Author's PoV
Gathering yang diadakan kantor Kaina akan berlangsung selama dua hari ke depan. Sabtu pukul dua dini hari seluruh karyawan dan keluarga sudah berkumpul di halaman depan kantor. Tiga bus pariwisata sudah bertengger sejajar di dekat gerbang utama.
Kaina dan Rosa sudah stand by dengan jaket tebal, kupluk, sarung tangan dan kaos kaki. Tempat yang akan mereka tuju adalah kawasan dingin di daerah Cisarua, Bogor.
Kaina dan Rosa mendapat kursi di bus kedua. Tempat duduk sudah diatur berdasarkan kelompok selama acara. Seluruh divisi dipencar agar bisa membaur dengan divisi lain.
Kaina terpisah dengan Keisha, Fany dan teman satu ruangannya yang lain. Untungnya, karena ada Rosa dia tidak merasa terasing. Justru tidak disangka-sangka, karyawan dari divisi lain cukup banyak yang mengenalnya. Katanya aneh sekali kalau tidak mengenal seorang Kaina yang selalu ramai di kantor. Apalagi sering berantem dengan Rayshaka, si sales tisu yang cukup terkenal kegantengannya.
Rosa berdehem mendengar pengakuan rekan kerja Kaina. Dia bersyukur kakak kosnya itu punya banyak teman, jadi tidak harus merasa kesepian karena sudah tidak dengan Hans lagi.
Perjalanan Bandung - Cisarua memakan waktu hampir lima jam. Itulah sebabnya mereka membuat jadwal berangkat dini hari. Setelah sampai di villa tujuan, panitia langsung mengarahkan setiap kelompok ke bungalownya masing-masing. Satu bungalow ada empat kamar dengan isi dua kasur. Kaina langsung memilih kamar nomor satu bersama Rosa. Jendelanya besar dan langsung berhadapan dengan halaman utama.
Setelah sempat istirahat sekitar setengah jam, pukul delapan pagi mereka berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Untuk pertama kalinya Kaina akhirnya bertemu dengan teman satu ruangannya. Saling mengenalkan saudara yang dibawa dan tentu saja ada Tito.
Rosa tersipu malu saat Tito menghampirinya dan makan bersama. Tito mengaku sedikit terasing. Ray menelantarkannya setelah masuk kamar dan beres-beres. Laki-laki itu menghilang entah kemana.
Acara ramah tamah menyusul setelah sarapan usai. Panitia seksi konsumsi terlihat sangat lihai membereskan semua piring setelah semua peserta keluar dari ruang makan. Kaina mengenal salah seorang dari mereka, Fany. Pantas saja Kaina tidak melihatnya duduk sebagai peserta saat sarapan.
Sebastian terlihat duduk bersama jajaran kepala divisi. MC acara yang tidak lain adalah Rayshaka mempersilahkan Sebastian memberikan kata sambutan dan membuka serangkaian acara gathering itu secara formal.
Kaina cukup terejut saat melihat Ray ada di atas panggung. Dia mendadak merasa terasing karena tidak tahu menahu perihal kepanitiaan.
"Woy! Kelompok berapa lu?" Ferdi muncul di sebelah Kaina. Dia menggunakan nametag sama seperti Kaina. Gadis itu pun tersenyum. Setidaknya Ferdi tidak terlibat dalam kepanitiaan, sama seperti dirinya.
"Kelompok dua. Lu?"
"Empat. Lu bungalow apa?" Ferdi bertanya lagi.
"Mawar satu. Lu main dong nanti ke bungalow kita."
"Siipp. Gua balik dulu ya."
Kaina mengangguk sambil tersenyum. Rosa mengerutkan kening seperti bertanya.
"Eh, itu Ferdi. Cakepan mana daripada Ray?" Kaina menjelaskan.
"Sama-sama cakep. Ya Tuhan, kakak beruntung banget sih ada di antara dua cowok cakep?" Rosa kesemsem sendiri. Membuat Kaina tertawa lucu.
"Mau? Pacarmu mau dikemanain?"
"Ihh, enggaklah. Aku justru penasaran, kakak pilih siapa di antara mereka?"
"Hahaha, dua-duanya sudah ada yang punya Ros. Sayang banget. Hahaha ...."
Ke dua gadis itu bersenda gurau di sela-sela kata sambutan Sebastian.
Kegiatan pertama pun dimulai setelah itu. Ray mengarahkan masing-masing kelompok untuk duduk membentuk lingkaran. Mereka akan menyelesaikan studi kasus yang sudah disediakan oleh panitia. Topiknya adalah topik umum dan ringan yang semua orang -seperti keluarga karyawan- pasti paham dan bisa ikut berpartisipasi.
Kelompok Kaina kebagian topik tentang lingkungan. Seandainya mereka adalah seorang pemimpin di kota Bandung, apa kebijakan yang akan mereka buat untuk mengatasi banjir yang mulai sering terjadi di beberapa daerah. Siapa yang akan berperan untuk mewujudkan kebijakan itu, apa kendala yang mungkin terjadi, cara meminimalisir kegagalan dan lain sebagainya.
Rosa sangat antusias dalam memberi masukan, begitu pun anggota kelompok yang lain. Sangking serunya diskusi diantara mereka, sampai tidak sadar kalau semua kelompok sudah menunggu di ruang seminar. Setengah jam habis tidak terasa.
Sesi selanjutnya pun tidak kalah seru, satu per satu kelompok maju ke depan untuk sharing hasil diskusinya dan semua orang dipersilahkan untuk bertanya. Suasana tidak pernah hening karena diskusi selalu diselingi tawa dan candaan kaum bapak-bapak dan ibu-ibu. Setelah itu panitia membuat game kecil-kecilan dengan tujuan melihat kelompok mana yang lebih kompak.
Saat makan siang, Ferdi bergabung lagi dengan Kaina, Rosa dan Tito tentunya. Ferdi sudah mengenal Tito, karena Tito adalah saudara Ray. Dia lumayan mengenal sebagian dari keluarga temannya itu.
Acara di ruang seminar berlanjut sampai sore. Masih seputar bedah kasus dan diskusi. Ray terlihat sangat sibuk, Kaina belum sempat menyapanya secara langsung bahkan sampai saat malam tiba, dimana ada acara api unggun di halaman utama. Dia malah dikawal ketat oleh Ferdi karena karyawan pria dari divisi lain banyak yang mengajaknya mengobrol. Kaina memang lugas, friendly, cepat beradaptasi dengan orang baru. Satu-satunya orang yang membuatnya membutuhkan waktu lama untuk terbuka adalah Rayshaka.
"Lu tenar juga di divisi personalia. Si Kevin saja sampai nanyain yang mana yang namanya Kaina."
"Oh ya? Si Kevin yang katanya mirip Lee Min Ho itu?"
"Iya. Kok lu tahu? Lu juga suka kepoin cowok-cowok ternyata." Ferdi tertawa sumbringah.
"Hahaha ... cowok se cakep dia siapa yang nggak tahu coba? Instagramnya saja banyak followers."
"Ih, sampai kepoin instagramnya juga lu?"
"Iya. Kenapa?" Kaina mencibir.
"Cemburu gua. Hahahaaa ...."
"Hahahhaaa ...." Kaina menimpali tawa Ferdi. Dia tahu Ferdi sedang serius dengan perkataannya.
"Ray mana ya? Sibuk banget itu anak."
Kaina mengangkat bahu. Saat itu pula tiba-tiba sebuah jaket tebal mendarat di kepalanya, menutup kepala Kaina dan membuatnya seperti sedang kehujanan.
"Woy!" teriaknya kaget.
"Nitip! Nanti gua ambil. Gerah," tidak ada lima detik, Ray sudah ngacir lagi ke dalam ruangan panitia. Hati Kaina tiba-tiba adem hanya dengan mendengar suara pria itu. Benda yang ada di atas kepalanya ini pun sukses membuatnya terbang. Ray menitipinya sesuatu. Apakah itu berarti Ray begitu mempercayainya? Di antara banyak orang dan teman dekatnya, Ray justru memilihnya. Bahkan Ferdi yang ada di depan mata tidak termasuk opsi. Dan ... apakah itu artinya Ray akan mengambilnya nanti? Itu berarti Kaina harus menunggu sampai Ray tidak sibuk.
"Itu anak seperti setan saja, buru-buru."
"Tau deh ... ini lagi, jelas-jelas dingin begini, malah nitipin jaket," Kaina mengambil jaket dari kepalanya dan melapiskannya di tubuhnya sendiri.
"By the way, lu ... suka Ray?"
Kaina tersentak. Apakah bunga-bunga di hatinya terlihat begitu ketara?
"Kok lu nanya gitu? Kita kan temen. Tim."
"Ohh... kirain," jawab Ferdi lega.
Nafas Kaina tercekat.
*****
Ferdi's PoV
Aku bisa melihat dengan jelas, sinar matamu hanya kau pancarkan untuknya. Senyum manismu hanya terkembang untuknya. Wajahmu yang berseri-seri muncul hanya saat ada dia.
Kaina ... tidak bisakah kali ini aku menang dari Ray?
Kamu ... hanya kamu saja yang aku mau.
*****
Kaina's PoV
Acara yang berlangsung seharian cukup menguras energi. Aku baru sadar kalau untuk bahagia pun memakan energi yang cukup banyak.
Semua kelompok sudah kembali ke bungalow masing-masing. Setelah mandi, makan malam, kini semuanya bersiap-siap untuk tidur. Tetangga kiri kanan sudah terdengar sepi. Maklum, bungalow kaum hawa. Berbeda dengan bungalow di seberang yang tampaknya masih full energi. Kaum adam masih pada beramah-tamah.
Aku sudah hampir terlelap saat Rosa keluar dari kamar hendak ke toilet. Kemudian aku mendengar dia berbicara dengan seseorang. Sepertinya itu Ray. Ah, aku lupa jaketnya ada padaku dan masih kukenakan sekarang.
"Bro ... lu cepat banget sih tidur? Masih jam sembilan woy!" Ray masuk sambil mengejekku, kemudian duduk di sebelah ranjang. Mataku terbuka dengan paksa, silau cahaya lampu sedikit mengganggu. Namun setelah Ray duduk di sebelahku, tubuhnya menutupi cahaya tersebut sehingga aku bisa melihatnya lebih jelas.
"Lu mau ambil jaket?" tanyaku serak.
"Awalnya sih iya, tapi lu masih pake, enggak jadi deh," kata Ray bergumam.
"Enggak nih, ambil saja," masih baru ingin bergerak, Ray langsung menahan pundakku supaya tidak bangun. Kemudian dengan pelan dia justru menarik zipper jaket itu sampai ke leher.
"Pakai saja, jaket lu itu ketipisan."
Aku tidak bisa mengingat bagaimana ekspresiku saat ini karena nyawaku belum terkumpul semua. Yang pasti jantungku berdebar sedikit lebih cepat.
"Lu enggak kedinginan?" antara sadar dan tidak aku mengulurkan tangan, menyentuh lengannya yang dingin. Kuusap-usap agar sedikit hangat.
"Give me ... warmth."
"How? "
Aku membiarkan Ray membungkukkan badannya, kemudian menggenggam kedua tanganku, membuat kedua telapak tanganku di pipinya. Kedua sikunya sudah bertopang di kiri dan kanan tubuhku.
Aku tersenyum sambil mengelus-elus pipi putih bersih itu. Dia sangat tampan. Semua karyawan dan keluarga karyawan histeris saat tadi dia muncul pertama kali jadi MC acara.
"Sibuk banget ya hari ini?" tanyaku pelan.
"Hm-m ... lu nyariin gua?"
Aku menggeleng, "Buat apa dicari? Lu selalu ada di depan mata. Tapi jauh."
Ray tertawa kecil dan membelai rambutku pelan. Aku seperti tidak sadar sudah melontarkan kalimat tadi.
Suhu tubuhku semakin meningkat karena jarak tubuh kami yang begitu dekat. Deru napasnya menyapu permukaan wajahku. .
"Kaina ...." entah kenapa suaranya tiba-tiba begitu berat dan pelan.
"Hm?"
"Kali ini jangan marah, please?"
"Marah kenapa?"
Bukan kata-kata yang aku dapat, melainkan gerak perlahan kepala Ray yang mendekat. Jantungku berdetak kencang menyadari apa yang akan dilakukannya.
Aku terlambat mengelakkan sentuhan lembut bibirnya di atas bibirku. Membeku tidak kuasa menahan gejolak di dalam hati. Ray benar-benar mencoba membuat dirinya hangat.
Entah apa yang ada di pikiranku, aku mengikuti caranya mencari kehangatan. Kedua lenganku kukalungkan di lehernya, sementara tangannya berbagi tugas, yang satu menelusup ke belakang kepalaku dan menopangnya, yang satunya memasuki bawah punggung. Ia membuat tubuh kami berdua semakin merapat.
Ray menyesap bibirku dengan lembut. Tubuhku bergetar merasakan lidahnya bermain di dalam mulutku. Ciuman ke dua darinya, lagi-lagi berhasil membuat seluruh tubuhku kejang dan tidak berdaya.
Ray, kenapa harus aku? Kalau sudah begini, yang bisa kulakukan hanya jatuh cinta yang semakin dalam. Apakah kamu merasakan hal yang sama Ray?
Ciuman panjang itu ku akhiri karena kami kehabisan nafas. Dia tersenyum dalam nafas yang tersengal sambil menatapku dengan tatapan yang sulit ku mengerti. Bibirnya bergerak mengucapkan terimakasih. Kemudian dia merebahkan kepalanya dadaku. Kubelai dengan segala cinta yang kumiliki.
Oh Tuhan, kenapa ini harus terjadi? Kutukku dalam hati.
"Sudah hangat belum? Gua ngantuk nih," ucapku di atas kepalanya. Kedua lenganku masih melingkar di punggungnya.
"Belum. Bentaran lagi, Kai."
Aku menurut. Saat itu aku melihat pintu kamar sudah tertutup. Jantungku melonjak. Siapa yang menutupnya?
Suara dengkuran halus Ray terdengar membuat aku panik. Dia malah ketiduran! Bagaimana ini? Tito pasti mencarinya. Bagaimana kalau dia seharusnya masih ada urusan di kepanitiaan?
"Ray? Rayyy ...." aku mengguncang tubuhnya pelan, nihil. Tangannya justru semakin erat memeluk. Ini situasi yang aneh, di saat seharusnya aku senang, justru panik yang kurasakan.
"Gua sudah ijin ke Rosa kok," tiba-tiba dia berbicara.
"Eh, lu bukannya tidur? Maksudnya apa sudah ijin ke Rosa?"
"Sudah Kai, tidur saja ... dingin ...." katanya dengan suara serak. Dia bergerak-gerak mencari posisi yang nyaman. Hingga akhirnya tau-tau dia sudah berada di atas tempat tidur, sudah memakai selimut, tapi masih betah meringkuk di dalam rengkuhanku. Aku yang sudah tidak bisa tidur bertugas jadi penjaganya, memberinya kehangatan seperti yang dia minta.
Tidak lupa aku menanyakan keberadaan Rosa serta maksud dari semua ini melalui WhatsApp.
*****
Itu malam teraneh di dalam hidupku. Aku tidak pernah terpikir tidur bersama lawan jenis, selain papa waktu aku kecil. Aku dan Ray memang tidak melakukan hal-hal yang kurang ajar, kami asli hanya tidur bersama.Terkadang saat aku terbangun, aku mendapati diri sedang meringkuk di dalam pelukannya. Satu jam kemudian, berganti aku yang memeluknya. Mengingatnya aku jadi malu. Bahkan saat tidur pun aku tidak ingin lepas darinya atau melepaskannya dariku.
Pukul lima pagi aku terbangun dan sudah tidak mendapati Ray di kamar. Dia pasti sudah keluar sebelum semua orang terbangun. Dadaku bergetar lagi mengingat malam hangat yang baru saja kami lewati. Aroma tubuh Ray masih lekat dalam ingatanku. Bagaimana dia tersenyum, meringis, menggigil, semuanya. Berat badannya pun bisa kuterka sangking lamanya dia berbaring di atasku. Ahh ... sepagi ini pikiranku sudah mesum.
Cepat-cepat aku keluar kamar. Rosa sudah siap dengan setelan olahraga. Kami akan olahraga dan outbond pagi ini.
"Nyenyak tidurnya, Kak?" dia menyapa sambil memasang kaos kaki.
"Lumayan. Kamu kok enggak bangunin kakak?"
"Enggak berani ah. Kata kak Ray kakak baru pulesnya jam satu. Jadi jangan dibangunin dulu."
"Oh ya? Ray keluar jam berapa?"
"Jam empat. Ehm ... kecarian yaaa?"
"Ssttt ...." aku tersipu malu.
"Kamu sama Tito begadang? Memangnya enggak dilarang sama panitia?" aku mengingat Rosa dan Tito bercengkrama di ruang tamu sampai subuh. Tapi sepertinya tidak ada yang ronda, jadi enggak tau ada Tito dan Ray sedang berada di kamar kami.
"Orang panitianya lagi tidur nyenyak di kamar bareng kakak. Auchh!" aku menjitak jidat Rosa agar tidak melanjutkan rayuannya.
"Beneran enggak ada yang lihat kan? Aku takut kalau saja ada ...."
"Enggak kak, aman kok. Kakak tenang saja."
Senyum meyakinkan Rosa membuatku lega. Mudah-mudahan saja tidak akan ada masalah setelah ini.
"Terus, semalaman ngapain saja sama Tito?"
"Mau tau saja ah ...."
Aku membelalakkan mata curiga, "Enggak macem-macem kan??"
"Enggaklah ... kakak tenang saja. Sekarang urusin tuh hati yang lagi berdebar-debar."
"Sttt! Jangan keras-keras! Aku cuci muka dulu!" aku cepat-cepat kabur sebelum Rosa menggodaku lebih jauh.
*****
Author's PoV
Kesegaran pagi hari di Puncak berhasil menandingi udara di Bandung. Sejuk, dingin, membuat sedikit menggigil tapi menenangkan. Peserta gathering yang berkumpul di tengah lapangan mengikuti terlihat menikmati kesejukan itu. Menarik napas, menghembuskan, menarik napas lagi, hembuskan lagi. Gerakan-gerakan kecil untuk pemanasan mulai sedikit menghangatkan. Setelah itu mereka melakukan serangkaian senam yang dipimpin langsung oleh instruktur senam.
Setelah senam usai panitia mengumumkan jenis outbond yang akan mereka lakukan. Tidak ada unsur pertandingan, tapi tim yang paling banyak meyelesaikan game akan menjadi pemenangnya.
Semua peserta antusias memainkan game yang disusun panitia. Tua dan muda tidak menjadi hambatan untuk mereka berpartisipasi. Sekalipun harus berkotor-kotor ria, kesakitan, basah, mereka semua terlihat sangat menikmatinya.
"Bro ..." pundak Kaina tiba-tiba disentuh dari belakang. Dia berbalik dan seketika membeku dalam beberapa saat.
"Ya? Eh ... kenapa?"
"Ke sini sebentar ..." Ray memberi isyarat agar Kaina mengikutinya. Untungnya kelompoknya memang sedang istirahat.
"Bro, gua dapat kabar gembira," wajah Ray yang tadinya biasa saja tiba-tiba berseri bahagia.
"Oh ya? Kabar apa?"
"Tadi gua ditelepon sama Nirvana. Katanya besok jam delapan pagi harus sudah ada di sana. Mau tanda tangan kontrak."
"Serius?" Kaina ikut memekik sedikit terkejut. Ray mengangguk-angguk kesenangan.
"Yeaahh!!! Congrats Rayyy!! Finally yahh!" Kaina menepuk-nepuk lengan Ray dengan semangat.
"Sangking senangnya, gua pengen banget meluk lo sekarang, tapi rame, hahaha ...." Ray tertawa keras, membuat wajah Kaina memerah. Sebenarnya dia juga ingin melakukan hal yang sama.
"Sembarangan!" katanya menutup hasrat agresifnya itu.
"Oh ya, gua harus pulang ke Bandung setelah makan siang. Gua harus ke kantor dulu beresin berkas-berkas. Malamnya langsung jalan ke Cirebon."
Mendengar penjelasan tadi, Kaina sedikit lesu. Tapi kemudian dia ikut setuju mengingat ini adalah hal yang sangat penting. Cisarua ke Bandung saja bisa jadi memakan waktu lebih lama dari keberangkatan kemarin karena adanya arus balik.
"That's good. Lu balik sama siapa?"
"Rencana mau ajak Ferdi."
"What ?? Jangan dong, nanti yang nemenin gua disini siapa?" sesungguhnya Kaina tidak yakin mengajak Ferdi adalah ide yang bagus.
"Terus gua sendirian di jalan? Mana asik. Atau ... lu mau ikut? Sekalian nemenin gua ke Cirebon."
"Apa? No no no ... gua enggak bisa bawa mobil."
"Hubungannya apa?"
"Gua enggak yakin lu bakalan enggak ngantuk. Kalau lu ketiduran pas nyetir kan bisa berabe."
Ray tertawa keras mendengar sindiran Kaina. "Paling besok ajak sopir kantor deh," katanya memutuskan.
"Good idea," Kaina memicingkan mata sambil membentuk huruf O dengan dua jarinya.
Setelah itu mereka diam sebentar.
"Lu bisa kan gua tinggal duluan?"
Pertanyaan lembut dan pelan itu berhasil membuat darah di tubuh Kaina berdesir hebat. Apakah Ray mengkhawatirkannya.
"Bisa, Ray. Ada Ferdi, Rosa, Tito dan yang lain kok."
"Hm ... lu kok apa-apa Ferdi sih? Suka lu ya?"
Kaina tertawa sumbringah. Pertanyaan yang sangat tidak penting untuk di jawab.
"Sudah ah, aku balik ke sana dulu. Take care ya, nanti."
"Gua masih ada kok pas makan siang. Eh, makan bareng ya nanti."
"Siippp ...." Kaina mengacungkan jari jempol kemudian berlari meninggalkan Ray.
Mereka tidak menyadari seseorang telah mendengar pembicaraan mereka barusan.
*****
Ferdi's poV
Amarahku meledak saat melihat Ray memasuki bungalow Kaina tadi malam dan tidak keluar lagi. Aku bahkan rela begadang hanya untuk mengawasi pintu bungalow itu. Tapi si brengsek Ray tidak kunjung keluar.
Aku sangat marah, apalagi barusan kudengar dia mendapat panggilan dari Nirvana. Kenapa Om Franklin malah memilih dia, bukan aku??
Ray Ray Ray!!! Ternyata kita memang ditakdirkan untuk selalu bersaing! Tidak ada istilah sahabat. Persetan dengan sahabat kalau lu tetap mengembat gebetan gua. Padahal lu jelas-jelas tau gua suka sama Kaina!
Persetan dengan fair play !
*****
Fany's poV
Hidangan untuk makan siang sudah beres di empat buah meja panjang di ruang makan. Sebentar lagi para peserta gathering akan datang dan megambil makanan yang sudah kami sajikan dengan ala prasmanan.
Aku masih bingung dengan botol cairan di genggamanku. Tadi Ferdi memberikannya dengan pesan harus dicampurkan dengan minuman Ray. Aku tahu ini obat pencuci perut dengan kadar yang cukup tinggi. Saat kutanya Ferdi kenapa dia berusaha meracuni temannya itu, dia cuma bilang bukan urusanku.
Tapi aku tidak bodoh. Aku tahu mereka sedang bersaing memperebutkan sesuatu. Kalau aku tidak keliru, sesuatu itu adalah Kaina. Ya ... Ferdi dan Rayshaka jelas-jelas menyukai perempuan itu. Padahal sebelum ada Kaina, Ray selalu menempel kepadaku.
Ya, kurasa aku juga sependapat dengan Ferdi. Mereka tidak pantas untuk bersama.
Apa sebaiknya aku meracuni Kaina saja?
*****
Kaina's PoV
Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul duabelas. Itu pertanda baik karena kami akan makan siang sebentar lagi. Tentu saja karena Ray akan bergabung dengan kami siang ini. Sepertinya dia sudah ijin untuk pulang, peran MC-nya langsung digantikan oleh orang lain.
Sebelum ke ruang makan, aku singgah ke toilet umum. Toilet pria dan wanita bersebelahan. Aku masuk dan menuntaskan panggilan alam yang sedari tadi mendesak. Setelah itu bersiap untuk keluar.
Tapi saat mendekati pintu aku tiba-tiba dikejutkan suara tinju mengenai tembok pembatas toilet ini dengan sebelah. Suaranya terdengar sangat jelas dan keras karena toiletnya tidak sepenuhnya ditembok sampai ke langit-langit.
"Rayshaka brengsek!!"
Aku tertegun, seketika membeku mendengar suara itu.
"Ya, dia sudah mendapat persetujuan Om Franklin ... Mama juga salah, kenapa tidak membantu meyakinkan om Franklin? Kalian sahabatan atau apa sih?... Ya kalau sudah begini kan aku enggak tahu harus ngapain! Dia sudah pasti dapat promosi! Gua bakal racunin itu orang! Dia juga berani menyentuh Kaina!" Klik.
Duniaku seperti runtuh mendengar kalimat terakhir pria di sebelah. Ferdi. Aku sangat yakin itu adalah Ferdi. Aku kenal suara itu. Berani menyentuh Kaina katanya? Apa dia tahu Ray tidur di kamarku tadi malam? Gawat! Dan ... racun? No no no ! Jangan sampai!
Setelah satu menit Ferdi keluar dari toilet, aku segera menyusul dan masuk ke ruang makan.
Aku menghampiri mereka yang sudah menungguku. Setelah itu kami antri mengambil makanan.
Cemasku semakin menjadi saat melihat semua jenis hidangan. Racunnya tidak mungkin di tabur di makanan ini. Kalau Ferdi benar-benar ingin mencelakai Ray, dia pasti akan mengambil waktu tersendiri untuk melakukannya.
Aku dan Ray selalu ribut soal memilih makanan. Dia dengan usil memasukkan kangkung ke dalam piringku padahal jelas-jelas dia tahu aku tidak suka. Alhasil banyak orang yang mengalihkan perhatiannya pada kami.
Saat makan, aku mengawasi Ray dan Ferdi secara bergantian. Ferdi masih terlihat biasa saja. Dia benar-benar bisa menyembunyikan kebusukan hatinya. Aku benar-benar terluka mengetahui Ferdi memiliki sisi lain yang begitu menakutkan. Kukira kami benar-benar teman baik.
Saat sedang ribut soal game, Fany datang membagikan minuman. Biasanya juga demikian. Tapi kali ini dia membawa nampan dengan empat gelas. Dia membagi ke Ferdi, Ray, Tito dan Rosa.
"Eh, kurang ya? Ada Ray ternyata. Pantesan ... bentar ya Kai."
"Eh, enggak apa-apa Fan, gua aja ...." aku merasa tidak enak. Tidak seharusnya mereka membagi minuman. Kami bisa mengambilnya sendiri.
"Eh enggak apa-apa. Sudah, lanjut dulu saja makannya."
"Oh ... oke deh ... thank's Fan..." kataku lagi. Ray sempat melontarkan godaan sebelum dia pergi.
Raut wajah Ferdi berubah. Sepertinya sedang berfikir.
"Lu kok nggak gentle banget sih bro? Kasih Kaina dulu dong," tiba-tiba dia mengambil minuman Ray dan memberikannya padaku. Aku tertegun. Apa maksudnya??? Gelagat Ferdi aneh.
"Kai, ini minumnya," Fany datang dan menyodorkan gelas baru padaku yang masih linglung.
"Buat Ray saja, Fan." Ferdi cepat-cepat mengambil gelas itu dan menaruhnya ke hadapan Ray yang tidak peduli minumnya diganti-ganti.
Fany terlibat???
Ya! Lihat! Wajahnya tiba-tiba pucat pasi!!
Apa seharusnya Fany meracuni Ray, tapi malah ingin meracuni aku??
Tanganku gemetaran, tapi kucoba untuk menyembunyikannya.
Dengan sekilas aku bisa menangkap kedua orang itu saling bertatapan, kalau aku tidak salah tafsir, keduanya saling melempar tatapan marah.
Saat Fany pergi, aku menyadari atmosfir di sekeliling semakin panas. Ferdi pasti sedang menanti Ray minum. Ya, air putih yang sudah diberi racun seperti kata-katanya tadi.
Aku kalut di dalam hati. Aku harus bagaimana?
Tanpa berpikir panjang aku mengambil gelas milikku, meneguknya sampai habis seperi benar-benar sangat kehausan. Mereka semua tertawa melihat wajahku yang memerah.
"Masih haus, bagi ya ..." dengan gerak cepat aku mengambil gelas Ray juga dan meneguknya dengan cepat.
Ferdi ... haruskah kau melakukannya? Tangisku di dalam hati. Aku menatap Ferdi yang terperangah. Matanya sayu dan penuh penyesalan.
"Lu kesambet setan ya bro? Minuman gua sampai diembat gitu."
"Hausssss," aku berpura-pura senang sudah minum dengan puas.
"Eh guys, gua ke belakang dulu ya. Eh, lu ntar kalau mau pergi info ya bro."
"Sip!"
Ferdi masih sempat beradu tinju dengan Ray sebelum pria itu berjalan dengan lesu ke luar ruangan.
Wajahku memanas, reaksi tidak enak mulai terasa di dalam perut. Aku harus bertahan sampai Ray pergi. Dia tidak bisa melihatku ambruk.
"Lu berangkat jam berapa?"
"Setengah jam lagilah."
"Sudah packing?"
"Sudah ..."
"Kenapa harus setengah jam lagi? Sebentar lagi pasti sudah macet banget loh. Dan lu lupa kalau jam satu nanti jalur turun dialihkan? Lu bisa jadi harus mutar balik loh."
"Oh iya ya? Wahh, kudu berangkat sekarang nih," Ray buru-buru membereskan makannya. Aku mengambilkan minuman bersih dan menungguinya minum.
Kemudian dia pamit kepada seluruh peserta gathering, meminta maaf karena tidak bisa menunggu sampai acara berakhir nanti sore.
Aku mengikuti Ray ke kamarnya, menemaninya di ambang pintu.
"Bro, ke sini sebentar," dia memanggilku sambil duduk di sofa. Tangannya bergerak memasang kaos kaki.
Aku duduk beberapa jarak di sebelahnya.
"Eh, ke sini. Kenapa di situ? Kayak tadi malam enggak tidur bareng saja."
Plak! Tanganku refleks melayang ke lengannya. Wajahku bersemu merah. Antara tersipu atau keracunan, tidak bisa dibedakan.
Ray menangkap tanganku dan membawanya kebelakang tubuhnya. Sesaat lamanya dia memelukku. Aku rasanya tidak ingin lepas darinya. Aku ingin menangis, tapi jelas aku harus menguasai diri.
"Hati-hati ya, enggak usah ngebut. Pelan atau ngebut, pasti tetap kena macet," aku berusaha bercanda.
"Hm-m ... besok kalian juga baik-baik ya pulangnya. Sampai ketemu Selasa," katanya.
Aku mengangguk. Kubiarkan Ray menciumku. Sedikit lama, karena kali ini aku sudah berani membalasnya pelan.
Ray meninggalkan lokasi gathering diikuti lambaian tanganku. Setelah Ray benar-benar menghilang, aku langsung berlari menuju toilet. Sekuat tenaga menahan sakit yang sedari tadi sudah menggerogoti perut.
"Gila lu Kai!" tiba-tiba sesorang mendobrak pintu toilet dan membentakku dengan keras. Ferdi. Aku melihatnya dari kaca wastafel tempatku berdiri.
"Kita sama-sama gila, Fer. Gua, lu dan Fany. Bukankah kalian juga tega melakukan ini demi orang yang kalian suka?" aku terengah-engah. Keringat mengucur deras di wajah.
"Lu nekat! Gila!"
Dengan hitungan cepat dia memangkuku, melarikanku ke arah parkiran. Dia membawaku ke rumah sakit terdekat. Mungkin dia tau aku sedang dalam bahaya kalau racun ini tidak segera dikeluarkan dari lambungku.
"Kenapa lu tega, Fer. Kenapa kalian tidak bisa berteman dengan tulus?"
"Stop talking Kaina!" dia membentak kecil. Aku membuang muka ke kaca jendela. Aku semakin membenci lelaki itu.
"Lu enggak pernah kan ngerasain jadi nomor dua? Bahkan di mata orangtua lu?" setelah diam beberapa saat, Ferdi mulai berbicara pelan.
"Bahkan bokap gua, selalu menomorduakan gua dari Ray. Ray serba lebih di matanya daripada anak kandungnya sendiri. Lu enggak pernah ngerasain kan?"
Aku tidak berpaling, dadaku sesak seperti ingin menangis. Tapi sakit luar biasa di perutlah yang pada akhirnya membuatku menangis terisak.
"Awalnya gua enggak berniat curang di kantor. Asli, gua suka kerja disini. Apalagi ada lu, Kai. Lu pasti sudah tahu gua suka sama lu kan? Tapi lagi-lagi lu memilih keparat itu. Bahkan Om Franklin pun memilihnya, bukan gua."
Ferdi terdiam lagi.
"Kenapa lu menyalahkan Ray disaat lu tau, gua yang suka sama dia. Bukan sebaliknya??"
"Kalian bisa tidur bersama, bukankah menunjukkan kalau dia juga suka sama lu? Ray bukan tipe yang suka bermain perempuan."
Aku tercekat. Darimana Ferdi tahu?
Kepalaku mendadak ikut pusing. Tapi kalimat Ferdi yang terakhir terus terang membuatku sedikit tenang. Apakah ada kemungkinan itu benar dan bisa terjadi? Ray sepertinya menganggapku hanya sebatas sahabat.
"Fer sakitttt ...." aku memegangi perut yang mulai melilit. Jeritanku membuat Ferdi semakin gusar dan melajukan mobilnya semakin kencang.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Lemon Tree
baru baca plus komen..novel yg menarik .keren thor👍👏
2021-09-02
0
yanti auliamom
Ceritanya bagus. Hanya POV nya kebanyakan.. jadi bingung pemeran utamanya siapa... Terus semangat Thor.
2021-05-24
0
Widyatama
jejak
2020-11-22
0