Sebastian's PoV
Dua hari ini aku tidak berhenti memikirkan dua orang sales kepercayaanku, Rayshaka dan Kaina. Setelah kejadian kesalahan tisu Nirvana beberapa waktu lalu, keduanya tidak kunjung akur. Saling menjauh, sangat kontras dengan hubungan mereka yang sebelumnya.
Aku semakin pusing saat Kaina menemuiku siang beberapa waktu lalu, khusus hanya untuk menyampaikan pengunduran dirinya. Dia berterus terang sudah tidak sanggup bekerja dengan Ray. Dengan sangat sedih dan air mata yang selalu terjatuh dia bilang sangat berat jika harus meninggalkan perusahaan.
Aku bisa melihat ada yang tersembunyi di balik kondisinya dan Ray saat ini. Bukan sekedar karna ada unsur sakit hati setelah bertengkar.
Jika firasatku benar, ini menyangkut hati. Perasaan. Cinta. Entah apa masalahnya, maka terimbas ke pekerjaan.
Saat Kaina akan meninggalkan ruanganku kemarin, aku memberikan satu kesempatan untuknya, yaitu dia diijinkan kembali kapan saja jika masih mau dan siap kembali bekerja di Nagata Paper dan Kaina membalasku dengan anggukan serta senyuman yang sangat tulus.
Kini aku tidak sabar menunggu kedatangan Rayshaka. Ini sudah satu minggu sejak Kaina menyerahkan surat resign-nya, hari ini dia sudah tidak masuk. Aku akan memberitahu Ray sekarang. Aku memang sengaja tidak memberitahunya, karena Kaina yang memintaku demikian.
Aku memanggilnya lewat telepon dan dia datang dengan secepat kilat.
"Ray, kita punya kerjaan baru, Pak."
"Apa itu, Bos?" diama dengan semangat duduk di depanku.
"Cari telemarketing baru."
Seperti dugaanku, dia langsung terkejut.
"Kenapa, Bos? Mau ditambah?
"Bukan Pak, nyari pengganti Kaina," ujarku sambil tersenyum santai. Untuk kedua kalinya matanya terbelalak kaget. Demi menjawab pertanyaan yang terselubung di dalam pikirannya, aku menggeser surat resign Kaina ke hadapannya.
"Dia resign Pak. Karena kamu sih, galak," aku tertawa meledek. Dia membaca dengan serius.
"Ini serius, Bos?"
"Ya iyalah. Memangnya kamu ada lihat dia dari tadi?"
"Belum ngecek sih, Bos," sahutnya seperti orang kebingungan. Aku hanya senyum-senyum, menunggu pertanyaannya selanjutnya.
"Bos bercanda kan? Itu senyum-senyum."
"Hahahaa ... aku galaunya seminggu yang lalu Ray, pas dia antar surat ini. Sekarang aku cuma bisa ketawa, ditambah ngeliat reaksi kamu," aku benar-benar puas tertawa.
"Bos kenapa enggak bilang dari kemarin?"
"Supaya apa? Supaya kamu bujuk dia? Janganlah, dia sudah enggak betah sama kamu."
Wajah Ray semakin linglung. Dia ingin tertawa tapi tidak bisa.
"Dia bilang begitu ya, Bos?"
"Ya enggak, tapi overall memang sudah enggak kerasan. Mau pulang kampung saja katanya."
Ekspresi wajah Ray berubah lagi. Setelah keluar dari ruanganku dia pasti frustasi. Dia terdiam beberapa saat.
"Ya sudah deh, mau bagaimana lagi," katanya akhirnya, "berarti kita sudah bisa cari yang baru nih, Bos?" tanyanya sambil nyengir kuda.
"Yess, absolutely. Kita harus cari yang seperti Kaina ya, Ray."
Dia tertawa mendengar ocehanku sebelum kemudian berdiri meninggalkan ruanganku dengan wajah linglung.
Ray ... Ray ... dia ternyata menyukai Kaina.
*****
Kaina's PoV
Seluruh badanku remuk karena tidur seharian. Kepalaku pusing saat bangkit dari kasur. Hampir roboh kalau aku tidak segera berpegang pada meja belajar. Kuteguk air putih sebanyak-banyaknya dan kembali terduduk di kasur.
Aku mendesah mengingat status baruku, pengangguran. Mama dan Kayla belum kuberitahu. Ini adalah kabar bahagia untuk mereka, jadi alangkah baiknya kalau aku memberi kejutan di hari kepulanganku besok lusa.
Rosa sedang kerja shift malam. Aku harus keluar beli makan sendirian. Sebelumnya aku masuk ke kamar mandi. Sejak pagi aku juga belum cuci muka atau pun mandi. Setelah itu barulah terasa segar. Aku bisa berpikir jernih dan menyusun rencanaku selanjutnya.
Aku makan ayam penyet sendiri di tenda biru di luar gang, ditemani obrolan dengan Hans di seberang telepon. Dia juga terkejut mendengar keputusanku. Dia bilang aku tidak berpikir panjang. Keputusanku itu dibawah pengaruh patah hati, jadi aku pasti akan menyesalinya beberapa hari lagi. Tapi aku bersikeras kalau aku membuat surat resign dengan keadaan sadar. Dia hanya tertawa mendengar candaanku. Pada akhirnya dia berjanji akan membantuku mencari pekerjaan baru, secepatnya.
Sebelum kembali ke kosan aku singgah di supermarket tempat Rosa bekerja. Aku menyapanya sebentar, kemudian membeli beberapa minuman kaleng dan cemilan. Niatku malam ini mau lembur karena seharian sudah tidur, mau mencari info peluang usaha di internet.
Aku shock bukan main saat mendapati sebuah mobil yang sangat kukenali terparkir di dalam halaman kos-kosan. Ray!!!
Jantungku berdetak kencang. Tidak siap bertemu dengannya sekarang. Bukan tidak siap! Tapi tidak mau! Tidak mungkin!
Satu-satunya yang bisa dan harus kulakukan adalah kabur!
Secepat mungkin aku berbalik dan ingin berlari. Apes, aku tidak melihat ada sepeda motor yang berjalan cepat dari sebelah kananku dan terpaksa harus menyenggol kantong belanjaanku karena aku yang mendadak berbalik.
Suara berdecit dan pekikan kagetku terdengar, membuat orang-orang di sekelilingku menoleh. Termasuk Ray.
Ekor mataku menangkap dia refleks berlari ke arahku. Dan itu pertanda buruk. Aku harus bagaimana? Aku sama sekali tidak siap bertemu dengannya dan membicarakan apapun.
Saat aku masih sibuk dengan degup jantungku, Ray tahu-tahu sudah ada di sebelahku dan meraih kantong plastik belanjaanku. Dia membersihkan pasir yang menempel disana sambil menatapku yang sedang menunduk.
"Masuk mobil dulu," pintanya lembut.
"Gua mau ke supermarket."
"Gua temenin."
"Enggak usah. Gua janjian sama Hans."
"Bohong. Mau gua telepon Hans? Gua punya nomor teleponnya."
Aku sedikit terkejut. Tapi kusembunyikan karena tidak mau diintimidasi.
"Lu ngapain ke sini? Gua enggak bersedia ngobrol," kataku tegas sambil menatap jalanan. Dengan ekor mataku, aku melihat Ray menggertakkan gerahamnya.
"Please..."
Diam ... hening ...
Suara kendaraan yang lalu lalang seakan tidak mampu menyaingi keheningan kami berdua.
"Maaf. Urusan gua dan Nagata sudah selesai."
Aku akhirnya memberanikan diri membalas tatapan Ray dan mencoba menebak arti tatapan matanya yang sayu.
"Gua mau meminta maaf."
Aku tahu, Ray. Batinku.
"Maaf. Gua enggak bersedia ... mendengar... apapun ..." aku merasa wajahku memanas, batang hidungku mulai perih. Kata-kataku barusan saja sudah terputus-putus. Aku harus segera meninggalkan Ray sebelum air mataku kandas dan menghancurkan pertahananku.
Aku menatapnya sekali lagi. Ingin sekali rasanya aku memeluk dan menciumnya. Aku rindu. Rindu yang benar-benar tidak bisa ditolerir seandainya aku berhak mengatakannya. Aku merekam seluruh wajah tampannya untuk yang terakhir kalinya, untuk kusimpan dalam bank memoriku tentang dia. Rayshaka.
"Permisi ..."
Aku pergi.
Aku meninggalkan dia yang diam tidak berkutik.
Aku terluka.
Aku menyumpahi dan mengutuk diriku sendiri.
Air mataku terjatuh bahkan sebelum aku mencapai tangga menuju lantai kamarku yang membuat sekujur tubuhku lemas. Kakiku hampir saja meminta berhenti dan ingin menyerah duduk di anak tangga.
Tapi tidak boleh. Rayshaka pasti masih mengawasiku dari belakang.
Aku tidak boleh kalah.
Aku sudah berusaha keras untuk menjadi tegar sampai saat ini.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Lies Atikah
sadar lah kai balikan juga ngapain bikin sakit hati aja dia kan sama si silvi jadi ngapain ngerendahin diri sendiri untuk cinta yang gak dibalas ihhhhh bangun malu2 in aja
2024-12-23
0
Sri Widjiastuti
kok bisa sih?? fanny yg terlibat dg ferdi yg niat celakain ray dibiarkan?? ray ray
2021-10-08
0
Lemon Tree
syedih.tersayat2 hatiku bacanya thor.best lahh
2021-09-02
0