Author's Pov
Rayshaka memasuki ruangan dan belum menemui Ferdi di mejanya. Masih pagi dan masih sedikit karyawan yang datang. Dia berjalan menuju pantry karena haus, ingin mengambil minuman. Dilihatnya Kaina sedang membuat teh.
"Pagi banget, Kai?"
Yang disapa langsung melonjak kaget, membuat sendok di tangannya terjatuh tanpa sengaja.
"Eh, P ... Pak Ray ...." balasnya gugup sambil memungut sendok di lantai.
"Kalau bukan urusan kerja, enggak perlu terlalu formal. Seperti tadi malam lebih enak," kata Ray santai sambil menunggu gelasnya penuh di bawah keran dispenser. Dilihatnya Kaina tidak berkutik. Seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi.
"Kok jadi bengong sih?"
"Ah, eh ... enggak apa-apa kok, Pak."
"Panggil Ray saja. Oh ya, Ferdi belum datang?"
"K ... kayaknya belum ...." Kaina mengaduk teh di gelasnya lagi. Perasaannya tidak karuan. Rasanya seperti mimpi, Ray menyapanya dan bersikap tidak formal. Dia bahkan tidak pernah kepikiran Ray punya setting-an yang seperti itu di sistem otaknya.
"Nanti kalau Ferdi datang, kita langsung meeting ya. Kamu bawa semua bahan untuk keperluan meeting." Ray meneguk habis minumannya dan meletakkan cangkirnya di wastafel.
Setelah meyakinkan Kaina mengerti instruksinya, dia meninggalkan pantry.
Kaina menghembuskan nafasnya dengan teratur, satu per satu sambil memegang dadanya. Jantungnya masih berdebar tidak beraturan.
Mimpi apa aku kemarin? Batinnya sambil menggigit bibir. Melihat Ray menjadi tiba-tiba menjadi ramah begitu justru membuatnya jadi lebih waspada.
"Eh, kenapa lu bengong?" suara dan tepukan Keisha di pundak Kaina membawanya kembali ke alam sadar. Ditepisnya jauh-jauh pikiran aneh tentang Ray.
"Sudah datang, Sha?"
"Ya sudah dong. Kalu enggak kenapa gua ada di sini?"
Keisha menaruh gula dan kopi ke dalam gelasnya. Kaina mulai menghirup teh buatannya sedikit demi sedikit.
"Tadi malam lu diantar sampai rumah kan?"
"Iya. Hemat ongkos gua," tawa Kaina kecil. Pikirannya kembali mengingat kebersamaan mereka berempat tadi malam. Untuk pertama kalinya dia bisa merasa fun bersama rekan kerjanya. Tertawa lepas sebagai diri sendiri. Bukan sebagai pribadi yang bertopeng. Untuk pertama kalinya juga dia merasa bisa diterima dengan baik oleh Rayshaka. Berbincang dengan normal layaknya teman, bukan sebagai atasan dan bawahan.
Kaina juga sangat bersyukur karena pagi ini ada keajaiban baru yang tidak pernah disangka olehnya. Dia harus berterimakasih kepada Ferdi yang sudah merencanakan acara dadakan tadi malam. Berkat acara kemarin, Ray akhirnya menurunkan formalitasnya terhadap Kaina.
"Pak Ray beda ya kemarin?" Keisha menyeletuk. Kaina nyaris tersedak oleh minumannya sendiri.
"He-em," jawabnya dengan gumaman yang nyaris tidak terdengar.
"Andai kesehariannya sebaik itu ya, Kai. Pasti bakalan banyak yang suka," lanjut Keisha lagi sambil meyeduh kopinya.
Kaina juga berpikir demikian. Seandainya Ray tidak egois, seandainya dia murah senyum, suka tertawa, pasti banyak sekali yang respect. Berbeda sekali dengan sekarang. Karyawan kantor sering menjadikannya bahan gosip dan bahan olok-olokan negatif.
"Mungkin karena ada Ferdi kali ?" Kaina membalas dengan dugaannya. Di satu sisi, kehadiran teman, rekan, bisa mempengaruhi karakter kita. Tapi tidak jarang juga itu tidak berpengaruh, tergantung orangnya.
"Bisa jadi sih, Kai. Apalagi mereka sudah berteman sejak lama. Yaa ... Pak Ray seperti dapat angin segarlah, diantara orang-orang kantor yang enggak cocok ke dia."
Keisha mengangguk membenarkan.
"Makanya Kai, harusnya lu sebagai partner bisa cocok sama beliau." Keisha menyikut Kaina sambil membawa gelas kopinya keluar dari pantry. Kaina lalu menyusul dengan cibiran yang dilempar ke temannya itu.
*****
Sekembalinya dari kantor pusat, Sebastian langsung mengadakan meeting dengan tim sales-nya. Selama meeting di Jakarta, dia diberi promo terbaru untuk penjualan tisu di cabang Bandung. Munculnya satu merek tisu baru, dengan harga jual yang lebih murah, diperkirakan akan menjadi pesaing berat untuk Nagata. Untuk itu, mereka butuh strategi baru agar para customer tidak berpaling ke merek tersebut.
"Tapi tisu kita sudah punya nama di pasaran. Kita sudah dikenal banyak hotel, restoran, trader. Pendatang baru pasti perlu banyak waktu untuk menarik hati para customer." Ferdi berargumen di tengah-tengah meeting.
"Iya sih, Fer. Tapi promo mereka katanya gila-gilaan, Pak. Harga kita jauh lebih tinggi. Kita harus waspada," balas Sebastian.
"Menurut orang pusat, promo ini bakalan ampuh untuk melawan mereka, Pak?" Rayshaka memandangi lembaran plan kerja yang dibagikan Sebastian tadi. Sebastian mengangguk mengiyakan.
Seperti biasa, Kaina hanya jadi pendengar yang budiman. Tidak berani bersuara, karena selama ini tak satu pun ada ide yang bisa terpikirkan olehnya. Sekali pun pernah ada, selalu saja bertolak belakang dengan ide Rayshaka. Yah, back to basic, ini bukan bidangnya. Jadilah dia cuma pendengar sejati.
"Menurut kamu bagaimana, Kaina?" tiba-tiba saja Ray membuyarkan pikirannya yang sedang melayang-layang.
"Eh, ya? I ... iya Pak?"
"Menurut kamu promo ini bakalan sukses enggak untuk mempertahankan produk kita di pasaran?"
Kaina termangu. Dia sama sekali tidak mengikuti alur diskusi.
"M ... mungkin Pak," jawabnya pelan dengan penuh rasa bersalah.
Setelah itu Rayshaka kembali menatap Sebastian yang ternyata ikut menunggu jawaban Kaina. Ferdi tersenyum kecil melihat gadis lugu di sebelahnya.
"Sebelumnya juga pernah ada pendatang baru yang terkesan sangat kuat di awal, tapi cuma bertahan selama beberapa bulan. Saya curiga kali ini juga begitu, Pak." Ray menambah.
"I know, Ray. Tapi kita tetap harus waspada. Tidak bisa menganggap remeh pesaing." Sebastian menanggapi.
"Oke begini saja. Ferdi, saya tugaskan kamu mencari tahu info sudah sejauh mana produk ini tersebar di Jawa Barat. Tanya customer yang kira-kira pernah ditawarin sales-nya. Korek semua informasi, harga mereka, program tahunan ada atau tidak. Pokoknya pakai segala cara untuk mengetahui semuanya. Jangan lupa tanya testimoni jika sudah ada customer yang pakai."
"Siap laksanakan, Pak." Ferdi bersiap.
"Kamu juga bantu by phone ya, Kaina."
"Oke, Pak."
"Nah bagian kamu, Pak. Cari taktik marketing yang cocok untuk ini." Sebastian berkata dengan enteng sambil memasang ekspresi usilnya. Benar saja, ketiga orang di hadapannya itu langsung tertawa, apalagi orang yang di maksud. Rayshaka.
"Usil terus nih si bos," katanya sambil mengacak-acak rambutnya.
Kaina tersentak saat melihat kedua mata sipit itu bagaikan lenyap saat dia tertawa. Rasanya kembali ke memori tadi malam.
Tanpa sadar ada yang bergejolak di dalam tubuh gadis itu. Entah apa.
*****
Kaina's PoV
Belakangan aku merasa ada yang berbeda di kantor. Entah kenapa semakin ke sini aku semakin semangat untuk berangkat ke kantor. Aura tegang yang biasanya kurasakan, sekarang sudah hilang, berubah menjadi lebih rileks, lebih banyak tawa di dalamnya.
Aku baru menyadari kehadiran Ferdi di tim kami berpengaruh positif kepada Rayshaka. Mejaku jadi lebih sering ramai belakangan ini. Kedua orang itu sering bertengger selama berjam-jam di sana padahal tidak melakukan apa-apa. Hanya main game, atau mengobrol dan membuat lelucon yang mengundang tawa seisi ruangan.
Rayshaka yang dulunya aku kenal sebagai seorang monster dengan pembawaan yang dingin, sekarang justru semakin sering menunjukkan kekonyolannya. Dia ternyata punya selera humor yang tinggi, senang tertawa sampai mulutnya terbuka lebar-lebar. Tidak jaim, sekalipun ada aku di ruangan mereka. Dia dan Ferdi seperti punya chemistry yang luar biasa, sampai-sampai Ray bisa meninggalkan image keras yang sempat bertahan bertahun-tahun aku labelkan padanya.
Semua orang kantor juga mengatakan hal yang sama. Ray banyak berubah, menjadi lebih friendly. Sifat egoisnya pun mulai sedikit berkurang meskipun masih sering nenjengkelkan. Misalnya kalau dia ditekan orang pusat, maupun diomeli oleh customer, dia tidak segan-segan melampiaskannya lewat kata-kata ketus padaku. Untung saja aku sudah terbiasa dan tidak terlalu ambil hati lagi.
Ferdi. Ah, Ferdi ini anak yang lucu. Dimana ada dia sudah pasti selalu ramai. Segala topik pembicaraan akan menjadi guyonan yang lucu kalau sudah dibahas dengan dia. Yang wajar diperbincangkan menjadi tidak wajar, dan sebaliknya. Misalnya perihal ****, hubungan suami istri, menjadi hal lumrah yang menjadi biasa aku dengar setiap berkumpul dengan mereka berdua. Resiko berteman dengan laki-laki dewasa ya seperti ini. Omongannya selalu mengarah ke arah itu. Tapi tentu saja itu hanya sebatas guyonan, tidak sekali pun mereka berdua melakukan hal yang tidak-tidak selama di depanku.
"Woy Kai! Melamun saja lu," sebuah benda keras mendarat di punggungku. Ray yang baru masuk ruangan membantingku dengan bukunya. Oh iya, kami bertiga juga sudah terbiasa memanggil 'lu-gua'. Ray bahkan sudah tidak cocok aku panggil dengan sebutan 'Pak' mengingat semua kekonyolannya. Lagian, begini terasa lebih akrab. Secara langsung juga membuatku lebih menikmati pekerjaan akhir-akhir ini.
"Ihhh, apaan sih? Siapa yang melamun?" aku memperbaiki posisi duduk menghadap Ray dengan sempurna. Kini dia sudah serius mengamati layar komputernya.
"Ya elu. Eh, si Ferdi dimana? Kita mau bahas notulen meeting pusat nih. Panggilin dong."
"Notulen apa?" tanyaku sambil menyambar handphone dan menekan nomor Ferdi.
"Promo untuk bulan puasa."
"Oh..." sahutku singkat. Setelah itu aku sudah berbicara dengan Ferdi di telepon.
"Dia masih makan siang di kantin," laporku, "kalian enggak makan bareng?"
"Lha dia tadi bilang enggak mau makan siang. Ya gua pergi saja sendiri."
"Oh ... lu berdua enggak lagi ribut kan?"
"Ribut kepalamu! Kayak orang pacaran saja." Ray menjawab dengan tawa sumringahnya.
"Kan memang iya. Lu sama Ferdi itu enggak bisa dipisahkan. Sudah kayak pasangan kekasih."
"Kentut lu, Kai." Ray sukses melayangkan bola kertas ke kepalaku.
"Elu yang tukang kentut," lawanku seraya sukses mengelak dengan cepat sambil menjulurkan lidah kepadanya. Kami pun tertawa dengan lepas.
Tapi mendadak hidungku diserang bau tidak sedap. Bau yang belakangan akrab menerorku setiap berada di ruangan sialan ini. Dengan cepat aku melirik Rayshaka yang berusaha menahan tawa. Matanya menyipit. Aku menancapkan tatapan menyelidik. Dahiku berkerut, kedua bola mata membesar sembari menahan napas sekuat tenaga. Rayshaka pura-pura tidak peduli.
Beruntung, tiba-tiba Ferdi masuk di saat yang tidak tepat itu. Namun belum ada beberapa detik dia langsung menyadari dan dengan gerak cepat berbalik keluar lagi dari ruangan. Sontak aku dan Rayshaka tertawa terbahak-bahak.
Tidak sanggup menahan tawa, aku juga ingin menyusul keluar tapi Ray menahan tanganku dengan jahil. Sampai aku sudah tidak kuat menahan nafas -wajaku mungkin sudah memerah seperti kepiting rebus- dengan kuat aku menggigit jemari Ray sampai dia melepaskan cengkeramanya. Aku sukses melesat menuju pintu.
Raysahaka tertawa terpingkal-pingkal melihatku dan Ferdi dari kaca tembus pandang ruangannya. Kami mengutuknya habis-habisan dari luar.
"Dasar tukang kentut tuh anak." Ferdi geleng-geleng kepala.
"Lu berdua sama saja!" semprotku sambil mengatur ulang pernafasan yang tadi sempat kacau kena teror kentut si Ray.
"Hahahahaa ...." yang bersangkutan keluar dan menghampiri kami dengan tawa yang sangat keras. Seisi ruangan ikut memperhatikan. Termasuk Fany yang sedang main ke bagian depan.
"Duh duh duh duh, perut gua sakit lantaran tertawa melihat kalian berdua," katanya sambil menepuk-nepuk pundakku. Seperti biasa, aku terhipnotis dengan kedua kelopak matanya yang menyipit.
"Senang lu? Dasar raja ken..." sebelum aku melanjutkan kalimatku, Ray buru-buru membekapku dan membawaku kembali masuk ke dalam ruangan. Aku menyadari tadi ada Fany di luar dan sekarang fix, aku akan jadi bahan gosip.
"Aww!" Ray menjerit karna aku menggigit telapak tangannya. Aku harus segera melepaskan diri darinya sebelum Fany semakin 'perhatian' dengan apa yang dilihatnya barusan.
"Awas kalau lu kentut lagi!" aku mengarahkan kepalan tanganku ke depan wajahnya. Lagi-lagi dia hanya tertawa. Tawa yang tak kunjung usai. Kelopak mata yang selalu menyipit.
"Oke oke. Sori. Duduk dulu," tapi beberapa saat kemudian Rayshaka bisa menguasai dirinya dan mempersilahkan Ferdi dan aku untuk duduk.
"Kita mau bahas soal promo selama bulan puasa."
"Oke, this is gonna be awesome. Aku punya ide." Ferdi merapatkan kursinya dan menunjukkan antusias yang sangat disukai oleh Ray. Tentu saja mereka bisa punya chemistry yang tinggi. Mereka sama-sama punya jiwa marketing, alias jualan. Sama-sama punya segudang ide cemerlang yang selalu klop, saling melengkapi satu sama lain.
"Oke, tell me later, Bro. Kita bahas yang dari kantor pusat dulu. Oke?"
Ferdi mengangguk. Sesaat kemudian kami bertiga sudah hanyut dalam diskusi.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Aap
ngakak banget sih, ga nyangka Ray berubah drastis gitu 🤣🤣🤣
2021-07-13
0
Suryatina Handayani
ternyata si Rayshaka raja kentut hehehe...sampai2 kedua rekan ny kaburrr kena boom kentut ny...aih aih...dasar Ray...
2021-04-28
1
nenk oppie
team krj yg bikin betah dikantor klo kyk gini 🤣🤣🤣
2021-03-15
0