sempat menjawab dengan ceria. Setelahnya debaran keras di jantungku muncul lagi.

"Kalau begitu, gua ambil tas dulu ya?"

"Enggak jadi ke toilet?" Kaina mengingatkan.

"Oh iya. Lupa," aku menepuk jidat mendapati diri yang mendadak linglung. Kaina tertawa cekikikan. Ah, tawa itu indah sekali.

Sepuluh menit kemudian aku dan Kaina sudah berada di dalam mobil menuju restoran yang aku maksud. Ini pertama kalinya kami jalan hanya berdua. Tadinya aku beranggapan dia akan merasa tidak nyaman karena tidak ada Keisha. Ternyata aku salah. Dia sama sekali tidak menunjukkan pertanda atau pun gejala seperti yang aku takutkan. Mungkinkah dia mulai nyaman denganku?

Kami bercerita banyak tentang kehidupannya. Obrolannya mengalir begitu saja dan dia tidak keberatan.

"Orangtua kamu berarti di Tasik?"

"Iya, mama sama adik aku. Papa sudah enggak ada." Kaina melempar senyum sambil menjawab pertanyaanku.

"Oh, sorry Kai, gua enggak tahu."

"It's ok, Fer."

"Hm ... sakit?" sambungku lagi. Maksudku penyebab papanya meninggal.

"No. Bisa dibilang kecelakaan. Lu asli mana? Kalau asli Jawa Barat pasti pernah baca beritanya di koran."

"Oh ya? Lahir disini sih, tapi gede di Jakarta. Koran apa? Tahun?"

"Tahun 2005. Koran apa ya? Ah, enggak enak kalau di bahas lagi," senyumnya berkurang saat dia mengalihkan pandangan ke luar mobil. Kemacetan menarik perhatiannya.

"Ini lagi bulan puasa kan? Dulu kecelakaannya juga pas jelang Lebaran kayak sekarang."

"Kok ... bisa? Bagaimana ceritanya?"

"Jadi pas lagi sore kayak begini, papa dan mama lagi ikut ngabuburit sambil beli jajanan untuk gua dan adik gua di rumah. Tiba-tiba ada keributan dari arah belakang, katanya ada yang kena jambret. Ibu-ibu. Orang kaya." Kaina menarik nafasnya pelan, lalu menghembuskannya.

"Papa awalnya berniat pengen tahu apa yang terjadi di belakang sehingga menghentikan motornya. Namun tiba-tiba saja sebuah tas melayang ke arahnya dan dengan refleks papa menangkap tas tersebut. Tidak berapa lama kemudian, massa yang mengejar copet itu datang dan malah menghajar papa dan mama. Mereka mengira orangtua gua komplotan pencopet itu. Tanpa bertanya dulu, tanpa memperhatikan siapa yang mereka hajar."

Kaina berhenti lagi. Aku mendengar suaranya mulai sedikit bergetar.

"Setelah orangtua gua sekarat kena amukan massa, ibu-ibu konglomerat itu tiba. Kemudian mengatakan kalau bukan papa pencopetnya. Sayangnya semuanya terlambat . Papa mengalami patah tulang parah dan pendarahan hebat yang membuatnya tidak sanggup bertahan selama perjalanan menuju rumah sakit."

Aku menunduk dan dengan refleks menyentuh pundak Kaina. Dia menoleh kepadaku dan tersenyum lirih.

"Setiap mengingat peristiwa yang tidak manusiawi itu, aku selalu mengutuk orang-orang kaya. Bagaimana uang telah membutakan banyak mata. Pencopet yang tergiur akan dompet tebal mereka, serta massa yang bela-belain berubah menjadi monster demi mendapat bayaran kalau tasnya bisa kembali."

Sesaat kemudian hening. Aku kurang pintar dalam merangkai kata, apalagi untuk menyampaikan empati menyangkut hal-hal seperti ini.

"Maafin gua, Kai. Bikin lu sedih lagi ingat itu semua," ucapku tulus sambil menatapnya penuh arti.

"It's ok, Fer. Gua saja yang terlalu sensitif. Harusnya sudah enggak perlu sedih lagi kalau ingat itu. Sudah lama ini kan?" dia tersenyum. Hatiku meleleh lagi mengetahui ketegaran hatinya.

"Hmmm ... ya sudah, bagaimana kalau kita bahas yang lain? Misalnya ... Ray. Ya, Ray. Menurut lu dia sudah punya pacar belum sih?"

"Ray? Mana gua tahu. Bukannya lu berdua sohiban? Sahabat kental lagi. Masak enggak tahu?"

"Ya iyaa, tapi dia enggak pernah bahas pacar atau gebetan. Ya gua was-was dong, takut kalau-kalau dia lagi bete."

"Hahaha. LGBT maksud lu? Bukannya kalian berdua tuh yang LGBT?"

"Asem lu Kai, enak saja!"

Kaina tertawa terbahak-bahak. Lagi-lagi aku terpesona dengan tawanya. Raut sedih yang tadi sempat mencuri keceriannya pun sirna.

"Jadi bukan ya? Syukurlah, gua masih temenan sama cowok normal," ujar Kaina.

"Ya normal lah. Begini-begini gua punya cewek yang di taksir tau."

"Oya? Kenalin dong! "

"Nanti ya, ada waktunya," jawabku sok dramatis.

"Siiipppp! Sepertinya bakalan ada traktiran nih! " Kaina meledek sambil tertawa senang. Aku hanya mengangkat bahu sambil memasang ekspresi 'lihat nanti saja'.

*****

Author's Pov

Kedua orang itu duduk berdampingan dengan wajar sambil menikmati hidangan masing-masing. Ferdi sengaja memilih meja dengan sofa single agar bisa duduk lebih dekat dengan Kaina. Sesekali terdengar tawa lucu dari meja itu karena topik pembahasan mereka. Kaina bahkan sering sampai menutup mulutnya agar makanan yang sedang dikunyah tidak berhamburan keluar.

Ferdi dengan jelas menunjukkan kekagumannya atas kecantikan gadis di hadapannya. Dia sudah lupa siapa perempuan yang terakhir kali mau tertawa sebebas itu dengannya tanpa harus jaim dan malu-malu. Kaina. Akhirnya dia menemukan lagi perempuan yang selalu apa adanya.

"Lebaran ini mudik ke Tasik dong? "

"Hmmm ... Iya. Elu?"

"Ke Jakarta mana mudik namanya. Boleh ikut?"

"Enak saja! Nanti gua dikira bawa calon suami."

"Bagus dong." Ferdi menjawab asal dan Kaina tidak tertarik menanggapi.

Di tengah keasyikan mereka, Kaina menangkap sosok pria yang ia kenal. Rayshaka muncul di ambang pintu restoran. Dadanya berdebar, jantungnya berdetak menjadi lebih cepat.

Dia mengira Rayshaka datang untuk bergabung dengan mereka. Namun raut wajah perempuan itu seketika berubah saat Ray berhenti dan bersikap seperti sedang menunggu seseorang.

Benar saja, seorang wanita berparas cantik memasuk restoran dan menghampiri Ray.

Kini debaran jantung Kaina seolah-olah berhenti. Kunyahannya berhenti, sendoknya nyaris terjatuh kasar mengenai piring. Untung saja dia cepat tersadar, sehingga tidak mengejutkan Ferdi.

Dengan cepat dia mengalihkan pandangannya dan kembali fokus teehadap perkataan Ferdi.

"Adik lu sibuk apa di Tasik? Kuliah?"

"No, dia buka usaha menjahit. Sekalian nemenin mama," jawab Kaina dengan pikiran yang sudah tidak fokus.

"Oh ya? Hebat! Bisa dong gua jahit baju ke adek lu."

"Bisa banget. Hasil jahitan adik gua bagus loh. Sudah terkenal di Tasik."

"Dulu sekolah menjahit ya dia?"

"Enggak, diajarin mama."

"Waw, hebat!"

Kaina mengembangkan senyum dengan sekuat tenaga. Bukan hanya untuk tersenyum saja, juga untuk menahan diri agar tidak mencari keberadaan Rayshaka dan perempuan tadi.

*****

Terpopuler

Comments

Suryatina Handayani

Suryatina Handayani

nah ketahuan nih Kaina suka sm Ray gimana dgn Hans msh jadi pacar ny apa sdh putus?

2021-04-28

0

Teh yan"

Teh yan"

makin penasraan thor.. tasik nya di mana nih

2021-02-17

0

Sayidah Nurcholifah

Sayidah Nurcholifah

Wah wah wah..
Bertepuk sebelah tngan dong, mereka..

2020-11-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!