Author's PoV
Suasana hening di kantor terpecah oleh kehadiran Sebastian dengan seorang karyawan baru. Semuanya sudah tahu dia adalah sales yang akan ber-partner dengan Rayshaka dan Kaina. Pertama-tama, Sebastian dan Ray memperkenalkan orang itu ke divisi AR, kemudian ke bagian admin di mana ada meja Kaina juga.
Saat melihat karyawan baru itu, Kaina langsung membesarkan matanya.
"Kaina," gadis itu mengulurkan tangan seraya menyebutkan namanya.
Sebagaimana tebakannya, pria itu pun bereaksi sama sepertinya, membesarkan mata tanda terkejut.
"Ferdi," balas pria itu sambil tersenyum, tidak kalah manis.
Setelah selesai sesi perkenalan, Kaina langsung ikut ketiga laki-laki itu menuju ruangan Sebastian. Sang sales baru akan diberi pengenalan lebih jauh tentang product knowledge, marketing plan, dan job desc.
Saat berada di antara ke tiga pria itu, Kaina merasa sangat spesial. Teman-temannya di luar sana pasti semakin iri kepadanya dengan bertambahnya cogan (cowok ganteng) di tim mereka. Tapi jelas sekali rasa spesial itu hanya ilusi Kaina semata, karena masih ada si arogan dan pemarah, Rayshaka.
Ferdi banyak tersenyum dan mengangguk. Sebastian dan Ray juga demikian. Kaina sangat bisa menangkap senyum palsu di wajah Rayshaka. Jelas-jelas tersenyum tidak ada dalam kamus pria itu.
Obrolan mengenai pekerjaan kantor kemudian beralih menjadi obrolan yang lebih mengarah ke pribadi Ferdi. Meskipun Sebastian sebelumnya sudah banyak bertanya saat sesi wawancara, tapi pertanyaan-pertanyaan itu seperti masih hangat untuk diperbincangkan.
Kaina yang merasa mulai tidak nyambung - karena ketiga pria itu kebanyakan membahas hobi- mengundurkan diri dan ingin kembali ke mejanya. Tapi Rayshaka kembali membuatnya jengkel dan sedikit malu.
"Kamu mau kemana? Kita masih ada meeting tim setelah ini," omelnya. Membuat Sebastian tertawa kecil.
"Hahaha, sepertinya Kaina sudah lelah dengan obrolan para lelaki. Ya sudah, kalian silahkan meeting lagi. Sekali lagi, welcome on team, Ferdi," Sebastian menepuk pundak Ferdi sebanyak dua kali. Ferdi mengangguk sambil menebar senyumnya.
Setelah itu, Ferdi dan Kaina langsung mengekor Rayshaka ke ruangannya. Ray mapping lapangannya dan Ferdi. Membagi daerah-daerah yang menjadi wilayah kunjungan mereka berdua. Setelah selesai, Ray meminta Kaina menjelaskan karakter-karakter setiap customer yang menjadi bagian Ferdi.
Meskipun Kaina sudah memberikan hard copy data pelanggan kepada Ferdi, Ray tetap menyuruhnya untuk menjelaskan secara lisan. Benar-benar membuat Kaina jengah dan mau muntah. Dia tahu Ray sedang mengujinya soal pendalaman karakter semua pelanggan. Untuk itu dia memfokuskan semua perhatiannya kepada Ferdi saja.
"Sudah dijelaskan semua Kai?"
"Sudah Pak," jawab Kaina singkat. Namun nadanya tetap sopan. Mana berani dia menunjukkan kejengkelannya.
"Oke. Kamu bisa kembali ke meja kamu. Lu ikut gua bro, kita kunjungan."
"Oke. Gua ke toilet bentar Ray," Ferdi ikut bergerak cepat dari kursi dan menyambar ranselnya.
Lu? Gua? Bro? Kaina seperti disambar geledek mendengar kata-kata itu. Seorang Rayshaka yang selama ini formal, judes, angkuh, pemarah, ternyata kenal dengan bahasa gaul itu? Kenapa dia bisa berbicara nonformal begitu ke Ferdi? Ferdi juga barusan memanggilnya hanya dengan namanya saja, Ray.
Kaina mendadak bingung, tapi diabaikannya dan tetap keluar dari ruangan Rayshaka.
Di persimpangan antara toilet dan ruangan admin, Ferdi tiba-tiba muncul dan nyaris menabrak Kaina.
"Eh, sori," untungnya pria itu bisa menahan diri sehingga tidak jadi menabrak gadis itu.
"Eh, enggak apa-apa Fer," Kaina yang sebenarnya juga sedikit kaget langsung melempar senyum.
"Eh, Kaina ...."
"Ya?"
"Glad too see you again."
Kaina langsung tertawa, "Glad to see you too, Fer. Kayaknya bakalan seru punya teman yang hobi makan ramen juga."
Ferdi tertawa kecil. Dia tidak menyangka Kaina akan memberikan respon yang sangat baik. Dikiranya gadis itu akan stay cool seperti di Engkong Ramen akhir pekan lalu.
"Ya sudah, jalan dulu ya. Ditungguin Ray nih."
"Oke," Kaina kembali melempar senyum. Dirinya bertahan untuk tidak segera bertanya kenapa Ray dan Ferdi bisa langsung akrab begitu.
Baru saja masuk ke ruangan admin, Kaina langsung diserbu dengan seabrek pertanyaan tentang Ferdi. Oh, tentu saja dia sudah menduga hal itu. Apalagi ada si biang gosip, Fany.
*****
Ferdi dan Ray terjebak macet di kawasan Jalan Asia-Afrika. Bandung ternyata sudah tidak ada bedanya lagi dengan kota Jakarta. Macet dimana-mana, hawa sejuk yang biasanya menjadi ciri khas Kota Kembang ini pun sepertinya sudah berkurang. Padahal tujuan Ferdi kembali ke kota kelahirannya ini salah satunya karena bosan dengan kemacetan dan panasnya Jakarta.
"Bokap nyokap lu sehat?" Ray menyambung pertanyaannya kepada Ferdi. Sejak mereka meluncur dari kantor tadi, Ferdi kembali seperti diwawancara untuk yang ke-sekian kalinya.
"Sehat, mereka baru balik dari Paris, habis honeymoon untuk yang kesekian kalinya."
"Hahahaha... gua kangen nih sama Om Tio. Kangen tanding catur lagi."
Keduanya tertawa.
"Bokap juga nanyain lu tuh. Sekalian mau tagih janji lu supaya join di perusahaannya."
Ray tersenyum kecil, "Kenapa bukan lu saja, Fer? Dari pada jadi sales enggak jelas di kantor gua."
"Ah, malas gua. Jadi bonekanya bokap terus. Ini juga gua ke Bandung enggak pamit."
"What? Gila lu bro! Ehh, nanti gua enggak mau dibawa-bawa loh kalau ada apa-apa."
"Hahaha, tenang saja, Bro. Enggak bakalan lah."
Sejenak keduanya diam. Setelah itu Ferdi memulai lagi.
"Eh bro, lu percaya takdir enggak?"
"Kadang. Kenapa memangnya?"
"Sepertinya gua sama Kaina ditakdirkan jodoh deh," Ferdi tertawa sendiri mendengar kalimat yang terucap dari bibirnya.
"Hah? Kaina? Kaina mana?" Tidak mungkin Ferdi sedang membicarakan Kaina Larasati, fikir Ray. Soalnya mereka baru bertemu hari ini.
"Ya Kaina telemarketing kita."
"Hah? Gimana bisa? Ge-er banget sih lu?" Ray sedikit terkejut namun mencoba menutupinya dengan tawa sambil mulai menjalankan mobil karena jalanan sudah mulai lancar.
"Sabtu pagi kemarin gua ketemu dia di restoran ramen langganan gua. Tau enggak, selama makan ramen, dia sambil denger lagu pakai earphone. Meskipun gua duduk di depannya, gua dicuekin. Sibuk sama musik dan ramennya. Bisa banget dia stay cool kayak enggak ada siapa-siapa di depan dia," kenang Ferdi sambil memandang langit-langit di balik kaca mobil.
Ray tertawa mendengar nada kecewa Ferdi. Dia juga mengalami hal yang sama saat di perpustakaan beberapa hari yang lalu. Ray bahkan bisa menghitung berapa lama dia memperhatikan Kaina membaca sambil mendengarkan musik. Sangat tenang, tidak terganggu oleh apa pun. Bahkan menggeser duduknya sesenti pun tidak pernah. Nyaris 20 menit, sampai akhirnya Ray menyerah dengan mengganggu Kaina waktu itu.
"Kenapa bisa satu meja memangnya?"
"Kebetulan semua meja full, gua lihat dia sendiri. Ya nyoba doang sih awalnya. Kebetulan saja dia izinin. Ya jadi duduk satu meja."
"Tapi sama sekali enggak mengobrol?"
Ferdi menggeleng sambil tertawa lagi, "Tapi tadi sempat mengobrol sebentar pas gua ke toilet dan sepertinya kita bakal atur jadwal makan ramen bareng."
Ray melihat jelas kegembiraan yang terpancar di wajah Ferdi. Dia pun melengkapinya dengan ikut tertawa sambil geleng-geleng kepala.
"Parah parah parah. Awas saja kalau lu malah jadi pacaran ya, kejar omset dulu," candanya. Sisa tawa masih mewarnai wajahnya.
"Tenang saja, Bro. Gua bakalan profesional."
"Good. " Ray mengerlingkan mata dan kembali fokus ke jalan yang ada di depannya.
Percakapan mereka kembali bergulir dari satu topik ke topik lain sebelum akhirnya mereka tiba ke customer yang akan mereka kunjungi.
*****
Kaina's PoV
Tanpa harus bertanya langsung ke Ferdi, aku sudah tahu kalau dia dan Rayshaka adalah teman semasa kuliah di Jakarta. Fany yang menyebarkan fakta itu di ruangan kami. Katanya dari narasumber yang bisa dipercaya seratus persen kebenarannya, alias staf HRD yang punya data-data semua karyawan.
Saat berbincang dengan pak Sebastian beberapa hari yang lalu, saat hari pertama Ferdi masuk, aku baru ingat kalau beliau mengucapkan sesuatu yang tidak aku mengerti, tapi aku abaikan saja. Pak Sebastian bilang agar mereka bisa bekerjasama dengan baik di kantor ini, bukan sebagai pesaing seperti dulu.
Sekarang aku baru mengerti arah kalimat tersebut. Ray dan Ferdi sepertinya pernah punya hubungan dekat sebelumnya, tapi bukan sebagai teman. Melainkan lawan.
"Hey Kai, melamun saja," Keisha mengejutkanku dengan menepuk di salah satu pundak. Keisha adalah salah satu admin stok yang mejanya bersebelahan dengan mejaku. Dibandingkan dengan yang lainnya, aku lebih dekat dengan Keisha. Lebih sering sharing tentang ini itu. Mulai dari yang penting sampai yang enggak penting sekali pun.
Keisha lebih muda dua tahun dariku, mungkin dia sebaya dengan Rosa. Tapi bergaul dengannya lebih baik daripada dengan Fany dan yang lainnya. Mereka spesies yang hobi gosip, kepo dengan urusan orang lain. Aku merasa tidak sejalan dengan mereka.
Tapi bukan berarti aku membatasi diri. Aku tetap berusaha menjalin pertemanan wajar dengan mereka, sebagaimana rekan kerja yang semestinya. Namun untuk hal-hal yang lebih pribadi, aku memilih untuk tidak terlalu dekat, apalagi untuk menggosip soal orang lain. You know, ketika kamu dan yang lain berkumpul untuk membicarakan tentang seseorang, tidak menutup kemungkinan kalau suatu saat nanti kamu akan diperbincangkan juga saat kamu enggak ada. Itu sudah pasti.
"Iya nih, enggak ada kerjaan."
"Enggak ada yang mau ditelepon?"
"Sudah semua, Sha. Tapi pada belum mau order. Maklum, masih awal bulan. Akhir bulan yang lalu masih baru pada kirim."
"Nanti diomelin Ray lagi loh."
Aku mengangguk lemah dan sedikit malas. Siang ini Ray dan Ferdi sedang keliling. Biasanya Ray juga akan menelepon untuk mengawasi pekerjaanku. Hampir tidak ada bedanya dia ada di depan mata atau hanya di seberang telepon. Marahnya tetap terasa menusuk di hati.
Terkadang anak-anak sering mendukungku dengan menjelek-jelekkan Ray, membeberkan semua karakter jeleknya. Pelit, pemarah, egois dan suka berlagak bos. Aku adalah bukti hidup korban sifat nge-bossy-nya. Paling tidak aku masih punya banyak teman yang seia-sekata tentang ini dan itu cukup menghibur.
"Eh, pak Ferdi sudah merried belum?" Keisha setengah berbisik ke arahku.
"Katanya sih belum, Sha. Kenapa?" Mataku menyipit menangkap maksud lain dari pertanyaan bisik-bisik itu.
"Nanya doang ...." Keisha tersenyum simpul.
"Nah loh, ada apa hayooo?"
"Nanya doang ih ...." Wajah perempuan manis berhijab itu pun bersemu merah karena godaanku.
"Eh, kamu hobi makan ramen kan? Ferdi juga loh. Bisa dong makan bareng."
"Kok tahu? Perasaan baru seminggu, tapi sudah ngomongin hobi?"
"Emang sudah, pas pertama datang waktu itu kita ngobrol banyak sama pak Sebastian. Tapi yang ramen itu, asli pas sabtu sebelum dia masuk, kita ketemu. Enggak disengaja. Satu meja lagi. Lucu kan? Ehhh, tau-tau dia sales baru disini," aku bercerita sambil geleng-geleng kepala seperti masih tidak percaya ada kebetulan yang demikian.
"Wah, jodoh banget kalian."
"Jodoh kepalamu! Enggak percaya sama yang begituan, Sha," kataku sukses menjitak jidat Keisha dan dia memekik kesakitan.
"Ya siapa tau saja, Kai. Sudahhh, move on daja dari si Hans itu."
Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, aku juga cerita tentang Hans ke Keisha dan dia sangat simpati atas nasibku. Setidaknya kalau aku pengen curhat di kantor, ada dia yang siap mendengarkan.
"Jahat banget sih, Sha. Gitu-gitu juga Hans kan masih pacarku," kataku sambil memanyunkan bibir.
Keisha sukses tertawa keras. Tapi tiba-tiba tawanya berhenti karena seseorang muncul di ambang pintu ruangan kami. Tanpa menoleh pun, aku sudah tahu itu siapa. Karena bulu kudukku mendadak berdiri sekarang. Eh, bukannya dia dan Ferdi kunjungan lapangan? Batinku.
"Kamu sudah selesai kerjanya?"
"Em ...." aku langsung gugup dan tidak tahu harus berbuat apa di hadapan laki-laki yang sedang bersandar di kusen pintu itu. Seisi ruangan alhasil mencuri pandang ke arahku dan dia secara bergantian.
"Kamu Ray, kayak polisi saja ...." Ibu Arni menegur sembari bercanda. Alih-alih mendengar dan menanggapi perkataan Ibu Arni, Ray malah berjalan mendekati aku dan meletakkan kertas kosong beserta pulpen.
"Kamu masih belum paham ya cara perhitungan harga nett produk kita? Customer komplain ke saya karena harga tidak sesuai dengan yang tertera di invoice."
Aku sangat terkejut dan membalas tatapan Rayshaka dengan takut-takut.
"Sebelumnya maaf, Pak. Boleh tahu customer yang mana? Setahu saya, setiap kali menginformasikan harga, saya sudah pastikan benar tidaknya."
"Lingga Trader. Pak Hasyim bilang orderan tisunya yang terakhir tidak ada untungnya. Malah rugi."
"Maaf Pak, saya cek report saya sebentar," ujarku. Aku dengan cepat membuka file report harian dan mencari nama customer yang dimaksud Ray. Aku tidak terima seenaknya dituduh salah kasih harga.
"Ini, Pak. Saya menginformasikan harga ini dengan jelas."
Ray sejenak memperhatikan layar komputerku dan perlahan wajahnya melembut. Seisi ruangan masih tergoda untuk curi-curi pandang. Ibu Arni bahkan ikut melihat komputerku sanking penasarannya.
"Kamu info by call atau WhatsApp? " tanya Ray lagi.
"By phone, Pak," jawabku pelan.
"Kai, lain kali pastikan lagi lewat WhatsApp dan screenshoot sebagai bukti. Kalau customer kamu complain lagi, kita bisa lawan dengan bukti. Agar tidak terulang seperti ini lagi." Ibu Arni menimpali penuh iba.
Ray menatapku dengan tatapannya yang khas itu. Masih dengan kedua tangan yang didekap di dada. Sangat jelas aura kesombongan menguasai laki-laki itu.
"Mengerti?" dia bersuara lagi. Aku mengangguk pelan dan membalas tatapannya dengan yakin.
"Ya sudah. Sekarang kamu telepon pak Hasyim dan klarifikasi," katanya dengan enteng. Kemudian berlalu dari ruangan admin bahkan sebelum aku menjawab 'iya'.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
lenong
udah pasti itu
2024-04-27
0
yanti auliamom
Ayoolah resign Kai.. . gimana respon Ray
2021-05-22
2
Suryatina Handayani
itu bos admin ny jutek amat,kasih lolipop x biar bisa bersikap manis xixixi...
2021-04-28
0