Kaina's PoV
Hans masih belum menjawab telepon dariku. Kalau dihitung-hitung, itu sudah dua minggu sejak Rosa mengajakku makan Pop Mie di supermarket. Semua sosial medianya tidak aktif. Sangat bertentangan dengan Hans yang kukenal aktif di dunia maya. Aku sudah mencoba menghubungi adik dan kakak Hans, tapi seolah-olah sudah diberi ultimatum juga, mereka mengabaikanku.
Celakanya aku tidak dapat menyembunyikan kesedihanku. Tampak jelas wajahku muram setiap hari. Rekan kantor terdekatku, Keisha, bahkan menyadari itu dan turut memberi kekuatan dan masukan untukku. Aku bersyukur masih bisa melupakan kesepianku walau sesaat setiap berada di kantor. Setidaknya gairahku bekerja masih bisa terjaga dan tidak mengganggu produktivitas di kantor.
"Kaina, sudah coba hubungi Pak Arif lagi?" Ray yang sedari tadi duduk berdua di meja Fany -dia menarik kursi cadangan ke sebelah Fany- memanggilku dan menyebutkan nama salah seorang customer.
"Sudah, Pak. Katanya masih belum mau order lagi."
"Kenapa? Kamu tanya stok barangnya ada berapa lagi?"
Aku terdiam. Aku memang selalu lupa menanyakan hal itu. Padahal Ray sudah berkali-kali mengingatkanku akan poin penting yang perlu ditanyakan saat follow up customer.
Dia pun menghela nafas dan bergerak ke arahku, bersama dengan kursinya. Aku menahan nafas. Bersiap untuk kena semprot lagi.
"Kaina, kamu sudah berapa bulan kerja disini? Kenapa masih sering lupa hal detail seperti itu? Kalau kamu terus-terusan seperti ini, saya tidak yakin pak Sebastian mau memperpanjang kontrak kerja kamu."
Ruangan langsung hening. Aku hanya menunduk sambil menatap lembaran buku laporan. Kepala rasanya sedang ditimpa batu seberat satu ton. Berat sekali untuk digerakkan bahkan cuma satu senti.
"Kamu follow up semua sekarang, laporannya saya tunggu satu jam lagi."
Masih dengan wajah kesal, Ray meninggalkan ruangan kami.
Aku masih tidak berani bergerak. Malu terhadap seisi ruangan divisi ini.
"Sudah Kai, enggak usah didengar. Dia memang suka begitu," Ibu Arni, kepala divisi oprasional memecah keheningan dari belakang.
Ya, siapa yang tidak tahu karakter Ray? Seantero kantor juga tahu dia egois dan suka tidak mikir kalau bicara. Apesnya, aku adalah salah satu korban dan sasaran empuk semua amarahnya itu. Setiap hari.
Persetan dengan masa percobaan enam bulan. Empat bulan saja aku sudah tidak tahan dengan sikapnya.
Aku harus segera mencari pekerjaan baru!
*****
Author's PoV
Kaina memang masih tergolong baru di kantor tempatnya bekerja sekarang. Satu tahun lamanya dia menggantungkan harapannya supaya bisa menjadi seorang jurnalis, lamar kerja sana sini, keluar masuk stasiun televisi, namun tidak membuahkan hasil. Kalau bukan karena tuntutan mamanya, dia tidak akan menyerah dan mau jadi seorang marketing. Benar-benar diluar kemampuannya.
Sekalipun menurut orang-orang enam bulan adalah waktu yang cukup untuk menyatukan hati dengan sebuah pekerjaan, tidak demikian dengan Kaina. Bahkan sampai saat ini belum ada chemistry antara dia dengan semua customer-nya. Sulit baginya untuk beradaptasi. Wajar kalau dia selalu kena teguran Ray.
Kaina kembali menikmati ramen pedas di hadapannya. Asap yang mengepul dari mangkoknya semakin menambah selera. Sekalipun sudah lama Kai tidak ketempat ini, dia selalu hafal dengan cita rasa ramen yang begitu khas. Gurih, pedas. Pokoknya Kai selalu puas dengan masakan si koki.
Terakhir dia dan Hans ke Engkong Ramen ini empat bulan yang lalu, merayakan pekerjaan barunya di Nagata. Setelah itu Kaina tidak sempat singgah karena selalu pulang kemalaman.
Karena kebetulan hari ini Sabtu, kantor libur, dia memutuskan untuk makan ramen saja ketimbang meringkuk di kos. Rosa yang kebagian kerja shift pagi di supermarket di ujung komplek harus rela menelan air liur karena tidak bisa ikut.
"Permisi teteh ... maaf, sendiri?"
Kai mengangkat kepalanya dan mendapati seorang laki-laki tampan berdiri di depan mejanya.
"Semua meja penuh, boleh bergabung?"
Tanpa sempat berpikir panjang, Kai mengangguk dengan linglung. Tas yang tadinya ada di atas meja segera disingkirkannya ke sisa sofa yang didudukinya. Pemuda tadi mengangguk tersenyum sambil berterimakasih.
Setelah kembali sadar, suara alunan musik kembali terdengar mengalun di telinga Kaina.
Oh Tuhan! Syukurlah! Kai bersorak di dalam hati. Earphone yang masih melekat di telinganya tiba-tiba menjadi malaikat penolong. Ternyata dia tidak perlu bersusah payah memikirkan harus bagaimana dengan pemuda itu. Dia hanya perlu terlihat hanyut dengan lagu dari earphone-nya supaya orang di hadapannya itu tidak terpikir untuk mengajaknya bicara.
Setelah selesai dari restoran itu, Kaina beranjak memasuki perpustakaan yang berada persis di seberang jalan. Dia kembali menyusuri rak dengan kategori jurnalistik. Mengambil sejumlah buku dan membawanya ke meja baca.
Menikmati bacaan dengan serius, membuat ia tidak sadar bahwa ada orang yang sedari tadi memperhatikannya. Duduk tepat di seberang meja besar tempatnya duduk.
"Kamus suka jurnalistik?"
Suara itu membuat kepala Kaina terangkat cepat. Seingatnya dia sedang di perpustakaan daerah, bukan di kantor.
"P... Pak Ray?" Kaina terkejut bukan main. Dia langsung gugup, menutup bukunya, menegakkan badan dan menatap ke arah laki-laki itu.
"Kamu harusnya baca buku yang begini," Ray mendorong salah satu buku kehadapan Kaina. Tentu saja itu tentang sales dan marketing. Gadis itu menelan ludah. Menatapi buku yang diberikan Ray dengan seksama, seolah-olah dia sangat tertarik.
"Kalau bisa praktekin cara marketing-nya, omset kantor pasti bisa naik."
Kaina mengangguk-angguk. Ray memperhatikannya dengan serius. Pria itu tau Kaina tidak mengerti apa yang dianggukinya.
"Senin akan ada sales baru. Sudah tau?"
Kini Kaina menggeleng. Dia cuma dengar isu, bukan berita yang sudah pasti. Dia menunggu Ray berbicara lagi, tapi pria itu cuma menatapnya seperti biasa. Sebagaimana tatapan dingin dan kosong yang sering dilemparkannya di saat jam kantor. Dan itu membuat Kaina merasa tidak nyaman. Akhirnya dia kembali menunduk menatap buku marketing itu.
Alunan musik lembut kembali terdengar di dalam telinga gadis itu. Dia baru sadar kalau earphone-nya masih terpasang. Tapi kenapa kali ini dia tidak bisa berpura-pura sibuk di depan Ray?
*****
Rosa sedang membaca dengan santai di atas kasurnya, saat dilihatnya Kaina lewat dari depan pintu kamar. Kakak kos yang sudah setahun lebih akrab dengannya itu tidak berpaling seperti biasanya. Rosa mengekori Kaina ke kamarnya. Tepat di sebelah kamar Rosa sendiri.
"Kak Kai ... kemana saja hari ini?"
"Heii ...." Kaina yang melihat sebuah bayangan bergerak mendekatinya, berbalik dan menemukan Rosa di balik punggungnya. Dia pun melepas earphone yang tersembunyi di balik rambutnya yang panjang. Rosa menebar senyum.
"Aku kira kak Kaina kenapa-kenapa makanya enggak singgah di kamarku. Dengar musik ternyata."
"Ah iya, ini earphone nempel sejak pagi loh," Kaina mendorong pintu kamar yang barusan ia buka. Kini keduanya sudah masuk ke kamar itu. Rosa langsung melompat ke kasur double Kaina. Gadis itu suka suasana kamar Kaina yang bersih dan wanginya yang khas. Sangat menunjukkan karakter pemiliknya yang cool. Berbeda dengan kamarnya sendiri. Meskipun dia hanya berbeda dua tahun dari Kaina, bisa dibilang dia masih sangat cildish dan berantakan.
"Oh ya? Bahaya loh kak, bisa bikin budek," nasihat Rosa sambil memeluk guling.
Kaina tertawa sambil menyambar handuk.
"Aku mandi dulu ya, gerah," katanya.
Rosa membaca kembali buku yang ada di tangannya. Beberapa menit kemudian Kaina sudah keluar, lengkap dengan piyama yang sudah melekat di tubuhnya.
"Kamu enggak kencan memangnya?" dia menghampiri Rosa dan mengambil bantal juga untuk dipeluk.
"Andre lagi sibuk, Kak. Kerjaannya banyak katanya."
"Oya? Tapi chat tetap lancar kan?"
Rosa mengangguk dan langsung mengerti arah pembicaraan Kaina.
"Hans masih belum ada kabar, Kak?"
"Belum ...." Kaina menatap satu titik langit-langit kamarnya. Pikirannya kembali melayang kepada laki-laki yang berada di jantung ibu kota, yang sampai detik ini belum berkenan mengangkat teleponnya. Bahkan apa masalah yang sedang terjadi di dalam hubungan mereka pun dia tidak tahu. Andai saja Hans mau mengangkat teleponnya, sekali saja.
"Ke Jakarta yuk, Kak."
"What? " Kaina terbangun dengan spontan, "ngapain? " katanya. Matanya spontan sedikit melebar.
"Libur Lebaran nanti aku enggak mudik. Kak Kaina mudik enggak?"
"Mudik, tapi paling hanya Lebaran satu sama dua. Kan Tasikmalaya deket ini. Memangnya mau ngapain ke Jakarta?"
"Aku mau ke Dufan. Belum pernah ke sana. Aku ajak Andre, dia enggak bisa, karena Lebaran ketiga ada gathering kantor sampai liburan usai." Rosa memasang bibir manyun. Semanyun dia saat pertama kali mendapat kabar itu dari Andre.
Kaina memutar otak sejenak, mengingat schedule dan janji yang mungkin sudah dibuatnya dengan orang lain. And lucky Rosa, dia belum ada jadwal dan sepertinya tidak akan ada, mengingat orang yang sangat diharapkannya akan berkunjung ke Bandung sudah tidak ada kabarnya.
"Boleh deh ...."
"Serius? Aaaaaaaa!!" Rosa langsung memeluk Kaina dan menciuminya dengan brutal, sampai Kaina meronta-ronta minta dilepas.
"Duh Ros, aku harus cuci muka lagi nih," candanya. Rosa terpesona sendiri, senyum-senyum seperti tidak sabaran menunggu libur Lebaran tiba.
"Kenapa tiba-tiba kepikiran mau ke Jakarta pas lagi ngebahas Hans?" Kaina mengeringkan wajahnya dengan tisu.
"Ya mau sekalian nemuin kak Hans lah."
"What? " Kaina tertawa tidak percaya. Rosa jelas bercanda.
Tapi itu bukan ide yang buruk. Hans perlu diberi sedikit kejutan.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Boa Hancock
mungkin karna kenal dan atasannya
2024-04-13
0
Lis Manda Cel
ktemu hans ternyata kai yg terkejut...hans selingkuh...iya a thor?
2021-09-24
0
Rina Zulkifli
next 3
2021-05-23
0